Kepemimpinan yang Dirindukan

PEMIMPIN YANG DIRINDUKAN

Oleh: Ust. Muhaimin Adi Nurrahman

Dalam perspektif Islam, pemimpin merupakan hal cukup fundamental dalam tatanan sosial. Ia menempati posisi tertinggi dalam bangunan masyarakat. Ibarat kepala dari seluruh tubuh, peranannya sangat menentukan perjalanan dalam mewujudkan kemaslahatan umat. Tak hanya kemaslahatan dunia, seorang pemimpin juga memiliki tanggung jawab besar untuk mengatur serta mengawasi tegaknya syari’at Allah.

Sebagaimana yang telah diketahui bersama, tujuan utama penciptaan manusia adalah untuk beribadah dan mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah Ta’ala. Namun dalam perjalanannya, manusia senantiasa dibelenggu dan digoda oleh setan agar berpaling dari pengabdian tersebut. Sehingga Allah Ta’ala mengutus para nabi dan rasul-Nya untuk memimpin manusia agar senantiasa taat kepada Allah. Setelah penutup para nabi wafat, maka tugas memimpin tersebut berpindah ke pundak para imam (khalifah) kaum Muslimin.

Al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkamus Sulthaniyah, 1/3 berkata, “Kepemimpinan adalah pengganti tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia dengannya.”

Imam Ar-Ramli menyebutkan, ”Khalifah itu adalah imam agung yang menduduki posisi sebagai pengganti kenabian dalam melindungi agama serta pengaturan urusan dunia.” (Al-Imam Muhammad ar-Ramli, Nihâyat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, Juz 7, hal 289)

Menurut Ibnul Khaldun, definisi kepemimpinan adalah mengatur seluruh rakyat agar sesuai dengan aturan syariat demi merealisasikan kemaslahatan mereka dalam urusan akhirat maupun urusan dunia yang membawa maslahat bagi akhirat. (Ibnu Khaldun, Al-Muqaddimah, hal. 190, dinukil dari Al-Imamah Al-‘Uzhma ‘inda Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah karya Abdullah bin Umar bin Sulaiman Ad-Dumaiji, hal 29)

Al-Baidhawi juga menyebutkan bahwa kepemimpinan adalah sebagai proses seseorang (di antara umat Islam) dalam menggantikan (tugas) Rasulullah untuk menegakkan pilar-pilar syariat dan menjaga eksistensi agama, di mana ada kewajiban bagi seluruh umat Islam untuk mengikuti (tunduk kepada)-nya. (Al-Baidhawi, Hasyiyah Syarh Al-Mathali’, hal. 228, dinukil dari Al-Wajiz fi Fiqh Al-Khilafah karya Shalah Shawi, hal. 5)

Dengan demikian kepemimpinan bukanlah tujuan, akan tetapi ia hanya wasilah untuk menjalankan ketaaan kapada Allah. Ketika pemimpin tidak bisa mewujudkan atau memudahkan rakyatnya untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka kepemimpinannya harus dilengserkan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Semua bentuk kekuasaan dalam Islam tujuannya adalah menjadikan agama seluruhnya milik Allah dan kalimat Allah saja yang tertinggi, karena Allah Ta’ala menciptakan makhluk tak lain adalah untuk tujuan ini. Oleh karena tujuan inilah kitab-kitab suci diturunkan, para rasul diutus, dan Rasulullah beserta para sahabatnya ikut berjihad.” (Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa, 28/ 61)

Kemudian pemimpin yang dirindukan itu seperti apa:

  1. Pemimpin Yang Shaleh

Kebaikan itu senantiasa ada bersama para penguasa/pemimpin yang shaleh; sejauh mana kesalehan yang dia miliki maka sejauh itu pula kebaikan akan datang. Dan akan muncul fitnah dan kejahatan jika sebuah zaman kosong dari seorang penguasa/pemimpin. Imam Ahmad berkata, “Akan muncul fitnah jika tidak ada imam / pemimpin yang mengendalikan urusan manusia.” Dalam kesempatan yang lain dia juga mengatakan, “Harus ada pemimipn ditengah manusia. Apakah kalian akan membuat hak-hak manusia hilang percuma?” (Abu Ya’la, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, hlm.19)

