Kemiskinan Dalam Keluarga

Dalam keterbatasan finansial, percayalah, tidak mudah menjalani hidup di zaman serba materi seperti ini, meski kita tahu, kekayaan tanpa kekuatan iman juga akan menjadi senjata makan tuan yang mencelakakan. Tapi, sukses bagi manusia secara umum adalah gelimang harta, bukan nyamannya hati. Hal yang sering membut kita hanya bisa terdiam sebab sulit memilih kata-kata untuk menjelaskan kebenaran. Tapi bukankah kita memang sedang hidup di dunia?

Kesulitan itu muncul karena standar minimal kelayakan hidup, terus meningkat seiring kemajuan materi dan teknologi, hal yang akan semakin menyengsarakan  siapapun yang kekurangan. Sementara di sisi lain, kita hampir tidak bisa hidup sendiri tanpa keterlibatan pihak lain. Dan dalam banyak kasus, hal itu berarti sejumlah materi sebagai gantinya. Sehingga ketiadaan materi jelas membawa kita dalam kondisi serba terbatas.

Dan hal itu akan menjadi semakin sulit jika kita berbicara dalam konteks keluarga. Karena keluarga adalah aktifitas kolektif yang melibatkan banyak pihak. Tentu bukan hal mudah membuat semua pihak yang terlibat, memiliki satu sikap ketika menghadapi suatu keadaan. Bersabar dalam kemiskinan jangka waktu yang lama, atau bahkan bersyukur saat rejeki datang bertubi-tubi.

Sebenarnya, miskin dan kaya berasal dari sudut pandang dan keyakinan, jauh sebelum keduanya menjadi fenomena kebendaan.

Syaikh Muhammad al-Ghazali pernah berkata, “Sesungguhnya kefakiran dan kekayaan adalah fenomena kejiwaan sebelum keduanya menjadi bagian dari penampakan keduniawian.” Sehingga bisa saja orang yang terlihat kekurangan oleh orang lain, namun merasa berkecukupan. Demikian juga sebaliknya, yang terlihat berlebihan, menderita karena tidak pernah merasa puas.

Dengan demikian, kaya dan miskin sangat berhubungan dengan persepsi kita tentang apa yang kita inginkan dalam hidup, tentang bagaimana kita memaknai sebuah kesuksesan, juga tentang bagaimana kita mengambil manfaat dari apa yang kita peroleh. Sebab selain bisa berbeda pada masing-masing orang, sudut pandang kita tentang dunia sebagai tujuan atau wasilah menuju akhirat, jelas sangat mempengaruhi sikap kita. Karena kita semua ingin kesuksesan dan tidak menghendaki kegagalan.

Pun kemampuan kita bersikap qanaah (merasa cukup dengan yang ada), sebaik-baik benteng pertahanan dari serangan kenikmatan dunia, atau malah rakus dan merasa selalu kekurangan meski telah bergelimang harta, sangat dipengaruhi  keyakinan yang kita miliki. Padahal ia menjadi penentu perasaan bahagia atau menderita, puas atau kecewa, berani atau takut atas apa yang kita temui dalam hidup ini.

Banyak di antara kita yang mengira, bahwa kemiskinan adalah penyebab semua masalah dalam kehidupan, sehingga seruan untuk memeranginya terdengar sangat nyaring. Dalam banyak hal, kemiskinan bahkan dianggap lebih berbahaya daripada kekafiran dan kesyirikan, seburuk-buruk hal yang paling dibenci Allah. Banyak di antara kita yang meyakini, bahwa dengan menjadi kaya, semua masalah otomatis akan selesai.

Padahal ada siksa dalam limpahan harta bagi orang-orang yang banyak kehilangan iman. Sejenis permainan berbahaya seperti meminum air garam, perasaan tidak pernah merasa puas sebanyak apapun hasil yang didapat, kelelahan fisik yang tak terhindarkan, hingga penyesalan yang selalu datang belakangan. Usia yang merambat pergi, mendekatkan mereka kepada kematian yang seringkali beriringan dengan kekufuran. Tapi siapa yang peduli?

Yang penting bagi kita adalah berkerja secara maksimal, sebagai sebuah sebab untuk menjemput rezeki dari Allah. Bersiap dengan semua kemungkinan yang akan terjadi, bersyukur atas nikmat yang ada, belajar menikmati apa yang tidak dimiliki, dan menjaga husnudzan kepada Allah. Bahwa apapun yang kita alami, setelah kerja keras, adalah yang terbaik bagi kita.

Memilih lingkungan atau teman dekat adalah tugas kita selanjutnya. Selain karena sangat berpengaruh terhadap kehidupan kita sehari-hari, lingkungan  bisa menjadi pendukung atau malah perusak pemahaman keislaman kita. Termasuk di dalamnya pola kita menjalani hidup sederhana, mengerem keinginan yang tidak perlu, serta fokus kepada nilai-nilai dan kenyamanan hati daripada tumpukan benda, adalah hal yang lebih pantas diutamakan agar kita lebih tenang menjalani kehidupan.

Dr. Abdul Karim Bakr berkata, “Sesungguhnya, orang yang berakal tahu bahwa dia takkan mampu mendapatkan semuanya. Karena itu, dia menahan perasaan, perbuatan, dan kenikmatannya. Dia juga akan seimbang dan sederhana dalam bercita-cita.”

Terakhir adalah selalu mengkondisikan keluarga akan nilai-nilai keislaman ang kuat. Agar keberadaannya benar-benar menjadi pendukung dakwah kita, bukan malah sebaliknya. Sebab kemiskinan tidak berbahaya bagi mereka yang kuat imannya. Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah kefakiran yang aku takutkan atas kalian, tetapi yang aku khawatirkan adalah dibentangkannya dunia kepada kalian, sebagaimana dibentangkan kepada orang-orang sebelum kalian. Kemudian kalian berlomba-lomba mengejarnya sebagaimana mereka lakukan, lalu membinasakan kalian sebagaimana telah membinasakan mereka.”

Sumber: majalah arrisalah

Penulis: Ust. Tri Asmoro Kurniawan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *