Pada edisi sebelumnya telah dipaparkan tentang perusak transaksi jual beli, riba dan gharar. Selain kedua hal tersebut, ada faktor lain dengan sifat lebih umum yang dapat merusak transaksi yang dilakukan. Faktor tersebut adalah kezhaliman yang seringkali terjadi dalam proses transaksi. Berikut pemaparan singkat tentang kezhaliman dalam transaksi.
Makna Kezhaliman
Secara etimologi, adz-dzulmu yang berarti kezhaliman mengandung makna meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, dan berarti pula ketidakadilan, melampaui batas dan menyimpang dari tujuan.
Terlalu seringnya istilah ini digunakan sehingga setiap penganiayaan dan penindasan disebut juga sebagai bentuk kezhaliman.
Makna zhalim secara syar’i tidak keluar dari makna secara bahasa di atas, (Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah, 29/169).
Al-Jurjani menyebutkan bahwa lafal ini disematkan kepada orang yang melakukan pelanggaran karena mengerjakan sebuah kejelekan, atau melampaui batas dalam membelanjakan dan menggunakan harta orang lain. (al-Jurjani, Mu’jam at-Ta’rifat, [Kairo: Dar al-Fadhilah, TT], hlm. 21).
Sementara secara syar’i, makna kezhaliman dapat dilihat pada firman Allah Ta’ala QS. asy-Syura ayat 42, yang artinya, “Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zhalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat adzab yang pedih.”
Kemudian dalam firman-Nya dalam hadits Qudsi, “Wahai Hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan berbuat zhalim pada diri-Ku, dan Aku juga telah mengharamkan kezhaliman di antara kalian, oleh sebab itu janganlah kalian saling berbuat zhalim”. (Muslim, No: 2577)
Berangkat dari hadits Qudsi tersebut, Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa setiap kebaikan termasuk dalam kategori keadilan dan sebaliknya setiap keburukan termasuk dalam kategori kezhaliman. (al-Fatawa al-Kubra, 1/97).
Dari beberapa definisi di atas, secara ringkas dapat dipahami bahwa setiap perbuatan yang berupa pelanggaran terhadap larangan Allah dan meninggalkan perintah-Nya termasuk dalam kezhaliman.
Secara khusus jika dikaitkan dengan transaksi yang merupakan bagian dari muamalah. Maka sebagaimana yang diutarakan oleh al-Ghazali bahwa kezhaliman dalam muamalah berarti tindakan-tindakan dalam bermuamalah yang dapat merugikan orang lain, bahkan segala bentuk kebohongan dalam muamalah termasuk tindakan kezhaliman. (Ihya Ulumuddin, 1/420)
Bentuk-Bentuk Kezhaliman
Secara umum, sebagaimana disampaikan oleh Abdurahman al-Maidani, bahwa bentuk kezhaliman dalam muamalat adalah memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Oleh sebab itu, Allah Ta’ala memasukkan perilaku tersebut dalam dosa-dosa besar.
Sebagaimana termaktub dalam firman Allah Ta’ala QS. an-Nisa ayat 29 dan 30, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
Secara terperinci, Dr. Erwandi Tarmizi, MA mengklasifikasikan kezhaliman menjadi tiga bagian besar. Pertama, kezhaliman terhadap hak Allah. Tentang hal ini, lebih lanjut beliau memberikan contoh seperti halnya zakat harta yang tidak ditunaikan, (Harta Haram Muamalah Kontemporer, hlm.13).
Kedua, kezhaliman terhadap orang tertentu. Di antara bentuknya adalah menjual atau membeli barang dengan cara memaksa, menjual barang najis dan barang yang diharamkan, karena kedua barang ini tidak ada nilainya menurut kaca mata syariat. Orang yang melakukan hal seperti ini telah menzhalimi pembeli. Sebab, ia telah mendapatkan uang orang lain tanpa mendapatkan ganti yang semestinya, (Ibid, 21).
Ketiga, kezhaliman terhadap orang banyak. Pada hakikatnya muamalah apapun yang melanggar syariat akan berdampak secara umum kepada orang banyak. Namun, ada beberapa bentuk kezhaliman yang berdampak langsung kepada masyarakat. Contohnya adalah kecurangan dalam bertransaksi, menimbun, korupsi dan suap, (Ibid, 134).
Kecurangan
Bertindak curang atau al-ghisy berarti menampakkan sesuatu tidak sebagaimana mestinya. Seperti halnya penjual yang menyembunyikan cacat barang yang dijual, (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 31/318).
Kecurangan banyak terjadi dalam aktifitas muamalah khususnya dalam masalah jual beli, baik itu berupa perkataan maupun perbuatan. Dengan memalsukan harga atau menyembunyikan cacat pada barang agar konsumen tertarik untuk membelinya, padahal apabila dia mengetahui sebenarnya dipastikan enggan untuk membelinya. (Ibid, 31/220)
Termasuk di antara bentuk kecurangan adalah an-najasy, yaitu menaikkan harga yang ditawarkan dalam transaksi oleh pihak ketiga bukan bermaksud untuk membeli namun agar calon pembeli yang sebenarnya terkecoh dengan harga yang lebih tinggi, (al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 5/187).
Pada kasus ini sebenarnya pembeli mau membeli barang dengan harga yang tinggi. Sebab, dia merasa bahwa harga yang dia ajukan tergolong harga yang masih terjangkau. Dikarenakan ada orang yang menawar barang dengan harga yang lebih rendah dari harga yang dia tawarkan.
Menimbun Barang
Menimbun barang atau ihtikar berarti membeli barang di saat harga melambung tinggi dengan tujuan untuk menimbunnya dan kemudian menjualnya lagi dengan harga lebih tinggi di saat banyak orang membutuhkannya.
Para ulama sepakat bahwa ihtikar diharamkan karena merugikan khalayak ramai. Hal mana aksi tersebut menyebabkan barang langka dan harga naik melambung tinggi, (Ibid, 2/90-91).
Perlu diperhatikan bahwa Islam tidak melarang pedagang untuk meraup laba sebesar-besarnya dari perniagaan yang ia lakukan. Tentunya selama tidak melanggar hak-hak Allah dan tidak merugikan orang lain, baik secara individu maupun khalayak ramai, (Ma la Yasa’u at-Tajiru Jahluhu, hlm. 64).
Dikatakan ihtikar apabila memenuhi beberapa kriteria. Di antaranya adalah barang yang ditimbun didapatkan dengan cara membeli, dan pembelian tersebut dilakukan di saat harga melambung dan dijual lagi dengan menunggu harga naik lebih tinggi lagi.
Kriteria berikutnya adalah aksi tersebut dilakukan dengan tujuan agar harga bertambah melambung dan tidak menjualnya kecuali di saat harga bertambah naik. Selain itu, fuqaha Hanafiyah menambahkan ketentuan adanya jangka waktu dalam menimbun barang, (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 2/92-94).
kezhaliman bersifat umum, bahkan riba dan gharar pun juga termasuk di dalamnya. Hanya saja, ada poin-poin tertentu yang berbeda sebagaimana dalam pemaparan di atas.
Referensi:
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt).
Al-Jurjani, Mu’jam at-Ta’rifat, (Kairo: Dar al-Fadhilah, tt).
Abdulah al-Muslih dan Dr. Shalah ash-Shawi, Ma la Yasau at-Tajiru Jahluhu, (Riyadh: Dar al-Muslim, Cet-1, 2001)
Dr. Erwandi Tarmizi, MA, Harta Haram Muamalah Kontemporer, (Bogor: P.T. Berkat Mulia Insani, 2013)
Ibnu Taimiyah, al-Fatawa al-Kubra, (Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1987).
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, tt).
Kementrian Agama Kuwait, Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah, (Mesir: Dar Ash-Shafwah, tt).
(Sumber: majalah hujjah edisi 07 hal. 44-46)