Lahirnya Kembali Generasi Qurâni (Bag 3)

Ketiga: Akhirat lebih diutamakan dari pada dunia. Inilah karakter yang menonjol dalam generasi Qurân periode awal. Mereka memahami tidak ada kehidupan yang hakiki kecuali hanya kehidupan di akhirat. Negeri akhirat menjadi focus mereka. Tidak kurang dari 111 ayat yang menyebutkan tentang perbandingan dunia dan akhirat. Semuanya mengabarkan bahwa kehidupan akhirat lebih utama. Sebagaimana firman Allah ta’ala :

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَلَلدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

“Dan tiadalah kehidupa dunia ini melainkan hanya permainan dan sendau gurau belaka. Dan sungguh negeri akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kalian memahamnya?”.(QS. Al An’aam : 32)

Ada ratusan hadits Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- yang memberikan pelajaran penting bagi seorang mukmin dalam memandang dunia dan akhirat. Di antaranya hadits Nabi yang berbunyi :

عن جابر بن عبد الله، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم مر بالسوق، داخلا من بعض العالية، والناس كنفته، فمر بجدي أسك ميت، فتناوله فأخذ بأذنه، ثم قال: «أيكم يحب أن هذا له بدرهم؟» فقالوا: ما نحب أنه لنا بشيء، وما نصنع به؟ قال: «أتحبون أنه لكم؟» قالوا: والله لو كان حيا، كان عيبا فيه، لأنه أسك، فكيف وهو ميت؟ فقال: «فوالله للدنيا أهون على الله، من هذا عليكم»

“Dari Jabir bin Abdillah, bahwa Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- pernah melewati suatu pasar memasuki sebagian jalan sementara orang-orang ada di sekitar beliau. Kemudian melewati bangkai anak kambing yang cacat telinganya. Beliau pun mengambilnya dengan memegang telinganya seraya bersabda: “Siapakah di antara kalian yang mau membeli ini dengan satu dirham?” mereka menjawab: “Tidak ada dari kami yang menyukai itu dan untuk apa kami berbuat dengannya?” Beliau bersabda : “Apakah kalian mau ini menjadi milik kalian?” Mereka menjawab: “Demi Allah, kalaupun anak kambing ini hidup pastilah dia adalah barang cacat karena telinganya cacat, lalu bagaiamana lagi kalau dia sudah menjadi bangkai?! Maka beliau bersabda: “Demi Allah, sesungguhnya dunia itu lebih rendah di sisi Allah dari pada bangkai ini atas diri kalian”. (HR. Muslim)

Adalah Sa’id bin ‘Amir al Jumahi, seorang sahabat Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- yang berani menyatakan keislmannya di hadapan manusia serta berlepas diri dari sesembahan-sesembahan selain Allah. Kecintaan beliau terhadap Al Qurân membawa beliau pada derajat keilmuan yang tinggi. Tidak mengherankan jika beliau menjadi bagian dari para ulama di kalangan sahabat. Kecerdasan yang dikombinasikan dengan keberanian menjadi karakter beliau. Ditambah lagi sikap zuhud dan waro’ yang melekat pada kehidupan beliau menjadi nilai akhlaq tinggi. Bukan suatu hal yang mengejutkan kalau beliau diangkat di kemudian hari menjadi penasihat kholifah.

Di awal masa pemerintahan kholifah Umar bin Khotthob, Sa’id bin ‘Amir al Jumahi pernah memberikan nasihat kepadanya: “Wahai Umar, aku mewasiatkan kepadamu untuk selalu takut kepada Allah dalam hak-hak manusia dan janganlah engkau takut kepada manusia dalam hak-hak Allah. Janganlah ucapanmu menyelesihi perbuatanmu, ketahuilah bahwa sebaik-baik perkataan adalah apa yang dibenarkan dengan perbuatannya”.

“Wahai Umar, perhatikan kepada orang-orang yang mana Allah telah menjadikanmu wali bagi mereka baik dari yang jauh maupun yang dekat dari kaum muslimin. Hendaklah engkau mencintai untuk mereka sebagaimana engkau mencintai untuk dirimu sendiri. Bencilah untuk mereka seperti engkau membenci sesuatu untuk dirimu dan keluargamu. Dan hendaklah engkau kembalikan kesesatan menuju kepada kebenaran dan janganlah engkau takut celaan orang yang mencela saat engkau menegakkan hak-hak Allah”.

Lalu kholifah Umar bin Khotthob berkata : “ Dan siapakah yang bisa melakukan hal itu wahai Sa’id?”

Sa’id menjawab : “Yang bisa melakukan hal itu adalah orang seperti engkau dari orang-orang yang Allah telah menjadikan mereka pemimpin bagi umat Muhammad -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan tidak ada seseorangpun yang bisa menghalangi antara dia dan Allah”.[1]

Pantas saja, karena ketakwaan yang dimiliki oleh beliau, kholifah Umar menunjuk beliau menjadi gubernur Homs[2]. Semula Sa’id menolak amanah besar itu. Beliau berkata : “Wahai Umar janganlah engkau memberikan kepadaku fitnah besar !”

Kemudian Umar marah : “Celaka engkau, engkau serahkan urusan kekholifahan kepadaku lalu engkau berlepas tangan dari ku !”

Setelah itu bergegaslah Sa’id bin ‘Amir menuju Homs untuk segera menjalankan tugas sebagai gubernur di wilyah tersebut. Hingga tidak selang begitu lama, kholifah Umar bin Khotthob mengunjungi Homs. Beliau mendapati sebagian dari penduduk Homs yang bisa dipercaya untuk mencatatkan nama-nama orang fakir miskin dari Homs. Dengan sigap mereka pun menulis daftar nama-nama orang fakir miskin.

Betapa terkejutnya kholifah Umar ketika disodorkan kepada beliau nama-nama orang fakir miskin, tertulis di urutan pertama adalah orang yang bernama Sa’id bin ‘Amir. Lalu kholifah Umar bertanya ; “Siapakah Sa’id ini ? apakah dia gubernur kalian ?” mereka menjawab : “ya, benar”. “Gubernur kalian faqir ?!” Tanya kholifah Umar keheranan. Mereka pun menjawab lagi ; “Ya, benar. Demi Allah telah berlalu hari-hari dan kami tidak mendapati rumah beliau dinyalakan api untuk memasak”.

Menangislah Umar bin Khotthob mendengar berita tentang Sa’id bin ‘Amir, hingga air mata membasahi jenggot beliau yang lebat. Akhirnya beliau pun memutuskan untuk memberikan kepada Sa’id sang Gubernur Homs santunan dana sebesar 1000 dinar dengan dibungkus kain. Kemudian kholifah Umar berkata : “sampaikan salam dariku untuk beliau, dan katakanlah kepadanya bahwa amirul mukminin mengirim bantuan dana ini untuk membantu keperluan dan kebutuhan hajat hidupnya”.

Kemudian datanglah utusan kholifah Umar kepada Gubernur Homs Sa’id bin ‘Amir untuk menyampaikan amanah berupa bantuan dana sebesar 1000 dinar. Tatkala Sa’id bin Amir melihat tumpukan dinar tersebut beliau secara reflex menjauh dan spontan berucap : “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun…!” Beliau mengucapkan kalimat istirja’ seakan-akan ada musibah besar yang menimpanya. Hingga suara beliau terdengar oleh sang istri yang saat itu sedang berada di belakang rumah. Dengan keheranan sang istri bertanya ; “Apa yang terjadi wahai Sa’id? Apakah kholifah meninggal dunia ?” Sa’id menjawab ; “tidak, bahkan sesuatu yang lebih besar dari pada itu”. Kemudian sang istri bertanya lagi : “apakah kaum muslimin kalah dalam peperangan ?” Sa’id menjawab; “Tidak, bahkan lebih besar dari pada itu”. Sang istri bertanya lagi; “Apa gerangan yang lebih dari pada itu semua ?” Sa’id menjawab ; “telah masuk kepadaku dunia untuk merusak akhiratku dan telah masuk pula fitnah di rumahku”. Kemudian sang istri berujar ; “kalau begitu segeralah engkau hilangkan fitnah itu”. Sementara sang istri tidak mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Lalu Sa’id berkata kepada istrinya ; “Maukah engkau membantuku untuk menghilangkan fitnah itu ?” Sang istri menjawab : “Ya, tentu saja”.

Kemudian sang Gubernur Sa’id bin ‘Amir membungkus dinar-dinar tersebut dengan kain lalu membagi habis semuanya kepada orang-orang fakir-miskin yang ada di kota Homs. Hingga akhirnya penduduk Homs merasakan keadilan yang merata dan keindahan hidup bersama Islam.[3]

Demikianlah yang difahami oleh generasi Qurân periode awal tentang dunia dan akhirat. Sehingga muncul dalam diri mereka sikap waro’, zuhud, ikhlas dan ‘izzah. Sifat dan karakter inilah yang menghantarkan mereka menguasai dunia ini, sementara di mata mereka dunia ini tidak dicita-citakan. Dunia bagi mereka tidak lebih dari tempat laluan yang menghantarkan mereka menuju akhirat. Mereka mengamalkan nasihat Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- :

عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما، قال: أخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم بمنكبي، فقال: «كن في الدنيا كأنك غريب أو عابر سبيل»

Dari Abdulloh bin Umar –semoga Allah meridhoi keduanya- berkata: Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- pernah memegang pundakku lalu beliau bersabda: “Jadilah engkau orang asing di dunia ini atau seperti orang melintasi perjalanan”. (HR. Bukhori)

Inilah sebenarnya rahasia kekuatan generasi Qurân pertama hingga mereka berhasil menjadikan dunia dalam genggamannya bukan di dalam hatinya. Sikap zuhud terhadap dunia menjadikan pribadi-pribadi Qurâni mulia di hadapan para manusia. Karena yang mereka butuhkan dan hajatkan bukan imbalan dari manusia melainkan imbalan dari Robbnya manusia. Semakin tinggi ketergantungan manusia kepada orang lain maka semakin lemahnya ketawakalannya kepada Allah ta’ala. Jika tawakkal seorang hamba lemah maka Allah semakin jauh darinya. Saat itulah kehinaan menerpa dirinya.

Berkata imam Asy Syafi’I dalam sebuah syairnya :

أنا إن عشت فلست أعدم قوتا ولئن مت فلست أعدم قبرا

همتي همة الملوك ونفسي نفس حر ترى المذلة كفرا

Aku, jika aku hidup, maka aku tidak akan kekurangan makan

Dan jika aku mati, maka aku tidak akan kehilangan kuburan

Keinginanku adalah keinginan para raja dan jiwaku

Adalah jiwa merdeka yang menganggap kehinaan bak kekufuran[4]


Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *