Jujur dan Tepat dalam Mengukur Mudharat

Menjelang musim Pemilu, kata “mudharat” yang secara mudahnya berarti “bahaya,” menjadi titik silang perdebatan antara kelompok cobloser dan golputer. Di sini, pembahasan hukum demokrasi (dianggap) sudah selesai. Demokrasi, yang menjadi ruh Pemilu itu adalah sistem yang tertolak, karena merenggut kedaulatan Allah untuk diserahkan kepada manusia.

Masalahnya, dalam kondisi istidhaf (lemah) ini kita seringkali dihadapkan pada pilihan-pilihan yang tidak ideal, sama-sama buruk, tapi kita mencoba mengambil yang terbaik diantara yang terburuk itu.

Dari dua orang yang tampil sebagai kontestan, sebut saja A dan B, sama-sama bukan sosok yang ideal bila dilihat dari kacamata Islam. Namun, setidaknya A lebih berbahaya ketimbang B dari berbagai aspek, misalnya. Akhirnya kita putuskan memilih B.

Atau, kita tahu bahwa sistem Demokrasi yang hari ini berlaku bukanlah sistem Islam. Tetapi, kita (seolah) tidak memiliki pilihan lain untuk menghindari mudharat bagi umat, selain turut meleburkan dalam sistem tersebut.

Hasil akhir yang akan kita peroleh sudah dapat kita prediksi, bahwa kita tidak akan mendapatkan hal yang ideal atau terbaik. Namun setidaknya ada mudharat besar yang bisa kita hindarkan dengan mengambil mudharat yang lebih kecil.

Prinsip ini diilhami oleh sebuah kaidah usul fikih, yaitu bila kita dihadapkan pada dua mudharat, maka mudharat yang kita ambil adalah yang paling kecil nilainya. Masalahnya, ukuran apa yang dipakai untuk menilai mudharat-tidaknya sesuatu? Siapa yang berhak menentukan sesuatu itu mudharat atau tidak?

Sifat dan Spektrum Mudharat

Ada tiga bentuk sifat mudharat yang harus didudukkan sebelum menentukan langkah berikutnya. Pertama, mudharat yang bersifat mutawaqqi’ah, yaitu mudharat yang jelas-jelas nyata terjadi. Hampir semua orang berakal menyepakati bahwa mudharat yang dimaksud ada, dan memang mengancam.

Kedua, bersifat mutasyakkikah. Mudharat jenis ini diliputi keragu-raguan, apakah ia benar-benar nyata atau tidak. Atau, ia merupakan mudharat yang bersifat temporer, bukan permanen. Kadang-kadang berbahaya, tapi pada suatu ketika menjadi hal yang lumrah saja dan tidak berbahaya.

Terakhir, mudharat yang bersifat mauhumah. Hakikatnya ia bukan sebuah mudharat, tetapi oleh satu dan lain sebab, manusia mempersepsikannya sebagai bahaya. Sifat bahaya itu hanya pada tataran prasangka, belum terbukti secara nyata.

Selain tiga sifat di atas, sebuah mudharat juga harus ditentukan spektrum, atau wilayah yang menjadi sasaran dari mudharat tersebut. Aspeknya mencakup lima hal yang juga dikenal dengan dharuriyat khamsah. Yaitu, apakah sebuah mudharat yang dimaksud itu mengancam: agama (din), jiwa (nafs), keturunan (nasl), harta (maal), akal (aql).

Lalu siapa yang berhak menentukan sebuah mudharat X itu mempunyai tingkatan mudharat pertama, kedua atau ketiga; berikut spektrum potensi ancamannya?

Tentu saja para alim-ulama yang selain memiliki kompetensi ulumus syar’i standar. Menguasai fikih siyasah syariyah dalam masalah ma’aalat, muwazanah dan ilmu maqashid.

Selain itu, mereka pun perlu mengetahui realitas (waqi’) dengan kadar akurat, tidak ditambah-tambahi atau dikurang-kurangi.

Melihat kompleksitas alat ukur di atas, rasanya mustahil bila satu orang sosok atau perwakilan satu kelompok saja mampu menakar dengan adil kadar sebuah mudharat. Sebab, seringkali obyek yang tidak dilihat oleh satu pihak, ternyata disaksikan oleh pihak lain.

Oleh sebab itu, dalam konteks masalah politik yang menjadi PR umat Islam hari ini, diperlukan semacam kaukus alim-ulama yang terus memantau perkembangan (waqi’), membahasnya dalam bingkai kajian ilmiyah untuk kemudian memberikan arahan (guidance, irsyadat) kepada umat.

Penulis: Muhajirin Ibrahim Lc / kiblat.net

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *