Kaidah Menyikapi Kesalahan Ulama

Kaidah Menyikapi Kesalahan Ulama
Oleh: Syaikh Dr. Ahmad Ash Shuwayyan

Seorang ulama atau dai betapapun tinggi ilmu dan besar peranannya dalam dunia dakwah, ia tetaplah manusia bisa benar dan bisa pula salah. Sebagaimana sabda Nabi shallahu ‘alaihi wasallam :

كُلُّ بَنِى آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ

“Setiap anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat.” (Ibnu Majah)

Dan kekeliruan seorang ulama atau dai biasanya akan menjadi fitnah bagi dua golongan. Golongan pertama: menyerangnya dengan kritikan pedas dan sindiran bahkan tak jarang juga sampai menzhalimi dan mengurangi hak-haknya sebagai ulama dan dai. Golongan kedua: fanatik berat kepadanya, sehingga berusaha membela kesalahannya tersebut dan mencari dalih pembenaran yang dipaksakan.

Dan sikap yang benar adalah pertengahan di antara dua golongan tersebut. Ahlussunnah tidak berpihak pada seseorang yang melawan kebenaran dan pada saat yang sama mereka juga tidak menyerang orang yang bersalah. Akan tetapi memberikan haknya dengan penuh keadilan dan inshaf sesuai porsinya.

Sebagai implementasi firman Allah Ta’ala:

وَلَا تَبۡخَسُواْ ٱلنَّاسَ أَشۡيَآءَهُم

“Dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya.” (QS. Al A’raf: 85)

Salah kaprah dalam hal ini menimbulkan keguncangan dan kerancauan di kalangan para dai dan penuntut ilmu, yang kemudian menjalar ke berbagai organisasi dan kelompok umat Islam sehingga menambah provokasi perselisihan dan perpecahan.

Sebab itulah, saya akan menyampaikan berapa kaidah penting, semoga bermanfaat bagi saya dan para pemirsa biidznillahi ta’ala.

Kaidah pertama: Melakukan Tabayyun

Kita wajib untuk melakukan verifikasi dan validasi ucapan yang bersumber dari seorang alim atau dai sebelum menyerang atau menuduhnya salah dan membantahnya.

Verifikasi itu meliputi dua perkara. Pertama: Memastikan validitas berita yang dinukil dari seorang ulama atau dari tersebut. Ada peribahasa yang mengatakan:

وما آفَةُ الأَخبار إلا رُواتُها

“Bencana sebuah berita terkadang bersumber dari para penyebarnya.”

Terlebih lagi di zaman ini, dimana media massa memiliki akses yang sangat luas yang dengan mudah mengedit dan mendistorsi ucapan seorang dai, padahal ia tidak pernah berkata demikian. Nabi shallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

كَفَى بِالمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah seseorang dikatakan berdusta, jika ia menyampaikan setiap apa yang ia dengar.” (HR. Ibnu Hibban)

Kedua: memastikan kebenaran pemahaman kita, karena sebagian penuntut ilmu atau penebar berita menukil ucapan yang tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh seorang ulama atau dai. Pemahaman yang salah tersebut kemudian dinisbatkan kepada seorang ulama.

Imam Ibnu Qayyim telah mengingatkan tentang hal ini:

ما أكثر ما ينقل الناس المذاهب الباطلة عن العلماء بأفهام القاصرة

“Alangkah banyak pendapat batil yang dinukil dari para ulama yang bermula dari pemahaman yang salah. (Madarijus Salikin, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah: 2/449)

Maksudnya, pemahaman yang salah terkadang menyebabkan penisbatan pendapat yang batil kepada seorang alim, padahal ia tidak pernah mengucapkannya.

Kaidah kedua: antara kesalahan dan orang yang bersalah

Hendaknya bisa membedakan sikap antara kesalahan dengan orang yang bersalah. Kesalahan harus disanggah dengan argumentasi dan dalil, kesalahan siapapun tidak boleh didiamkan. Adapun oang yang bersalah haruslah disikapi sesuai dengan kondisinya. Menyikapinya secara baik, dilandasi kasih sayang dan berusaha memaafkannya sebagaimana sabda Nabi shallahu ‘alaihi wasallam:

أَقِيلُوا ذَوي الهَيئَات عَثَراتِهم إلاَّ الحُدُوْدَ

“Maafkanah kesalahan orang-orang yang terpuji akhlaknya kecuali dalam masalah hudud.” (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad)

Atau jangan menyebut nama pelaku, melainkan cukup dengan isyarat. Sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah: “Mengapa orang-orang tersebut melakukan hal ini dan itu.”

Dalam kondisi tertentu diperlukan sikap tegas atau memboikot sesuai dengan kadar kesalahan yang ia perbuat.

Kaidah ketiga: Salah Tidak Otomatis Berdosa

Tidak ada korelasi (talazum) yang erat antara kesalahan dan dosa. Ahlussunnah tidak memaksumkan siapapun tidak pula serta merta memvonisnya berdosa. Sebagaimana dinukil dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan senada dengan makna sebuah hadits, bahwa seorang mujtahid yang salah akan mendapat satu pahala, dengan izin Allah.

Karenanya, seorang mujtahid dimaafkan kekeliruannya dan tidak divonis berdosa bahkan mendapatkan pahala jika ia memang berkompeten dalam berijtihad. Adapun orang yang sok alim atau alim karbitan yang menggeluti suatu perkara sedang ia tidak berkompeten di dalamnya maka dikhawatirkan ia berdosa.

Kaidah keempat: Kesalahan itu bertingkat-tingkat

Kesalahan itu bervariasi berdasarkan kondisi serta pelakunya. Kesalahan yang tidak disengaja berbeda dengan kesalahan yang dilakukan secara berulang-ulang. Kesalahan yang berdampak luas tidak sama dengan kesalahan yang berdampak khusus. Kesalahan jamaah (kelompok) tidak sama dengan kesalahan personal. Dan kesalahan yang dilakukan seorang tokoh atau panutan berbeda dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang awam. Kesalahan dalam perkara ushul berbeda dengan kesalahan dalam perkara furu’.

Kesalahan harus diletakkan secara proposional tanpa dibesarkan atau diremehkan. Hal ini sesuai dengna firman Alah Ta’ala:

وَإِذَا قُلۡتُمۡ فَٱعۡدِلُوا۟

“Dan apabila kamu berkata, maka hendakah kamu berlaku adil.” (QS. Al An’am: 152)

Demikian pula firman Allah:

وَإِذَا حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِۚ

“…dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil.” (QS. An-Nisa’: 58)

Kaidah Kelima: Ukuran Perbuatan

Berafiliasi ke lembaga dakwah atau madrasah ilmiah tertentu tidak berdampak pada rekomendasi mutlak atau celaan mutlak.

Yang menjadi patokan adalah perbuatan dan track recordnya. Standar pengukur ucapan dan perbuatan adalah nash syar’i. namun kaidah ini tidak mencakup madrasah yang menjadi panutan dalam bid’ah dan kesesatan.

Kaidah keenam: Mencari-cari kesalahan

Mencari cari kesalahan, menebar kesalahan dan menutupi kebaikan ulama atau dai adalah penyakit parah yang mengindikasikan rendahnya agama dan muru’ah seseorang. Sangat disayangkan, hal ini menjadi fenomena di kalangan orang-orang terpelajar bahkan menjadi dilema umum di berbagai media massa.

Karena itu, Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam memohon perlindungan kepada Allah,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ  مِنْ خَلِيلٍ مَاكِرٍ عَيْنَهُ تَرَانِي، وَقَلْبُهُ تَرْعَانِي، إِنْ رَأَى حَسَنَةً دَفَنَهَا، وَإِذَا رَأَى سَيِّئَةً أَذَاعَهَا

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari teman ahli makar yang matanya melihatku namun hatinya menjelekkanku jika ia melihat kebaikan maka ia menyimpannya dan jika ia melihat keburukan maka ia menyebarkannya.” (HR. Ath Thabrani)

Sudah banyak ulama yang merasa disakiti sebab perbuatan orang-orang seperti ini. Imam Asy Sya’bi rahimahullah berkata:

لو أصبت تسعا وتسعين، وأخطأت واحدة، لأخذوا الواحدة وتركوا التسع والتسعين

“Andai aku benar dalam 99 masalah dan salah dalam satu masalah, pastilah mereka mengambil yang satu dan mengabaikan yang 99 lainnya.” (Hilyatul Auliya’, Abu Nuaim Al Ashfahani,)

Karenanya Imam Ahmad menasehati Imam Abdulah bin Zubair Al Humaidi tatkala ia mencari-cari beberapa kesalahan Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad berkata: “Subhanallah, mengapa kau lebih tertarik dengan sepuluh masalah ini, sedang beliau mempunyai 90 masalah yang benar, ambillah yang benar darinya dan tinggalkan apa yang kau anggap salah.” (Thabaqat Asy-Syafi’iyyah: 40)

Maka dengan ini saya katakan, mengajarkan generasi muda untuk mecela para dai atau ustadz dan mencari-cari kesalahan mereka adalah penyakit kronis yang menghambat perjalanan dakwah. Jika anda melihat seorang dai yang menjauhkan dirinya dari perdebatan menjauhi isu atau desas-desus atau mencari kesalahan orang lain berusaha memberikan udzur baik bagi mereka maka ketahuiah bahwa ialah orang yang beragama, berakal, dan bermartabat maka dekatilah dia.

Kaidah ketujuh: Menjaga Martabat Ulama

Menjaga martabat ulama dan dai adalah kewajiban dalam syariat. Mengetahui keutamaan seseorang adalah akhlak seorang muslim. Tidak dibenarkan menjatuhkan martabat atau kebaikan seorang alim hanya karena kesalahan atau khilaf lidah yang tak disengaja.

Standar menghukuminya adalah banyaknya kebaikan yang ia miliki. Sebab jika air mencapai dua qullah maka sedikit najis tidak akan mempengaruhi kesuciannya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Rajab bahwa seorang munshif dan obyektif adalah orang yang memaafkan sedikit kesalahan orang lain, sedangkan ia memiliki banyak sekali kebaikan.

Cermatilah wahai para dai, andai kita jatuhkan seorang ulama atau dai hanya karena satu kesalahan, akankah tersisa ulama dari zaman dahulu hingga saat ini?

Dalam hadits shahih dari Nabi shallahu ‘alaihi wasallam:

لاَ يَفْرَقْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنًا إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا خُلُقًا آخَرَ

“Seorang suami tidak boleh membenci istrinya sebab jika dia membenci satu akhlak dari istrinya aka dia pasti ridha dengan akhlaknya yang lain.” (HR. Muslim)

Maknanya kehidupan suami istri tidak akan harmonis kecuali dengan melihat seluruh amal perbuatan tiap pasangannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam As Sa’di: “Ini menjadi kaidah sosial dalam semua jenis hubungan sesama manusia.”

Seorang mukmin tidak boleh membenci mukmin lainnya, jiia ia membenci satu akhlak darinya, maka ia akan menyukai akhlak yang lain.

Kaidah kedelapan: Niat Dalam Debat

Membantah orang yang salah hendaklah dengan niat saling menasehati dan mengingatkan dalam kebenaran. Kita berlindung kepada Allah azza wa jalla jangan sampai bantahan tersebut hanya untuk kemenangan pribadi atau membela diri atau untuk mengalahkan lawan debat atau mencari muka di hadapan manusia.

Diantara tanda sebuah nasehat itu tulus adalah jika bantahannya disampaikan dengan niat meluruskan dan membimbing, bukan untuk mempermalukan atau menjatuhkan kehormatannya. Terus terang saya katakan bahwa sebagian penuntut ilmu yang dekat dengan ulama, ustadz atau dai terkadang sengaja berusaha mengadu domba di antara para dai atau ustadz memicu pertikaian dan mengarahkan mereka untuk membuat pernyataan atau sikap dengan tujuan memecah belah persatuan.

Perhatikanlah, ketika seorang datang kepada Imam Ahmad seraya memberitakan bahwa ada orang yang mencelanya, mengatakan hal yang tidak pantas tentangnya. Maka Imam Ahmad justru berkata: “Ia adalah orang shaleh yang diuji dengan kami apa boleh buat?.” Imam Ahmad tidak mau terpancing atau terjebak, karenanya beliau mengeluarkan pernyataan yang adil dan wara’.

Ketika disampaikan kepada Nadhr bin Salamah bahwa si fulan mencela dan menyinggungmu, kau harus menjatuhkannya, seolah si pembawa berita ingin agar Nadhr menjatuhkan martabat si fulan tersebut, Nadhr pun berkata: “Demi Allah, saya tidak akan meladeni berita ini dan tidak akan menghancurkan martabat orang yang telah ditinggikan Allah.”

Intinya wahai saudaraku, bahwa sebagian penuntut ilmu dalam suasana kompetensi antar kelompok, organisasi Islam atau lembaga dakwah terkadang ada yang sengaja memicu pertikaian dan berusaha memperbesar kesalahan bahkan mendorong sebagian dai atau ustadz untuk beradu, bertanding dan bertikai.

Ingatlah, Allah ta’ala telah berfirman:

وَلَا تَسۡتَوِي ٱلۡحَسَنَةُ وَلَا ٱلسَّيِّئَةُۚ ٱدۡفَعۡ بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ فَإِذَا ٱلَّذِي بَيۡنَكَ وَبَيۡنَهُۥ عَدَٰوَةٌ كَأَنَّهُۥ وَلِيٌّ حَمِيمٌ

“Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan an-tara kamu dan dia akan seperti teman yang setia.” (QS. Fushilat: 34)

Metode yang diajarkan Al Qur’an adalah membimbing seseorang untuk bersikap lembut, senantiasa memaafkan, berusaha membalas keburukan dengan berbuat baik kepada pelakunya.

Wahai para dai, sesungguhnya menanggapi kesalahan dengan bahasa balas dendam atau niat menjatuhkan atau mengalihkan kritik kepada kepentingan kelompok atau pribadi tidak diragukan lagi bahwa ini merupakan kesalahan tarbiyah dan penyakit hati. Siapa yang terjangkiti, maka sangat mendesak untuk segera diobati. Ini semua menegaskan bahwa kita sangat membutuhkan tarbiyah imaniyah dalam lingkungan dakwah untuk mengangkat jiwa kita hingga tidak sudi terjerumus ke dalam jurang perselisihan, pertikaian dan kegaduhan yang hanya akan merusak agama dan citra dakwah. Kebolehan menyanggah kesalahan orang lain tidak berarti berubah menjadi legitimasi pemecahbelahan barisan dan mencerai beraikan persatuan umat, tidak pula berarti boleh merendahkan orang lain atau menggugurkan hak-haknya.

Dari hati yang paling dalam saya menyerukan: “Wahai para dai, luruskan dan rapatkan shafmu, semoga Allah mengasihi kalian.”

Catatan:

Makalah ini merupakan transkrip terjemahan dari vidio berjudul: Ayyuha Ad Du’at, Sawwuu Shufufakum (Para Dai Rapatkanlah Shaf Kalian)

Disusun dan disempurnakan kembali oleh: Ust. Zaid Royani, S.Pd.I

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *