Kemuliaan Sepadan Pengorbanan

Kemuliaan Sepadan Pengorbanan

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah

Dialah Summayah binti Khayyat, istri dari Yasir radhillahu ‘anhu. Dia adalah hamba sahaya dari Abu Hudzaifah bin Mughirah. Musyrikin Quraisy tidak rela jika keluarga ini mengenyam manisnya Islam, hingga Babi Makhzum segera menangkap keluarga Yasir dan menyiksa mereka dengan bermacam-macam siksaan agar mereka keluar dari Islam, mereka memaksa dengan cara mengeluarkan mereka ke padang pasir saat terik matahari panas menyengat. Mereka membuang Sumayyah ke sebuah tempat dan menaburinya dengan pasir yang sangat panas, kemudian meletakkannya di atas dadanya sebongkah batu yang berat. Akan tetapi tiada terdengar rintihan atau ratapan, melainkan ucapan, “Ahad… Ahad…”

Saat Rasulullah menyaksikan keluarga muslim tersebut yang tengah disiksa dengan kejam, maka beliau menengadahkan ke langit dan berseru,

Bersabarlah, wahai keluarga Yasir, karena sesungguhnya tempat kembali kalian adalah surga.” (HR. Al-Hakim)

Sumayyah binti Khayyat mendengar seruan Rasulullah maka beliau bertambah tegar dan optimis. Dengan kewibawaan imannya, ia mengulang-ulang dengan berani, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah dan aku bersaksi bahwa janjimu adalah benar.”

Baginya kematian adalah sesuatu yang remeh dalam rangka memperjuangkan akidahnya. Hatinya telah dipenuhi kebesaran Allah, maka ia menganggap kecil setiap siksaan yang dilakukan oleh para taghut yang zalim; mereka tidak kuasa menggeser keimanan dan keyakinannya, sekalipun hanya satu langkah semut.

Hingga tatkala para thagut telah berputus asa mendengar ucapan yang senantiasa diulang-ulang oleh Sumayyah binti Khayyat maka musuh Allah, Abu Jahal, melampiaskan keberangkatannya kepada Sumayyah dengan menusukkan sangkur yang berada dalam genggamannya. Terbanglah nyawa beliau dari raganya, dan beliau adalah wanita pertama yang syahid dalam Islam. Beliau syahid setelah memberikan contoh baik dan mulia bagi kita dalam hal keberanian dan pengorbanan.

Beliau relakan nyawanya demi meraih puncak kemuliaan. Beliau jual nyawanya untuk mendapatkan ‘barang dagangan’ yang paling berharga dari Allah, yakni Jannah.

SURGA ITU MAHAL

Surga itu mahal harganya, istimewa luar biasa nilainya. Kelezatan tiada tara, kemewahan tiada banding, kemuliaan tiada tanding dan kenikmatan yang tak ada ujung akhirnya. Tak terselip sedikit pun derita atau kesusahan di dalamnya. Maka siapapun yang ingin mendapatkannya hendaknya sadar, bahwa ia hendak memiliki sesuatu istimewa tiada tara. Selayaknya ia mengorbankan apapun yang ia punya untuk mendapatkannya dan membayarnya dengan seberapapun harganya.

Rasulullah bersabda:

Ketahuilah, Sesungguhnya barang dagangan Allah itu mahal. Ketahuilah, sesungguhnya barang dagangan Allah itu surga.” (HR. Tirmidzi, beliau berkata hadits hasan. Dishahihkan al albani)

Sil’ah adalah barang yang ditawarkan dalam perdagangan, dan ‘barang dagangan’ yang ditawarkan oleh Allah adalah Jannah.

Jika kita rela berpayah-payah sepanjang hari untuk bisa untuk bisa membeli rumah, memeras keringat demi mendapatkan kendaran roda empat dan mengorbankan waktu dan hartanya agar bisa menjadi seoang pejabat, lantas dengan apa kita hendak membeli jannah? Yang kemahnya sepanjang 60 mil dan lebarnya sebitu pula, dengan batu bata emas maupun perak yang kendaraan di dalamnya terbuat dari Yaqut, bisa terbang kemana pun kita suka?

Aneh tapi nyata, ada orang yang hendak membayar sesuatu yang luar biasa berharga dengan sisa receh sakunya. Mengherankan jika ada orang yang menyumbangkan sisa-sisa waktu dan tenaganya lalu berharap menampati kedudukan mulia di surga. Alangkah ‘PD’ nya sseorang yang merasa cukup dengan ibadah-ibadah yang dilakukan dengan tergesa-gesa dan jauh dari sempurna, alu mengharapkan ganjaran yang tiada tara.

Ada pelajaran menarik dari kisah seorang shalih. Suatu kali ia melakkan suatu perjalanan, tiba-tiba di tengah perjalanan ia mencari tepat untuk menunaikan hajatnya (toilet). Tampak seorang pemuda berjaga di tepat tersebut, lalu mengatakan, “jika kamu mau masuk ke tempat ini, maka kau harus membayarnya.” Mendengar ucapan tersebut orang shalih terdiam dan menitikkan air mata. Pemuda tersebut heran, seraya berkata, “jika kamu tak punya uang, carilah tempat lain.” Laki-laki itu berkata, “Aku menangis, bukan karena tidak memiliki uang. Aku menangis karna merenungi, jika tempat sekotor ini saja harus dibayar untuk memasukinya, apalagi surga yang begitu indahnya.”

Maka selayaknya kita renungi, apa yang telah kita lakukan untuk mendapatkan jannah berapa durasi waktu yang kita sediakan, lalu bandingkan dengan apa yang kita lakukan  tatkala hendak memperoleh sebagian dari kenikmatan duniawi. Surga itu mahal, tapi seringkali kita menghargainya terlalu murah, lalu merasa bakal mendapatkan apa yang kita inginkan.

Padahal, Allah telah menawarkan ‘barang dagangannya’ kepada hamba-Nya dengan harga yang telah ditetapkan. Sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (QS. At Taubah: 111)

Menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah mengabarkan bahwa dia memberi ganti dari jiwa dan harta benda para hamba-Nya yang beriman dengan surga, lantaran mereka telah rela mengorbankannya di jalan-Nya. Ini merupakan karunia, kemuliaan dan kemurahan-Nya.”

KEMULIAAN SEPADAN PENGORBANAN

Al-Hakim meriwayatkan dalam Mustadraknya dari hadits Basyir bin al-Khashashiyyah, ia berkata: Aku pernah mendatangi Rasulullah untuk berbaiat masuk Islam. Maka beliau mensyaratkan kepadaku, “Engkau bersaksi tiada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, engkau shalat lima waktu, berpuasa Ramadhan, mengeluarkan zakat, berhaji ke Baitullah, dan berjihad di jalan Allah.”

Dia melanjutkan, “Aku berkata: “Wahai Rasulullah, ada dua yang aku tidak mampu; Yaitu zakat karena aku tidak memiliki sesuatu kecuali sepuluh dzaud (sepuluh ekor unta) yang merupakan titipan dan kendaraan bagi keluargaku. Sedangkan jihad, orang-orang yakin bahwa yang lari (ketika perang) maka akan mendapat kemurkaan dari Allah, sedangkan aku takut jika ikut perang lalu aku takut mati dan ingin (menyelamatkan) diriku.”

Kemudian Rasulullah menggengam tangannya lalu menggerak-gerakkannya. Lalu bersabda:

“Tidak shadaqah dan tidak jihad? Lalu dengan apa engkau masuk surga?”

Basyir berkata, “Lalu aku berkata kepada Rasulullah, aku berbaiat kepadamu, maka baiatlah aku atas semua itu.” (Imam Al Hakim berkata: Hadits shahih. Adz Dzahabi menyepakatinya)

Kalimat “dengan apa engkau masuk surga?” ini menjadi tamparan keras bagi siapa saja yang ingin mendapatkan surga dengan harga murah. Seakan jannah bisa dimiliki hanya dengan sedikit pengorbanan. Atau hanya dengan mendermakan sisa-sisa miliknya yang tidak lagi berharga. Sedangkan sesuatu yang berharga miliknya justru dia belanjakan untuk memenuhi keinginan nafsunya. Mereka merasa cukup menggunakan modal yang kecil untuk mendapatkan jannah…” dengan modal apa engkau hendak masuk jannah?

Padahal kemuliaan seseorang, juga kenikmatan yang akan diraih seseorang tergantung pengorbanan yang ia curahkan. Atau, kebanyakan orang tidka mengetahui apa arti pengorbanan itu?

Secara bahasa at-tadhhiyah atau pengorbanan adalah ketika seseorang mendermakan dirinya, ilmunya dan hartanya tanpa imbalan. Adapun pengorbanan ang dituntut secara syar’i adalah mendermakan jiwa, waktu, maupun harta demi tujuan paling mulia, untuk target yang paling diharapkan di mana penghargaan itu tertuju kepada Allah.

Pengorbanan bisa dilakukan dengan harta. Yakni ketika dia mendermakan hartanya di jalan Allah tanpa mengharap apapun selain Allah. Baik mendermakan sebagai bentuk ibadah seperti udhiyah, berhaji, berzakat, dan semisalnya, maupun terkait dengan sedekah kepada sesama dengan mengharap imbalan kepada Allah. Begitupun mendermakan harta untuk kepentingan jihad fi sabilillah. Bahkan ketika seseorang rela keluar dari pekerjaan yang haram karena mengharap ridha Allah, maka dia telah berkorban dengan hartanya.

Pengorbanan juga bisa dilakukan dengan mencurahkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk menuntut ilmu syar’i , mengamalkan, dan mendakwahkannya. Dan sesuatu yang paling berharga untuk dikorbankan adalah nyawa yang dipersembahkan di jalan Allah.

Generasi pilihan di kalangan para sahabat memahami konsekuensi untuk meraih jannah. Bahwa ia harus ditebus dengan sesuatu yang paling berharga miliknya. Seperti Mush’ab bin Umair setelah keislamannya, ia rela diboikot keluarganya demi keimanannya. Yang semula dimanja dengan kemewahan, pakaian indah nan wangi harus memakai pakaian yang kasar. Dia habiskan masa mudanya untuk berdakwah ke Madinah dengan dakwah yang begitu berkah, hingga pada akhirnya ia gugur sebagai syahid, beliau korbankan nyawanya untuk Allah.

Setidaknya kisah hidup beliau menjadi cermin bahwa kita belum apa-apa, belum seberapa pula pengorbanan kita untuk Pencipta. Sekaligus menjadi pengingat bahwa pengorbanan kita mestinya fokus demi pujian atau kenikmatan dunia yang sementara. Agar terwujud ikrar yang kita ucapkan, “Inna shalaati wa nusuki wamahyaaya wa mamati lillahi Rabbil ‘alamin,” sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku adalah bagi Rabb semesta alam.

Sumber: Majalah ar risalah edisi 171 hal. 10

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *