Kaidah Fikih Untuk Para Da’i
Berdakwah -yang di antaranya bertujuan menyampaikan hujjah syar’i sekaligus membimbing umat manusia menuju Allah merupakan suatu amanah mulia nan berat. Berat karena dakwah mencakup berbagai persoalan kehidupan yang dituntut supaya dituntaskan dengan bijakasana oleh para dai. Mengetahui beragam persoalan dakwah secara menyeluruh juga tidak mudah. Untuk itulah ulama menyebutkan beberapa kaidah untuk membantu memahami sedemikian banyak persoalan dakwah tersebut. Di antara kaidah-kaidah dakwah terpenting tersebut, yaitu:
MELURUSKAN NIAT DALAM BERDAKWAH
الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا
“Segala amalan itu tergantung niatnya masing-masing.”
Niat merupakan hal fundamental bagi setiap dai dalam setiap aktivitas dakwahnya. Besarnya pahala sangat bergantung pada niat yang dimiliki masing-masing dai. Sebaliknya, kesalahan niat bahkan justru bisa mendatangkan dosa.
Bagaimana pun, ada dua jenis ujian yang akan menerpa para dai yaitu ujian kelapangan dan ujian kesempitan.
Pertama, ujian kelapangan seperti: dakwah yang diterima oleh mad’u (objek dakwah). jumlah mad’u yang semakin bertambah, dan finansial yang mencukupi bahkan berlebih.
Kedua, sebaliknya, ujian kesempitan, di antaranya berupa: dakwah yang belum diterima oleh mad’u, penentangan dari masyarakat, dan terkadang kondisi finansial yang serba kekurangan.
Kesalahan niat seorang dai akan menggiringnya pada arah yang menyimpang dari tujuan dakwah. Bahkan terkadang bertolak belakang dengan substansi dakwah yang ia sampaikan. lbnu Taimiyyah menuturkan,
“Seandainya-seorang ulama atau dai menyampaikan kebenaran hanya demi untuk meraih kedudukan tinggi atau membuat kerusakan di dunia maka ia seperti seorang yang berperang agar disebut pemberani dan karena riya’. Adapun jika ia menyampaikan (kebenaran) penuh ikhlas karena Allah maka ia tergolong dari kalangan mujahidin fi sabilillah, para pewaris Nabi, dan para pengganti Rasul.” (Majmu’ al-Fatawa, 28/235).
MENDATANGKAN MASLAHAT MENGHINDARI MUDARAT
تَحْصِيْلُ المَصْلَحَتَيْنِ أَوْلَى مِنْ تَفْوِيْتِ إِحْدَاهُمَا
“Mendapatkan dua maslahat sekaligus lebih utama dibanding kehilangan salah satu dari keduanya”
Dalam realitas dakwah, maslahat dan mafsadat sering kali saling tumpang tindih. Baik saling tumpang tindih antar dua maslahat atau dua mafsadat sekaligus, maupun yang satu maslahat sementara lainnya mafsadat.
Untuk dua maslahat yang saling tumpah tindih, yang diutamakan adalah mendapatkan dua maslahat tersebut sekaligus. Apabila tidak memungkinkan untuk meraih keduanya sekaligus, barulah memilih maslahat yang paling besar di antara keduanya. Sebaliknya untuk dua mafsadat yang saling tumpang tindih. Kedua mafsadat tersebut harus dihindari semuanya jika memungkinkan. Apabila tidak memungkinkan, maka hendaknya menghindari mafsadat yang lebih besar dari keduanya.
Sementara untuk maslahat dan mafsadat yang saling bertolak belakang, jika tingkat maslahat dan mafsadatnya sama, maka yang didahulukan adalah meraih maslahat. Adapun jika tingkat antara keduanya berbeda, maka yang dipilih adalah yang paling besar maslahat atau paling kecil mafsadatnya. Jenis inilah yang paling sering dihadapi oleh para dai di lapangan. Sebagaimana yang disebutkan oleh Al-‘lzz bin Abdus Salam,
“(Persoalan-persoalan) yang mumi mendatangkan maslahat itu sangat sedikit. Demikian halnya yang menyebabkan terjerumus pada murni mafsadat. Paling banyak teriadi yaitu (persoalan) yang saling tumpang tindih antara maslahat dan mafsadat” (Qawa’idul Ahkam fi Mashatihil Anam: 1/14)
TOLERAN DALAM PERSOALAN IJTIHAD
لاَ إِنْكَارَ فِيْ مَسَائِلِ الإِجْتِهَادِ
“Tidak ada pengingkaran dalam persoalan-persoalan ijtihad”
Perbedaan pendapat basil ijtihad yang ditemui para dai dalam realitas dakwah mereka merupakan suatu keniscayaan. Hal ini pasti terjadi dan tidak mungkin dipungkiri. Perbedaan pendapat yang ditolerir di sini yaitu perbedaan pendapat yang secara tegas tidak bertentangan dengan nash atau teks al-Quran dan Sunnah.
Di antara contoh persoalan ijtihad seperti ini yaitu: sunah tidaknya qunut pada saat shalat subuh setiap hari, batal tidaknya wudhu disebabkan memegang kemaluan atau menyentuh wanita atau memakan daging onta, dan apakah qunut pada saat shalat witir dilakukan sebelum ruku’ atau setelahnya.
Hal ini tidak berarti seorang dai tidak boleh atau tidak dituntut untuk menganalisis manakah di antara pendapat ijtihad tersebut yang lebih mendekati kebenaran. Dalarn konteks inilah lbnu Taimiyah menulis,
“Persoalan-persoalan ijtihadi seperti ini tidak bisa diingkari dengan tangan (kekuasaan). (Juga) tidak dibolehkan bagi siapa pun mewajibkan orang lain untuk mengikutinya dalam masalah tertentu. Akan tetapi perlu didiskusikan dengan alasan-alasan yang ilmiah. Barang siapa yang melihat bahwa kebenaran ada pada salah satu dari dua pendapat tersebut, maka ia hendaknya mengikutinya. Sementara untuk siapa saja yang mengikuti pendapat yang lain, maka ia tidak boleh diingkari.’ (Majmu’ Al~Fatawa, 80/30). Wallahu a’lam. [Ali Shodiqin-hujjah: 55]