Secara dasar seorang pemimpin hendaknya dia shaleh dalam dirinya sendiri dan menjadi teladan bagi yang lain. Kata “imam” sendiri menunjukan pada hal itu, sebab makna imam itu adalah “qudwah” (teladan). (Lisanul Arab, juz 1 hlm. 134)

Oleh karena itu, orang-orang yang kehilangan kesalehan dari dirinya mereka tidak berhak untuk mendapatkan amanat kepemimpinan. Karena keberadaan pemimpin yang shaleh merupakan kebutuhan Islam untuk membantu pemerintahan dalam melaksanakan apa yang Allah perintahkan dan turunkan. Oleh sebab itulah, kita dapatkan bahwa syariat Islam telah mewajibkan agar senantiasa ada pemimpin, dimana ini semua telah menjadi ijma’ sejak masa sahabat Rasulullah. (Imam Abu Muhammad bin Hazm, Maratim Ijma’, hlm. 124.

Imam An-Nawawi mengatakatan, “Para ulama sepakat, bahwa amanah tidak sah diberikan kepada seorang kafir, dan bahwasannya jika ternyata ada seseorang yang kemudian didapat kafir saat dia telah memegang amanah (kepemimpinan) maka dia hendaknya diturunkan. Demikian pula jika dia meninggalkan shalat dan tidak menyerukan orang lain untuk shalat. (Imam An-Nawawi, Syarh shahih Muslim, juz 12 hlm, 229).

  1. Kafaah keilmuan dan professionalitas dalam kepermimpinan

Kebodohan merupakan sebab utama terjatuhnya seseorang dalam semua yang haram, baik dalam kekufuran, kefasikan, dan pengingkaran. Sesungguhnya kebodohan adalah diantara sebab – sebab yang menyebabkan terjadinya perselisihan dan perpecahan, dan jauh dari kebenaran serta menjauhkan dari sumbernya. Yang akibatnya akan memperlambat datangnya pertolongan Allah dan kejayaan agama-Nya di muka bumi. Oleh sebab itu diantara perkara yang paling berbahaya adalah jika ada pemimpin dari orang-orang yang tidak mengerti kitab Allah dan Sunnah Rasulullah. Dan mereka tidak memberikan posisi dan penghargaan apa pun kepada ulama, bahkan senantiasa berusaha untuk membuat mereka termajinalkan. Mereka menjadikan akal-akal, dan hawa nafsu sebagai sumber ijtihad.

Maka pemipin dalam Islam haruslah  berilmu sebagaimana tergambar dalam rahasia dipilihnya Thalut oleh Allah dalam firmannya dalam Q.S. Al-Baqarah: 247. Imam Al-Kamal bin Hammad Al-Hanafi berkata, “Tujuan pertama dalam penegakkan kepemimpinan adalah untuk menegakkan agama. Maksudnya adalah menegakkan syiar-syiar agama sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah, yaitu dengan memurnikan segala ketaatan kepada Allah, menghidupkan sunnah-sunnah dan menghilangkan bidah agar seluruh manusia bisa sepenuhnya menaati Allah ta’ala.” (Al-Musamarah Syarh Al-Musayarah, ha. 153).

Para ulama sepakat bahwa seorang pemimpin wajib mengatur seluruh aspek kehidupan manusia berdasarkan syariat Allah, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosisal, budaya maupun militer. Karena seluruh aturan manusia telah Allah tetapkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Syariat Islam merupakan hukum yang bersifat syumul berlaku setiap kondisi dan tidak pernah lekang dengan bergantinya zaman. Maka pemimpin dalam Islam haruslah orang yang berilmu dan berkapabel di dalam segala bidang agar bisa mengatur dan menjadi panutan serta teladan bagi rakyat.

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *