Ketiga: Memperhatikan tahapan dalam amar makruf nahi mungkar.
Amar makruf nahi mungkar memiliki tahapan:
- Mengingatkan dengan lisan, dan menjelaskan hukum syar’i kepada objek amar makruf nahi mungkar.
- Jika langkah pertama belum menyadarkan. Ia diberi nasehat dengan kalimat-kalimat yang bisa menggugah hati. Jika tidak mempan, diberi ancaman-ancaman yang mendorongnya taubat.
- Jika cara kedua belum juga menyadarkannya, pada tahapan berikutnya adalah dengan mencela, dan mengekspos kejahatannya.
- Bila dengan cara ketiga belum juga menyadarkan pelaku, tahap berikutnya adalah mengingkari dengan tangan. Yaitu dengan kekuatan. (al-Kanzu al-Kabir, hlm. 238-359)
Keempat: mempertimbangkan mashlahat dan mafsadah dalam aktivitas amar makruf hani mungkar.
Tujuan inti dari syariat Islam adalah mengadakan maslahat atau menyempurnakannya, dan menghilangkan mafsadah atau menguranginya. Oleh karena itu, perkara ini adalah kaidah penting dalam amar makruf nahi mungkar. Sebab, intisari dari kewajiban ini adalah mengadakan maslahat untuk umat dan menghilangkan mafsadah (kerusakan).
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Sesungguhnya syariat ini berdiri di atas pondasi hikmah dan kemaslahatan dunia-akhirat bagi hamba-hamba Allah. Syariat ini, seluruhnya adil, rahmat, maslahat dan hikmah. Maka setiap masalah yang keluar dari prinsip keadilan kepada kezhaliman, dari rahmat menjadi laknat, dari maslahat ke mafsadat dan dari hikmah kepada kekerasan, itu tidak termasuk syariat meskipun dimasukkan ke dalamnya dengan sebab takwil. Syariat adalah cermin keadilan Allah Subhanahu wa ta’ala terhadap hamba-Nya, rahmat-Nya di antara hamba-hamba-Nya, rahmat-Nya di antara hamba-hamba-Nya, pemeliharan-Nya di bumi dan hikmah Allah yang merupakan petunjuk paling sempurna yang membuktikan keberadaan Allah Azza wa Jalla dan kejujuran Rasul-Nya.” (I’lamul Muwaqqi’in, 4, 337)
Beliau melanjutkan, “Menghilangkan kemungkaran memiliki empat tingkatan:
- Kemungkarannya hilang dan digantikan dengan lawannya, yaitu kebaikan.
- Kemungkaran berkurang meskipun tidak hilang seluruhnya.
- Kemungkaran hilang digantikan dengan kemungkaran yang semisalnya.
- Kemungkaran tersebut digantikan dengan kemungkaran yang lebih besar.
Tingkatan yang pertama dan kedua disyariatkan (untuk dilakukan). Tingkatan yang ketika -tentang kebolehannya masuk ke area ijtihad. Tingkatan yang keempat haram (untuk dilakukan).” (I’lamul Muwaqqi’in, 3/12-13)
Kelima: membudayakan tabayyun dan tidak tergesa-gesa.
Amar makruf nahi mungkar sangat erat kaitannya dengan nama baik dan kehormatan seseorang. Terutama tokoh panutan, atau aktivis muslim. Maka, kehati-hatian mutlak dibutuhkan. Sebab, jika tidak, bisa jadi akan memunculkan penyesalan yang mendalam dan dendam yang membara.
Allah menegaskan hal ini;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al Hujurat: 6)
Dalam ayat lain Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا ضَرَبْتُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَتَبَيَّنُوا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah.” (QS. An Nisa’: 94)
Rasulullah bersabda:
الأَنَاةُ مِنَ اللهِ وَالعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ.
“Teliti tidak tergesa-gesa dari Allah, dan ketergesa-gesaan dari syaitan.” (HR. Tirmidzi)
Imam al-Izz bin Abdis Salam berkata, “Semua perbuatan terbagi menjadi dalam dua jenis;
- Perbuatan yang maslahatnya tersembunyi, belum jelas bagi kita. Maka, perbuatan ini tidak boleh dikerjakan, hingga betul-betul bersih dari mafsadah (kerusakan), atau mashlahatnya lebih dominan daripada mafsadahnya. Inilah kenapa syariat ini memuji sifat teliti, tidak tergesa-gesa, hingga perbuatan itu nampak jelas kebaikannya.
- Perbuatan yang jelas bagi kita maslahatnya. Ini pun ada dua kondisi; Pertama: Tidak ada pertentangan maslahat dan mafsadah dalam perbuatan ini, dan juga tidak berlawanan dengan kemaslahatan lainnya. Maka jenis ini, harus segera dikerjakan. Ini sangat baik. Kedua: Maslahat dalam amal itu tidak bertentangan dengan mafsadah apapun, namun berlawanan dengan maslahat lain yang lebih kuat dan dominan. Maka pada kondisi ini, amal ini harus ditunda, (harus mendahulukan yang lebih rajih). Jika maslahatnya sama-sama kuat, maka carilah mana yang lebih mendesak, dan yang harus disegerakan. Itulah yang didahulukan.” (Qowa’idul Ahkam, 1/58-59)
(an najah 120)