Kedudukan Akal Dalam Pandangan Ahlu Sunnah

Kedudukan Akal Dalam Pandangan Ahlu Sunnah

Untuk memperjelas pandangan Ahlus Sunnah tentang kedududukan akal, pada kesempatan kali ini dirosatul firoq menurunkan kajian tentang itu.

Memuliakan akal

Akal memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam. Akal juga menjadi manath taklif, yaitu sebab Allah swt membebani manusia dengan syariatnya. Iya adalah sarana yang urgent dalam memahami wahyu nash-nash Al-Qur`an dan As-sunnah.

Hanya saja Islam  tidak meletakkan akal sebagai hakim (penentu) yang menentukan benar tidaknya hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an dan As-sunnah. Sebab, ada beberapa ruang dalam syariat, yang tidak bisa dijawab oleh akal manusia.

Oleh karena itu Islam  meletakkan akal sesuai fitrohnya. Diantara perkara yang tidak bisa dinalar atau tidak bisa dicapai oleh akal adalah perkara gaib. Seperti, tentang Allah, Malaikat, surga, neraka dan lain sebagainya. Ini bukan domain akal.

Tetapi ini merupakan ruang wahyu. Adapun akal dalam permasalah ini, dituntut untuk memahaminya, kemudian menyakininya, bukan untuk memprotes atau mengkritisi.

Beberapa bukti bahwa Islam  sangat memuliakan akal bisa dilihat dalam beberapa ayat maupun hadits misalnya;

  1. Allah ta’ala, tidak membebani manusia kecuali karena akal yang dimiliki manusia dan syariat Islam tidak akan dibebankan kepada orang-orang yang telah kehilangan akalnya, seperti orang gila atau yang belum sempurna akalnya, seperti anak-anak kecil.

Rasulullah saw bersabda;

رفع القلم عن ثلاثة عن النائم حتى يستيقظ، وعن الصبي حتى يبلغ، وعن المجنون حتى يعقل

“Pena diangkat dari tiga jenis manusia: orang tidur hingga ia bangun, dari seorang anak hingga ia mimpi basah (baligh), dan dari orang gila hingga ia berakal.” (HR. Abu Daud)

  1. Dalam beberapa ayat, Allah ta’ala menegaskan; ayat-ayat Al-Qur`an dan syariat Islam tidak bisa dipahami dengan baik, kecuali oleh mereka yang memiliki akal sehat, atau menggunakan akal pikiranya.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,” (QS. Ali Imron: 190)

Ulil albab dalam ayat di atas bermakna orang-orang yang memiliki akal yang sempurna, cerdas dan untuk berfikir. (Tafsir Ibnu Katsier, 2/184)

  1. Menurut ahlus sunnah, akal yang sehat, menjadi salah satu sumber aqidah Islam setelah al-Qur`an dan as-Sunnah. Sebab akal yang sehat, pasti tidak bertentangan dengan wahyu yang shohih.
  2. Selain itu Allah ta’ala mencela orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya dengan baik. Bahkan mereka dijadikan penghuni neraka, sebagaimana firman Allah dalam surat al-mulk: 10,

“Dan mereka berkata; “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan [peringatan itu] niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.”

 

Sikap Terhadap Akal

Dalam menyikapi akal umat Islam terbagi menjadi 3 kelompok ;

Pertama; Kelompok filsafat dan Mu’tazilah mereka menyakini beberapa hal terkait akal. Antara lain;

  1. Sesungguhnya akal adalah dalil pokok dan dasar dari semua hokum.
  2. Akal lebih dikedepankan dari pada syara’ (Al-Qur`an dan As-Sunnah).
  3. Pembuktian-pembuktian akal bersifat pasti, sementara pembuktian syara’ masih bersifat prasangka.
  4. Sesungguhnya pahala dan siksa ditentukan oleh keputusan akal semata. Demikian juga baik buruknya segala sesuatu ditentukan oleh akal.
  5. Sesungguhnya akal berhak menentukan hukum tanpa harus bersandar pada dalil syar’i. seperti dalam menghalalkan atau mengharamkan. Karena, akal independen dalam menentukan hukum, tidak harus berkiblat ke nash-nash wahyu.

Kedua; Kelompok Asy’ariyah, yaitu pengikut imam Abu Hasan al-Asy’ari. kelompok ini, berpendapat,    akal tidak boleh dipakai dalam menentukan perkara-perkara syar’i. hanya saja, kelompok ini terkontaminasi dengan pemikiran Mu’tazilah. Tepatnya, ketika salah satu tokoh besarnya yaitu imam Abul Ma’aliy al Jawainiy, mengikuti dan menyebarkan paham Mu’tazilah.

Ketiga; Mazhab salaf Ahlus Sunnah yang ditegaskan dan diperjuangkan oleh para ulama ahlus sunnah. diantaranya; Imam Ibnu Qoyyim dan gurunya imam Ibnu Taimiyah. Ringkasanya, ahlus sunnah wal  jama’ah berpendapat ;

  1. Akal memiliki kemampuan untuk menalar dan mencerna serta menyimpulakan hukum. Hanya saja, kesimpulan akal bersifat global tidak parsial.
  2. Wahyu Allah ta’ala lebih dikedepankan dari pada akal sebab wahyu dijamin suci dari kesalahan sementara akal, tidak demikian. Hukum yang disimpulkan oleh akal, dianggap benar jika tidak bertentangan dengan wahyu Allah ta’ala.
  3. Akal yang sehat tidak pernah bertentangan dengan wahyu Allah ta’ala.
  4. Akal tidak bisa menentukan hukum, pahala atau dosa, sebelum ada penjelasan dari wahyu. Sebab, perkara-perkara tersebut, ditentukan oleh syariat. Bukan akal manusia. Fungsi akal dalam permasalahan ini, hanya mencerna, menalar dan memahami wahyu Allah ta’ala bukan penentuhukum yang pasti yang bersifat independen.

 

Akal Yang Tercela

Selain memuji akal, syariat juga mencela beberapa jenis akal yang tidak bekerja sesuai fithrohnya. Al-Imam Ibnu al-Qoyyim al-Jauziyah, (I’lamul Muwaqi’in, 1/54) menyebutkan akal yang tercela tersebut;

  • Pendapat (akal) yang menyelisihi nash (Al-Quran atau As-Sunnah).
  • Pendapat (akal) yang berbicara masalah dien dengan prasangka dan perkiraan disertai dengan sikap meremehkan mempelajari nash-nash, memahaminya serta mengambil hukum darinya.
  • Pendapat (akal) yang mengandung penolakan asma (nama-nama) Allah swt, sifat-sifat dan perbuatan-Nya dengan qiyas-qiyas (analogi) yang batil yang disusun oleh para ahlul bid’ah dan sesat. seperti Jahmiyah, Mu’tazialah, Qodariyah dan sejenisnya.
  • Pendapat (akal) yang menyebabkan munculnya bid’ah, tersingkirnya As-sunnah dan tersebarnya petaka.
  • Pendapat (akal) yang berbicara tentang hukum-hukum syariat berdasarkan istihsan (anggapan baik dari dirinya) dan prasangka, tidak berdasarkan wahyu.

 

Domain Akal

Ada beberapa permasalahan dalam Islam yang menjadi ruang kerja akal. Diantranya;

  • Perkara-perkara fiqih seperti dalam masalah qiyas (analogi).
  • Perkara yang bisa disimpulkan, karena ia bersifat abstrak dan terindra; misalnya api itu panas, batu itu keras, air dingin dan sejenisnya.
  • Seluruh informasi atau maklumat yang sesuai dengan fitrah manusia. Seperti kecenderungan kepada lawan jenis, kemudian hubungan suami istri, dan masalah makanan.
  • Semua informasi atau hal-hal yang dihasilkan dari kajian, hipotesa, penelitian, dan sejenisnya. Baik terkait dengan sesuatu yang terindikasi atau sesuatu yang bersifat psikologis (perasaan).

 

Akibat Mengedepankan Akal Di Atas Wahyu

Pertama: Orang tersebut mengikuti jalannya Iblis. Sebab Iblis adalah makhluk pertama kali menentang Allah ta’ala, dengan menggunakan logika akal yang buruk. Allah ta’ala berfirman;

Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Menjawab iblis “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. Al A’raf: 12)

Iblis menolak perintah Allah atas analogi yang rusak; ia diciptakan dari api, sementara Adam dari tanah. Maka yang baik tidak menghormati yang buruk.” Begitu analogi rusak iblis.

Hal yang sama terjadi pada orang-orang liberal. Mereka menghalalkan minuman keras, dengan logika dangkalnya; bahwa pengharaman khomer hanya berlaku di daerah panas seperti Arab. Sementara di daerah dingin dan tropis, tidak berlaku larangan ini.

Kedua: Mengikuti hawa nafsu. Sebab ketika seseorang menolak untuk berhukum kepada Wahyu

“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesung- guhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesunguh- guhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Qashash: 50)

Ketiga: Menyebabkan kekufuran dan menyimpang dari kebenaran hal ini seperti yang terjadi pada orang-orang musyrik pada zaman Nabi Muhammad saw. Allah berfirman:

Dan mereka berkata: “Mengapa Al Quran ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini ?” (QS. Az Zukhruf: 31)

Menurut mereka, orang yang berada di antara dua negeri Makkah dan Thoif, yaitu al-Walid bin Al-Mughirah lebih layak untuk menjadi Nabi daripada Nabi Muhammad. Sebab dalam pandangan orang-orang musyrik- dia memiliki kelayakan menjadi Nabi daripada Muhammad. Seperti kekayaan, kecerdasan, ketokohan, kemampuan diplomasi, dan lain sebagainya.

Inilah penjelaskan kedudukan akal dalam pendangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sehingga tidak terlalu mendewakan akal, dan juga tidak meremehkan akal. Wallahu a’lam bish Showab.

(sumber: majalah an najah)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *