Keseimbangan Antara Tujuan Vertikal Dan Horizontal
Oleh: Ust. Zaid Royani, S.Pd.I
Bagi seorang yang mendapatkan karunia ilmu, menjadi hal yang lazim baginya untuk mengajarkan ilmunya, menasehati orang lain, dan membimbing umat ke jalan hidayah. Tujuanya agr mereka beribadah kepada Allah ta’ala dan ibadah itu dilakukan dengan benar.
Inilah tuntutan bagi orang yang memiliki ilmu, berapapun kadar ilmu yang ia miliki, dan usia yang ia lalui. Dakwah tidak melihat tingkatan ilmu dan usia, siapapun ia, jika memiliki ilmu maka wajib baginya untuk mendakwahkannya.
Selain itu, ada hal yang harus diperhatikan oleh para penyeru dakwah (du’at), yaitu tentang tujuan dakwah. Dengan mengetahui tujuan dakwah, para du’at diharapkan lebih memiliki panduan arah yang jelas. Aktivitas dakwah mereka dibingkai niat ikhlas. Sehingga tidak bergeser dari tujuan hakiki dari dakwah.
Tentang tujuan dakwah, Al Qur`an telah menjelaskannya, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَإِذْ قَالَتْ أُمَّةٌ مِنْهُمْ لِمَ تَعِظُونَ قَوْمًا اللَّهُ مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا قَالُوا مَعْذِرَةً إِلَى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
“Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: “Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?” Mereka menjawab: “Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Rabb kalian, dan supaya mereka bertakwa.” (QS. Al A’raf:164)
Pada ayat ini Allah ta’ala ingin menjelaskan bahwa dalam dakwah para du’at memiliki dua tujuan utama baik secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal kaitannya dengan Allah ta’ala dan secara horizontal kaitannya dengan manusia.
Tujuan Vertikal Dakwah
Dakwah dilakukan sebagai bentuk menghadirkan alasan yang sah (pelepas tanggung jawab) Di hadapan Allah. (مَعْذِرَةً إِلَى رَبِكُمْ). Tujuan ini mendasari tujuan lain, karena semua aktivitas mukmin akan bermuara kepada tujuan mencari ridha Allah.
Inilah yang dimaksud dengan tujuan vertikal dakwah. Memang dakwah secara kasat mata hanya aktivitas horizontal; menyeru manusia, tapi dororangan yan melahirkan aktivitas tersebut bersifat vertikal; perintah dari atas, Allah ta’ala. Dengan melakukan dakwah, seorang mukmin punya alasan di hadapan Allah bahw aia telah menunaikan perintah Allah.
Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa berkaitan dengan kisah Bani Israil yang melanggar perintah Allah yaitu agar tidak mencari ikan di waktu hari sabtu, mereka terbagi menjadi tiga kelompok; Pertama, kelompok yang bermaksiat, dengan larangan itu mereka membuat ‘akal-akalan’ terhadap larangan itu yang intinya melanggarnya. Kedua, kelompok yang mengingkari dengan melarang mereka. Ketiga, kelompok yang diam tidak berbuat apa, namun justru bertanya kepada kelompok yang mengingkari, “Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?”. Maka kelompok kedua menjawab, “Agar kami mempunyai alasan kepada Rabb kalian.”
Inilah motivasi yang mendorong kelompok kedua untuk melarang dan menasehati kelompok pertama yang bermaksiat kepada Allah. Pada poin ini, terdapat beberapa kesimpulan dapat dipetik, di antaranya;
Pertama, agar terhindar dari azab akhirat. Tujuan kelompok kedua melarang kaumnya yang bermaksiat adalah agar ketika Allah meminta pertanggung jawaban atas ilmu yang mereka miliki, maka mereka dapat mempertanggung jawabkannya.
Beda halnya jika mereka tidak melarang orang yang bermaksiat atau tidak pernah menyeru manusia ke jalan Allah padahal mereka berilmu, ketika Allah meminta pertanggung jawaban maka mereka hanya bisa terdiam seribu bahasa, dan akan mengazab mereka dikarenakan dosa tidak mengamalkan ilmunya.
Kedua, upaya melarang dimaksudkan agar terhindar dari azab dunia. Selain pertanggung jawaban di akhirat kelak, berdakwah dapat menghindarkan seseorang dari azab Allah kepada orang-orang zhalim.
Allah menjelaskan setelah ayat di atas, “Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang lalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” (QS. Al A’raf:165)
Ketika para du’at telah berusaha melarang dan menasehati orang-orang yang berbuat zhalim, maka hal ini sebagai alasan Allah untuk tidak mengazab mereka di dunia bersama orang-orang dzalim. Beda halnya jika mereka hanya mendiamkan perbuatan kemaksiatan itu, maka Allah akan meratakan azabnya meskipun mereka tidak ikut melakukannya. Jabir radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Tidaklah seorang lelaki berbuat maksiat dalam satu kaum, yang mampu untuk merubah kemaksiatan itu, namun mereka tidak mengubahnya, melainkan Allah akan menimpakan azab-Nya atas mereka sebelum mereka mati.” (HR. Abu Daud)
Tujuan Horizontal Dakwah
Dakwah dimaksudkan agar obyek dakwah bertakwa. ( لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ). Tujuan ini dengan mudah dimengerti, sebab dakwah memang aktivitas manusia berkomunikasi dengan manusia lain. Pasti ada hasil yang diinginkan dari komunikasi ini, yakni agar bertaqwa.
Inilah tujuan yang diharapkan dari umat setelah mendapatkan seruan dakwah. Mereka diharapkan mereka mentauhidkan Allah, beribadah dengan ikhlas, sesuai tuntunan Rasulullah saw, berakhlak mulia bahkan ikut melakukan dakwah kepada oang lain lagi.
terkait poin kedua ini, ada beberapa catatan yang perlu dipahami;
Pertama, Tugas du’at hanyalah memberikan dakwah, bukan memberikan hidayah.
Kata (لَعَلَّهُمْ) ‘Agar mereka…’ Merupakan ungkapan harapan para du’at kepada umat. Dalam konteks ayat ini; agar mereka bertakwa. Maknanya para du’at hanya dapat mengarahkan umat ke jalan yang lurus, jalan takwa, tapi merkea tidak dapat memaksa umat untuk beriman. Allah berfirman,
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ
“Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya.” (QS. Yusuf: 103)
Kewajiban da’i hanya menyampaikan denga sebaik mungkin. Urusan mereka menerima dakwah atau menolaknya maka hal ini di luar jangkauan para du’at, tapi menjadi wewenang khusus Allah.
Kedua, takwa sebagai tujuan utama.
Mengarahkan umat kepada jalan takwa merupakan tujuan utama dakwah. Yaitu mengajarkan mereka bagaimana mentauhidkan Allah, bagaimana cara beribadah yang benar sesuai syariat, bagaimana berprilaku yang mulia dan sebagainya.
Ketika para du’at berbelok arah, seperti mengajarkan mereka berbuat kesyirikan, mengajarkan mereka beribadah yang menyelisihi syariat, mengajarkan mereka prilaku yang buruk maka hal ini merupakan sebuah kesalahan. Hal ini tak bisa disebut dakwah sebagaimana diinginkan Allah, tapi justru pembelokan dari jalan Allah.
Dengan demikian, seorang da’i harus memperhatikan dua tujuan ini sekaligus. Dakwah yang ia lakukan harus dibingkai tujuan vertikal; pelaksanaan perintah Allah, yang karenanya harus ikhlas. Selanjutnya, seorang dai juga memperhatikan hasil atas dakwahnya (horizontal) kepada masyarakat.
Tentu dakwah terbaik adalh dakwah yang memberi pengaruh positif yang kuat di tengah masyarakat, karenanya harus dilakukan sebaik mungkin dengan tidak boleh asal-asalan. Jika sudah melakukannya dengan maksimal tak juga membuahkan hasil, kesalahan bukan dari sang da’i, tapi karena Allah belum menurunkan hidayah-Nya kepada orang bersangkutan. Tapi jika ia melakukannya sambl lalu dan asal-asalan maka kegagalan dakwah terpulang pada faktor sang da’i. Karenanya, keseimbangan dalam segala hal menjadi ciri mukmin yang baik. wallahu a’lam.