Himayah Foundation – Puasa enam hari bulan Syawal memiliki keutamaan yang luar biasa. Berikut ini keempat keutamaan tersebut.
Keutamaan puasa Syawal yang pertama: Mendapat pahala seperti puasa setahun penuh
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa besarnya pahala puasa Syawal menyamai pahala puasa setahun penuh.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barang siapa melaksanakan puasa Ramadhan, lalu mengikutinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti melaksanakan puasa Dahr (puasa sepanjang masa).” (HR. Muslim No. 1164)
Maksud dari puasa Dahr adalah puasa yang dikerjakan selama setahun penuh.
Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ، مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا
“Barang siapa puasa enam hari setelah hari Idul Fitri, maka ia mendapat pahala puasa setahun penuh. Barang siapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya.” (HR. Ibnu Majah No. 1715. Hadits shahih)
Keutamaan yang kedua: Menggenapi puasa Ramadhan yang belum sempurna.
Pada bab pengertian puasa Syawal telah disinggung bahwa puasa enam hari bulan Syawal adalah bagian dari puasa tathawwu’. Dan salah satu fungsi ibadah tathawwu’ adalah menggenapi ibadah fardhu yang belum sempurna.
Dalam konteks ini, shaum Syawal berfungsi menggenapi puasa Ramadhan yang belum sempurna.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلَاةُ،
“Sesungguhnya yang pertama kali akan di hisab dari amal perbuatan manusia pada hari kiamat adalah shalat.”
قَالَ: يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ لِمَلَائِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ: انْظُرُوا فِي صَلَاةِ عَبْدِي أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا؟ فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً، وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا، قَالَ: انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ؟ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ،
“Rasulullah bersabda, ‘Allah berfirman kepada Malaikat—Dan Dia lebih mengetahui amalan seseorang, ‘Periksalah shalat hamba-Ku, sempurnakah atau justru kurang? Sekiranya sempurna, maka catatlah baginya dengan sempurna, dan jika terdapat kekurangan, Allah berfirman, ‘Periksalah lagi, apakah hamba-Ku memiliki amalan shalat sunnah? Jikalau terdapat shalat sunnahnya.”
قَالَ: أَتِمُّوا لِعَبْدِي فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ، ثُمَّ تُؤْخَذُ الْأَعْمَالُ عَلَى ذَاكُمْ
“Allah berfirman, ‘Cukupkanlah kekurangan yang ada pada shalat wajib hamba-Ku itu dengan shalat sunnahnya.’ Selanjutnya semua amal manusia di hisab dengan cara demikian.” (HR. Abu Daud No. 864. Hadits Shahih)
Keutamaan yang ketiga: Sebagai salah satu tanda diterimanya amalan di bulan Ramadhan, insyaallah.
Ketika Allah subhanahu wata’ala telah menerima amalan seorang hamba, maka Allah subhanahu wata’ala akan memberinya kemudahan untuk beramal saleh lagi setelahnya.
Ketaatan akan melahirkan ketaatan. Pahala kebaikan akan diikuti dengan pahala kebaikan berikutnya.
Maka, barang siapa melakukan kebaikan kemudian ia ikuti dengan kebaikan lain setelahnya, semoga itu menjadi salah satu tanda diterimanya amal kebaikan yang pertama kali ia kerjakan.
Keutamaan yang keempat: Wujud syukur kepada Allah subhanahu wata’ala atas segala nikmat-Nya.
Ibadah puasa Ramadhan menjanjikan ampunan dari dosa yang telah lalu dan yang akan datang bagi yang melaksanakannya.
Sementara orang yang puasa Ramadhan, akan Allah subhanahu wata’ala lunasi pahalanya pada hari Idul Fitri. Oleh sebab itu Idul Fitri juga disebut dengan Yaumul Jawa-iz, hari pembagian pahala.
Dan kembali melaksanakan puasa di bulan Syawal adalah salah satu wujud syukur atas nikmat tersebut.
Tidak ada nikmat yang lebih besar dari nikmat berupa ampunan Allah subhanahu wata’ala dari segala dosa.
Oleh sebab itulah kenapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat bersungguh-sungguh dalam melaksanakan qiyamul lail hingga kakinya pecah-pecah. Tujuannya satu: ingin menjadi hamba yang bersyukur.
Di sisi lain, Allah subhanahu wata’ala juga memerintah hamba-Nya untuk mensyukuri nikmat berupa kesempatan untuk menjalankan puasa Ramadhan dengan banyak-banyak berzikir dan mengagungkan-Nya.
Allah subhanahu wata’ala berfirman,
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
“Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Salah satu bentuk zikir dan mengagungkan Allah adalah dengan melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal.
Sebagian ulama salaf pun demikian. Ketika Allah subhanahu wata’ala beri kesempatan untuk melaksanakan qiyamul lail, maka di pagi harinya mereka melaksanakan puasa sebagai wujud syukur kepada Allah subhanahu wata’ala.
Wuhaib bin al-Wardi pernah ditanya tentang pahala amalan seperti Thawaf dan semisalnya. Beliau menjawab,
لَا تَسْأَلُوْا عَنْ ثَوَابِهِ وَلَكِنْ اِسْأَلُوْا مَا الَّذِيْ عَلَى مَنْ وُفِّقَ لِهَذَا الْعَمَلِ مِنَ الشُّكْرِ لِلتَّوْفِيْقِ وَالْإِعَانَةِ عَلَيْهِ
“Jangan tanyakan pahalanya, tapi tanyakan amalan apa yang dilakukan sebagai wujud syukur karena telah diberi kesempatan dan kemampuan untuk beramal.” (Lathaif al-Ma’arif, Ibnu Rajab al-Hanbali, 221)