Kaidah Menentukan Prioritas Amal Dakwah

Kaidah Menentukan Prioritas Amal Dakwah

Para ulama telah menjelaskan beberapa kaidah yang bisa membantu seorang muslim, terlebih aktivis, untuk bisa menentukan prioritas amal di lapangan dakwah. Dengan kaidah-kaidah ini, diharapkan dakwah Islam bisa berjalan dengan baik dan meraih sukses.

 

Pertama: Menghindari bahaya (mafsadah) lebih utama daripada mengejar manfaat (mashlahah).

Sebenarnya kaidah ini bersifat global, tidak hanya berlaku di ranah dakwah. Namun juga dipraktikkan dalam masalah fikih, akidah, politik, jihad dan lain sebagainya.

Dalam dakwah, kaidah ini sungguh sangat diperlukan. Seorang dai harus memiliki kemampuan membedakan antara yang baik (mashalat) dan buruk (mafsadah). Pada dasarnya, seorang harus berusaha maksimai untuk mendapatkan mashlahat dan menghindari mafsadah.

Namun, dalam perjalanan dakwah, seorang dai sering kali dihadapkan pada dua pilihan dilematis. Misalnya dihadapkan satu amal yang kalau dilakukan ia akan mendapatkan manfaat. tetapi juga akan menimbulkan dampak buruk. Pada kondisi seperti ini, ia dituntut untuk bersungguh-sungguh menentukan mana yang paling bermanfaat dan mana yangmembahayakan. Jika pada kenyataannya unsur mashiahat dan mafsadah berimbang atau sama nilainya. Maka berdasarkan kaidah di atas, ia dituntut untuk meninggalkan amal tersebut.

Kaidah ini telah disebutkan oleh Allah dalam firmanNya:

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih Mar dari manfaatnya.” (QS. Al-Baqarah: 219)

Khamar dan judi memiliki manfaat, namun juga membawa banyak bahaya dan dampak buruk. Karena itu Allah mengharamkan khamar dan judi. Imam Ibnu Abil lzz memberi catatan, “Jika antara mashlahah dan mafsadah seimbang, menghindari bahaya lebih utama daripada mendapatkan manfaat. Jika mashalahatnya nyata, bukan asumsi dan jauh lebih dominan maka dibolehkan melaksanakan amal tersebut, walau mafsadahnya ada dan tidak bisa dihindari.” (Qowa’id al-Ahkam, 98/1)

Termasuk dalam kaidah dakwah ini adalah jika seorang dai dituntut melaksanakan salah satu dari dua kebaikan, ia harus memilih yang paling banyak mashlahatnya, dan memilih amal yang ringan keburukannya dari dua amal yang sama-sama buruk.

 

Kedua: Mengutamakan llmu daripada AmaL

Bagi sebrang muslim yang terjun di medan dakwah. kaidah ini tidak bisa diabaikan. Jika tidak. ia akan jatuh dalam banyak kesalahan.

Sebab ilmu adalah imam bagi amal. llmu harus ada sebelum beramal, baik ibadah mahdah ataupun ibadah ghairu mahdhah. Seperti berdakwah di jalan Allah. Inilah alasan Imam Bukhari menulis dalam kitab Shahihnya: Bab Al-llmu Qabla Al-Qaul wal Amal, llmu sebelum berkata dan berbuat.

Allah menjelaskan kaidah ini dalam firman-Nya:

“Maka ketahuilah. bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin. laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19)

Ayat ini memerintahkan orang beriman untuk mengilmui terlebih dahulu (fa’lam), baru kemudian diperintahkan untuk beramal (was taghfir lidzambika)

Rasulullah bersabda:

“Siapa yang dikehendaki kebaikannya oleh Allah, Dia akan memahamkannya urusan addien (agama Islam).” (HR. Bukhari)

Maknanya, da’i ataupun aktivis yang baik dan dilimpahkan berkah oleh Allah adalah dai yang memiliki ilmu dalam berdakwah.

Sebaliknya, aktivis yang buruk, adalah yang memperjuangkan Islam tanpa ilmu.

Ulama sekaligus khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata, “Barangsiapa yang mengamalkan sesuatu tanpa ilmu maka kerusakan yang dia lakukan lebih dominan daripada kebaikan yang didapatkan.” (Jami ‘ul Bayan, 1/27)

Muncul dan berkembangnya kelompok-kelompok sesat dalam Islam, seperti Khawarij, Murjiah dan Syi’ah, seringkali berawal dari kebodohan. Khawarij misalnya, memiliki iradah (oreintasi) yang baik, yaitu beribadah kepada Allah dan menegakkan hukum Allah. Tetapi tidak berbekal ilmu yang cukup. Dari sinilah lahir sikap menghalalkan darah umat lslam dan meremehkan kehormatan muslim lainnya.

Dalam sebuah ayat. Allah berfirman:

Katakanlah: “lnilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan bashiroh (hujjah yang nyata). Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)

Syaikh Utsaimin menjelaskan, setidaknya ada tigajenis ilmu yang harus dimiliki seseorang yang terjun di medan dakwah. Yaitu:

Pertama; dia memiliki ilmu terhadap apa yang menjadi materi dakwahnya.

Kedua: memiliki ilmu tentang kondisi dan keadaan objek dakwahnya.

Ketiga: mengetahui cara menyampaikan dakwah yang baik.

Rasulullah & bersabda:

“Hakim itu ada tiga, dua orang di nerakadan seorang lagi di surga. Seorang hakim yang tahu kebenaran dan ia memutuskan dengannya, ia di surga. Seorang yang tahu kebenaran dan ia memutuskan dengannya, ia di surga. Seorang yang tahu kebenaran namun tidak memutuskan dengannya, ia di neraka. Seorang yang tidak tahu kebenaran dan ia memutuskan untuk masyarakat berdasar ketidaktahuan, ia di neraka.” (HR. Hakim)

 

Ketiga: lebih Mengutamakan Kemudahan Daripada Beban.

Dalam mendakwahkan ajaran Islam di tengah umat, seorang dai seringkali menghadapi berbagai macam pilihan dakwah. Umat pun seringkali meminta solusi dari sekian pilihan yang harus mereka pilih. Maka dari sekian pilihan yang ada, seorang dai maupun aktivis harus memberi pilihan yang mudah bagi umat, dan selalu mempermudah urusan mereka. Tidak mempersulit mereka. Selama itu tidak melanggar ketentuan syariat.

Nash-nash syari telah menjelaskan kaidah ini adalah firman Allah”

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan itu (hilal ramadhan), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185).

Saat mewajibkan ibadah kepada hamba-hamba-Nya, Allah memberikan beragam cara pelaksanaanya. Hal ini dimaksud untuk mempermudah hamba-hamba-Nya. Misalnya dalam masalah wudhu, Allah berfirman menjelaskan:

“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur..” (QS. Al-Maidah: 6)

Ibunda Aisyah mengisahkan kekagumannya kepada pribadi sang suami, Rasulullah, “Jika Rasulullah  ditawarkan antara dua pilihan, beliau akan memilih yang paling mudah, selama itu tidak maksiat. Jika itu sebuah kemaksiatan, sungguh Rasulullah manusia yang paling menjauhinya. Rasulullah tidak pernah marah karena dirinya, tetapi kemarahan beliau terjadi jika ketentuan Allah dilanggar, Beliau marah karena Allah.” (HR. Ahmad)

Abu Hurairah meriwayatkan dari Rasulullah

“Sesungguhnya agama yang dicintai Ailah adalah yang lurus dan mudah.” (HR. Thabrani)

Dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya sebaik-baiknya agama kalian adalah yang paling mudah. Sesungguhnya sebaik-baiknya agama kalian adalah yang paling mudah.” (HR. Ahmad)

Rasulullah mengajarkan tata cara ibadah yang memudahkan bagi umatnya. Mudah dicerna, juga mudah dilaksanakan. Dalam puasa, Rasulullah menganjurkan untuk mengakhirkan sahur hingga menjelang adzan, dan menganj urkan untuk menyegerakan berbuka puasa.

Beliau juga memerintahkan para imam shalat untuk meringankan shalat berjamaah dengan tidak memperlama bacaan, ruku’ maupun sujud. Sebab bisa jadi ada di antara makmum ada orang tua yang sudah renta. anak kecil, atau musafir.

“Wahai Utsman, “Sabda beliau kepada sahabat Utsman yang beliau angkat sebagai pemimpin Thaif, “ringankaniah shalat, ukurlah manusia dengan yang terlemah di antara mereka. Sungguh, di tengah mereka ada yang lemah, sakit, yang tinggal jauh (musafir), dan memiliki hajat lain.”

Ini beberapa contoh tuntutan Rasulullah untuk meringankan masyarakat dalam beribadah. Inilah seharusnya yang dilakukan oleh seorang aktivis. Lebih-lebih di saat membangun kekuatan umat seperti yang dilakukan oleh gerakan dakwah dan jihad hari ini. Mereka dituntut untuk merawat loyalitas umat kepada Islam, dan tidak terlalu membebani mereka untuk iltizam dengan perkara-perkara yang ideal.

 

Keempat: Mengutakamakan Mashiahat Umum daripada Mashlahat Pribadi.

Sejak pertama kali muncul di Jazirah Arab, Islam telah mengajarkan kepada umat manusia untuk senantiasa bersatu, berjamaah, bergotong-royong dan terorganisir. Islam tidak mengajarkan sikap egois. yaitu sikap hanya mempedulikan diri sendiri.

Fakta ini bisa dilihat dari perjalanan dakwah Rasulullah, Untuk bepergian saja, Rasulullah menganjurkan untuk berjamaah, dan harus ada yang memimpin.

Syariat Islam pun banyak yang terlaksana dengan berjamaah. Seperti jihad, shalat lima waktu, shalat jumat, penegakkan had, hatta (sampai) pernikahan pun disunnahkan untuk diramaikan dengan walimah.

Kemashlahatan umat akan tercapai dengan sempurna dengan kebersamaan. Oleh karena itu, Islam lebih mendahulukan kepentingan umum (bersama) daripada kepentingan pribadi. Baik dalam dakwah, berkeluarga, lebih-lebih jihad fi sabilillah.

Dalam dakwah, seorang aktivis harus mengingatkan dirinya, bahwa kepentingan individu tidak jauh lebih penting daripada kepentingan bersama (jamaah). Rasulullah bersabda:

“Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat untuk orang lain, dan perbuatan yang paling dicintai Allah adalah; memasukkan kegembiraan pada seorang muslim, menghilangkan kesusahannya, melunasi hutangnya, mengusir kelaparannya, bersama menyelesaikan sebuah hajat saudaraku muslim lebih aku sukai dari pada sebulan beri’tikaf di masjid Nabawi, siapa orang yang dapat mengendalikan amarahnya maka Allah akan menutupi keburukannya, siapa yang mampu meledakkan emosi namun ia mampu mengendalikan emosinya, maka Allah akan memenuhi harapan hatinya di hari kiamat dan orang yang bersamanya.” (HR. Thabrani & dihasankan oleh Syaikh aI-Bani)

Para ulama telah mempraktikkan hal ini. Misalnya Syaikhul islam lbnu Taimiyah menfatwakan jika sebuah kampung dilanda kelaparan hingga membutuhkan bantuan namun di saat yang sama ada mujahidin yang berperang di jalan Allah membutuhkan bantuan, membantu mujahidin lebih utama. Karena mujahidin bertugas menjaga umat islam secara keseluruhan dari penghancuran, sementara kelaparan orang kampung itu, hanya membahayakan mereka saja. (Fi Dzilaii Surati Taubah: 2/18

Termasuk dalam kaidah ini adalah mendahulukan amal yang manfaatnya lebih banyak daripada amal yang manfaatnya terbatas. Misalnya mendahulukan kepentingan umat daripada diri sendiri, atau mendahulukan kepentingan umat Islam secara khusus daripada kepentingan kelompok tertentu.

Salah satu ayat yang menjadi acuan dalam masalah ini adalah firman Allah:

Artinya, “Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil haram kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta bejihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim” (QS. At-Taubah: 19)

Imam Muslim meriwayatkan asbabun nuzul ayat ini, bahwa sahabat Nukman bin Bisyr bertutur, “Suatu hari, saya duduk bersama para sahabat Rasulullah di dekat mimbar Rasulullah (di masjid Nabawi). Salah seorang dari mereka berkata, “Setelah masuk Islam, saya hendak menjadikan amal memberi minum kepada (melayani) orang-orang haji.” Yang lain berkata, “Tetapi memakmurkan masjidil haram lebih utama” satunya lagi berkata, “Justru jihadlah yang paling utama dari amal-amal yang kalian sebutkan.” Saat mereka berdebat, tiba-tiba Umar menegur, “Jangan keraskan suara kalian di dekat mimbar Rasulullah SAW saat itu hari Jum’at nanti setelah shalat Jum`at temuilah Rasulullah  dan tanyakan apa yang kalian perdebatkan tadi.”

Lalu turunlah ayat di atas yang menegaskan bahwa jihad di jalan Allah lebih utama dari melayani jamaah haji atau memakmurkan masjidil haram. Sebab, manfaat jihad lebih luas dan lebih dirasakan oleh banyak umat Islam, dibanding kedua ibadah tadi.

Imam Hasan bin Ali misalnya, beliau rela melepaskan jabatan kekhilafahannya lalu diserahkan kepada sahabat Mu’awiyah. Walau sebagian pengikutnya mencela tindakan beliau dan menganggapnya sebagai tindakan pengecut. Beliau tetap tegar melepaskan mahkota kekhilafahannya.

Ini beliau lakukan demi kemaslahatan umat Islam. Beliau rela mengesampingkan kepentingan pribadi dan kelompoknya demi persatuan umat Islam. “Sesungguhnya pemimpin suku-suku Arab telah berada di bawah kendaliku. Mereka akan memerangi siapa yang aku perangi, dan berdamai dengan orang yang berdamai denganku. Tetapi saya tinggalkan jubah (khilafah) itu demi mencari ridha Allah, dan menghentikan pertumpahan darah antara sesama muslim.” (Hayatus Shahabah, ai-Kandahiawi, 3/i70)

(Ust. Mas’ud Izzul Mujahid, An Najah 114)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *