Keluarga Para Pencinta Ilmu
Betapa indah keluarga para ulama salaf. Jika ada orang alim dalam keluarga, ia menjadi pelopor bagi anggota keluarga yang lain untuk maju. Tidak heran, kebanyakan keluarga pada ulama akhirnya dikenal pula kealimannya.
Memang, sebagaimana iman, ilmu tidak bisa diwariskan berdasarkan garis keturunan. Imam Ahmad berkata, “Segala puji bagi Allah, dia tidak menjadikan ilmu itu sebagai warisan berdasarkan garis keturunan, andai saja ilmu itu diwariskan, tentu hanya ahli bait Nabi shallahu ‘alaihi wasallam saja yang bisa menjadi ulama.
Tapi, hal itu bukan menjadi alasan kita untuk melepaskan tanggung jawab kita untuk mendidik anggota keluarga kita. Para salaf sangat antusias dalam menularkan ilmunya kepada anggota keluarga dan orang-orang terdekatnya. Mereka bisa memberi manfaat kepada orang-orang terdekat, juga mampu mengambil manfaat dari orang alim yang dekat dengannya. Sekarang, mari kita lihat, betapa harmonis keluarga para pecinta ilmu.
Bapak dan Anak Ngaji Bersama
Inilah kisah tentang bapak dan anak, yang berhijrah ke Madinah bersama, dan berangkat ke majelis Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam juga bersama. Umar bin Khattab sebagai ayah, dan Abdullah bin Umar sebagai anak. Seperti kita tahu, Umar termasuk ulama senior di kalangan sahabat. Beliau juga memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pendidikan anaknya. Beliau seringkali mengajak anaknya menghadiri majelis Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam, serta memotivasinya untuk belajar dan berdiskusi dengannya. Suatu kali Nabi shallahu ‘alaihi wasallam menerangkan tentang firman Allah, menyebutkan tentang ciri-ciri pohon tersebut lalu menguji para sahabat, pohon apakah itu? Abdullah bin Umar bercerita, “Saat itu, terbayang di benakku bahwa pohon itu adalah pohon kurma. Aku memperhatikan Abu Bakar dan Umar tidak menjawab. Maka saya malu untk mengutarakan pendapat saya. Ketika para sahabat tidak ada yang menjawab, maka Nabi shallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Itu adalah pohon kurma.”
Setelah perjalanan pulang, aku berkata kepada ayah (Umar), “Wahai ayah, demi Allah, sebenarnya tadi telah tersirat di benakku bahwa pohon yang dimaksud adalah pohon kurma.” Umar bertanya, “Lantas, apa yang menghalangimu untuk mengutarakannya?” Ibnu Umar menjawab, “Karena saya melihat kalian (para senior) tidak menjawab, maka saya enggan untuk mengutarakan sesuatu.” Umar berkata, “Sungguh andai saja tadi kamu utarakan, itu lebih aku sukai dari ini dan itu.”
Bersama-sama Mengembara Mencari Ilmu
Kisah lain yang mengagumkan adalah keluarga Walid bin Ubadah bin Shamit. Ubadah bin Walid berkata, “Saya keluar bersama ayah untuk mencari ilmu kepada orang-orang Anshar sebelum mereka wafat.” Lihatlah pemandangan ini. Setelah sirna gelapnya jahiliyah, seorang ayah bersama putranya keluar bersama untk memburu ilmu. Mereka menimba ilmu dari sumber aslinya. Karena khawatir tidak mendapatkan bagian, seorang bapak belajar bersama anaknya. Sungguh Islam telah mengajarkan kepada mereka bahwasannya ilmu adalah cahaya, kunci segala amalan, ia adalah rujukan bagi siapa yang hendak berbuat.
Ubadah bin Walid terus berjalan bersama bapaknya mencari ilmu dari para senior kaum Anshar di Madinah. Beliau katakan, “Pertama kali yang kami jumpai adalah Abu Yasar sahabat Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersama pembantunya yang sedang membawa lembaran buku.”
Sejenak kita berhenti, menyaksikan pemandangan yang mengejutkan, seorang sahabat bersama pembantunya, namun ia tidak sedang membawakan makanan ataupun minuman untuk majikannya, namun buku yang ia bawa, tertulis di dalamnya ilmu. Inilah buah dari bimbingan Islam yang mengarahkan setiap individu, keluarga dan masyarakat agar mencintai ilmu.
Keluarga Imam Malik
Siapa yang tidak kenal Imam Malik ? Ulama yang paling dikagumi oleh Imam Asy-Syafi’i, hingga beliau berkata, “Jika disebut sederetan nama ulama, maka Imam Malik adalah bintangnya.” Beliau juga menulis Kitab Al-Muwatha’, kumpulan hadits yang paling shahih di zamannya, yakni sebelum muncul shahih al-Bukhari, Muslim dan yang lain.
Kumpulan hadits yang beliau susun ini tak hanya beliau yang hafal, bahkan puteri beliau turut menghafal kita yang memuat ribuan hadits itu. Az-Zubaidi berkata, “Imam Malik bin Anas memiliki seorang anak perempuan. Ia seriang berada di balik pintu untuk turut menyimak hafalan murid yang sedang setoran hafalan al-Muwatha’ di hadapan Imam Malik. Jika ada bacaan yang salah, ia mengetuk pintu, sehingga Imam Malik mengetahui kesalahannya, maka beliau pun membetulkannya.”
Pembantu Ulama Menjadi Ulama
Mungkin tidak sulit mencari contoh ulama yang berhasil mendidik anaknya menjadi ulama. Tapi ternyata sejarah juga mencatat, tidak sedikit pembantu ulama yang berhasil menjadi ulama. Ini adalah kesuksesan yang menjadi buah motivasi syariat Islam yang menyuruh seseorang mendidik keluarga dan orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya.
Menurut Qatadah, di kalangan tabi’in yang paling ahli dalam hal sirah (sejarah) adalah Ikrimah bin Abdillah. Ia juga dikenal sangat pakar dalam hal tafsir al-Qur’an. Kepada siapa ia belajar? Tak lain adalah Abdullah bin Abbas, majikannya sendiri. Beliau adalah sebaik-baik penafsir al-Qur’an, dan dikenal sebagai ulama di kalangan sahabat sejak usia anak-anak.
Ada juga Nafi’, pembantu Abdullah bin Umar. Beliau dikenal sebagai ulama Tabi’in yang pakar dalam masalah hadits. Keilmuannya satu level dengan Salim putera Abdullah bin Umar. Bahkan menurut Imam al-Bukhari, sanad yang paling shahih adalah dari Anas dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar. Beliau juga diangkat menjadi duta oleh Umar bin Abdul Aziz untuk mengajarkan hadits kepada penduduk Mesir.
Adalah sejarah semisal itu akan berulang? Wallahu a’lam.