Kami Mendengar dan Kami Taat

Kami Mendengar dan Kami Taat

كَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ يُحَدَّثُ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافعَلُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ

Abu Hurairah bercerita bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apa yang telah aku larang untukmu maka jauhilah. Dan apa yang kuperintahkan kepadamu, maka kerjakanlah dengan sekuat tenaga kalian. Sesungguhnya umat sebelum kalian binasa karena mereka banyak tanya, dan sering berselisih dengan para Nabi mereka.” (HR. Bukahri dan Muslim)

Imam Nawawi berkata, “Hadits ini merupakan bagian dari kaidah-kaidah Islam yang penting dan termasuk jawami’ul kalim serta mengandung hukum hukum yang sangat banyak.”

Di dalamnya terdapat anjuran untuk iltizam dengan syariat Allah Azza wa jalla baik itu melakukan perintah atau menjauhi larangan dan berhenti pada batasan yang telah ditentukan, tidak meremehkan dan tidak pula berlebih lebihan

Dalam hadits ini terdapat permisalan, pelajaran dari kaum terdahulu yang hancur serta binasa dikarenakan tidak mematuhi perintah, banyak bertanya serta menyelisihi Nabinya. Mau’dzah buat kita semua untuk selalu taat dan tunduk dengan syariat Allah dan selalu mengikuti petunjuk Rasulullah.

Mencegah Lebih Baik Daripada Mengobati

Meninggalkan larangan dalam hadits ini didahulukan dari mengerjakan suatu amalan, hal ini sebagaimana kalimat tauhid laa ilaha illaah, mengkosongkan dulu baru kemudian mengisi dengan benar. Tinggalkan ilah yang tidak berhak disembah dan beribadahlah hanya kepada ilah yang berhak disembah yaitu Allah subhanahu wata’ala. Tidak boleh mengamalkan tauhid tapi juga mengerjakan larangan yang berupa syirik.

Di antara ulama ada yang berkesimpulan bahwa hadits ini menunjukkan, meninggalkan larangan itu lebih ditekankan dan mendapat porsi perhatian yang lebih besar daripada menjalankan perintah atau suatu amalan, tentunya ini tidak berarti menganggap enteng dari perkara yang diperintahkan.

Sehingga muncullah kaidah dari hadits ini, dar’ul mafasid muqaddam ala jalbil manafi’ (mencegah terjadinya kerusakan itu lebih utama dan didahulukan daripada mendatangkan kemashlahatan) contoh aplikatifnya adalah, larangan menjual buah anggur kepada orang yang telah diketahui memiliki pabrik minuman keras, meskipun ia memberikan harga yang lebih tinggi dibanding pembeli yang lain dan mendatangkan keuntungan melimpah serta meninggkatkan devisa negera dan menstabilkan perekonomian. Tetap saja muammalah jual beli itu tidak dilakukan karena akan menyebabkan kerusakan yang lebih besar.

Tinggalkan Larangan Keseluruhan

Bila ada larangan yang haram maka wajib hukumnya ditinggalkan kecuali bila keadaan darurat menuntut kita untuk melakukannya maka boleh mengambil keharaman secukupnya, misalnya boleh memakan bangkai bagi yang tidak memiliki makanan dan tidak mampu mendapatkan makanan yang halal, tapi tidak boleh sampai kenyang dan menyimpannya. Dalam fiqih termasuk kaidah adhorurat tubihul mahdzurat (kondisi darurat membolehkan untuk melakukan yang dilarang).

Pilih Yang Mudah Dan Contoh Rasulullah

Islam mengajarkan kepada umatnya supaya mencontoh Nabi Muhammad dalam beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, artinya kita tidak boleh berlagak pintar dengan melakukan ibadah semau kita. Akan tetapi contek saja bagaimana Rasulullah beribadah dan semampu kita, dan ternyata kita tidak bisa menyaingi ibadahnya Rasulullah baik dalam kuantitas apalagi kualitas.

Bila tidak mampu shalat berdiri maka dudukpun boleh, jadi pilihlah yang mudah dan jangan memberatkan diri sehingga bisa membahayakan jiwa. Terdapat kaidah almaisur la yasqutu bil ma’sur (kemudahan tidak gugur dengan kesulitan), jadi shalatnya tidak gugur tapi tetap dikerjakan dan kesulitan yang dihadapi membolehkan ia mengambil yang lebih ringan yaitu shalat dengan duduk, bila tidak bisa duduk maka shalat dengan berbaring.

Ada pula kaidah al-masyaqqah tajlibu taisir (kesulitan itu mendatangkan kemudahan), contohnya: musafir boleh berbuka (tidak puasa wajib saat safar) dan menggantinya di waktu yang lain, ia juga diperbolehkan menjamak serta mengqashar shalat atau mengqashar saja tanpa menjamaknya. Bila tidak menemukan air maka boleh tayammum.

Definisi kepayahan, kesulitan dan darurat dalam setiap kaidah fiqih yang disebutkan perlu diperinci lagi sehingga tidak salah dalam penggunaannya. Bila seseorang memiliki modal sedikit maka tidak boleh baginya bermuammalah dengan riba untuk memperbesar usahanya dengan dalih darurat, begitu juga perkataan orang ‘karena darurat maka boleh berobat dengan yang haram’ perkataan ini tidak benar kata syaikh Utsaimin dari dua sisi, pertama kadang penyakit hilang tanpa diobati dan kedua kadang orang berobat tapi tidak sembuh. Dan ulama rahimahullah berpendapat dakan keharaman berobat dengan yang haram.

Sebab-Sebab Kehancuran Umat

Yang memecah persatua, melemahkan kekuatan adalah banyak bertanya, bantah bantahan, dan berselisih. Rasulullah shallahu’alaihi wasallam melarang umatnya dari tiga hal, dari mengucapkan ‘katanya’ (berita yang tidak jelas dan tidak manfaat-pent), banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta.” (HR. Bukhari)

Yang dibutuhkan adalah memahami apa yang diturunkan Allah dan mengetahui kabar dan petunjuk Rasulullah kemudian mengikuti dan mengamalkannya. “Kami dengar dan kami taat.”

Bertanya untuk memahami kewajiban adalah wajib bagi setiap muslim adapun banyak bertanya tentang suatu hal yang dirahasiakan Allah misalnya; kapan kiamat, hakikat ruh dan bentuknya, rahasia qadha dan qadar, kemudian pertanyaan yang tidak realistis atau permasalahan yang belum terjadi maka hal ini terlarang. Apabila bertanya untuk merendahkan dan melecehkan syariat serta menyelisihi Rasulullah maka jahannam tempat kembalinya. Wallahu a’lam.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *