يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu.” (QS. Muhammad: 33)
Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma berkata, “Dahulu kami para sahabat Rasulullah mengira bahwa setiap kebaikan yang pernah kita lakukan pasti diterima, hingga kemudian turunlah ayat ini,
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu.” (QS. Muhammad: 33)
Abu al-Aliyah juga berkata, “Awalnya para sahabat Rasulullah memandang bahwa dosa-dosa tidaklah membahayakan selagi seseorang berpegang pada la ilaha illallah, sebagaimana mereka juga memahami bahwa amal tidak berguni jika ada kesyirikan. Lalu turunlah ayat di atas. Lalu para sahabat takut bahwa dosa-dosa yang mereka lakukan bisa menghapus pahala kebaikan.
Begitulah para sahabat, seiring dengan banyaknya kadar amal kebaikan yang mereka lakukan, makin besar pula rasa takut mereka. Seperti kesaksian Ibnu Abi Maliikah tentang para sahabat, “Aku bertemu dengan 30 orang sahabat Nabi, mereka seluruhnya takut dirinya terjangkiti nifak.” Ibnu Katsir rahimahullah juga mensifati, “Mereka takut kepada Allah meski mereka telah berbuat baik, beriman dan beramal shalih.” Dan begitulah karakter orang mukmin seperti yang didefinisikan oleh Hasan al-Bashri rahimahullah, “Sesungguhnya orang mukmin itu rajin mengumpulkan amal kebaikan, pun begitu mereka merasa takut, sedangkan orang munafik lebih banyak mengumpulkan dosa, tapi merasa aman.”
Maka semestinya kita juga memiliki kekhawatiran sebagaimana kekhawatiran para sahabat. Apalagi amal kebaikan kita tak seberapa banyak, pun tidak ada yang berani menjamin bahwa semua amal telah diterima. Jangan sampai ada yang kita kumpulkan terhapus dan sia-sia. Perlu kiranya kita tahu, perbuatan apa saja yang menyebabkan pahala amal kebaikan bisa terhapus.
Sebab yang paling fatal dan bisa menghapus bersih semua amal kebaikan adalah kesyirikan kepada Allah. Sebagaimana dalam firman-Nya:
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az Zumar: 65)
Aisyah radhiyallahu anha suatu hari pernah bertanya kepada Rasulullah tentang Abdullah bin Jud’an yang mati dalam keadaan syirik pada masa jahiliyah, akan tetapi dia orang yang baik, suka memberi makan, suka menolong orang yang teraniaya dan punya kebaikan yang banyak. Rasulullah menjawab, “Semua amalan itu tidak memberinya manfaat sedikit pun, karena dia tidak pernah mengatakan, ‘Wahai Rabbku, berilah ampunan atas kesalahan-kesalahanku pada hari kiamat kelak.” (HR. Muslim) Yakni ia belum bertaubat dari kesyirikannya.
Ada pula penyakit riya` (pamer) ujub maupun sum’ah. Setiap amal yang ternodai oleh penyakit-penyakit tersebut manjadi sia-sia dan terhapus. Disebutkan dalam Kitab Taisir Aziz Hamid, bahwa Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata,
“Ketauhilah bahwasannya amalan yang ditujukan kepada selain Allah bermacam-macam. Ada kalanya murni dipenuhi riya`, tidaklah yang ia niatkan kecali mencari perhatian orang demi meraih tujuan-tujuan duniawi, sebagaimana halnya orang-orag munafik di dalam shalat mereka. Allah berfirman, “Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, merka bediri dengan malas. Mereka bermaksud riya` dihadapan manusia.” (QS. An Nisa`: 142). Lanjutnya lagi: “Sesungguhnya ikhlas dalam ibadah sangat mulia. Amaln yang dipenuhi riya` -tidak diragukan lagi bagi seorang muslim- sia sia belaka, tidak bernilai, dan pelakunya berhak mendapat murka dan balasan siksa dari Allah Ta’ala. Ada kalanya pula amalan itu ditujukan kepada Allah akan tetapi terkotori oleh riya`.”
Hendaknya kita waspada dari bahaya riya`, di saat sarana pamer dan unjuk amal semakin banyak tersedia, seperti facebook, whatsApp, dan sosial media lainnya.
Yang tidak kalah menakutkan di antara yang bisa menghapus amal kebaikan adalah seperti yang dikabarkan oleh Nabi,
“Sungguh akan datang sekelompok kaum dari umatku pada hari kiamat dengan membawa kebaikan yang banyak semisal gunung yang amat besar. Allah menjadikan kebaikan mereka bagaikan debu yang bertebaran.” Tsauban bertanya, “Terangkanlah sifat mereka kepada kami wahai Rasulullah, agar kita tidak seperti mereka.” Rasulullah menjawab, “Mereka masih saudara kalian, dari jenis kalian, dan mereka mengambil bagian merka di waktu malam sebagaimana kalian juga, hanya saja mereka apabila menyendiri menerjang keharaman Allah.” (Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Mereka menipu banyak orang dengan kebaikan yang dia lakukan di hadapan mereka, namun sejatinya dia hobi maksiat di saat sendiri. Tidak malu ataupun takut akan pengawasan Allah kepadanya, nas’alullah ‘aafiyah.
Termasuk perbuatan yang bisa menghapus kebaikan yang telah dilakukan adalah menyebut-nyebut dengan unsur bangga, sekaligus merendahkan orang yang menerima perlakuan baik darinya. Allah mengingatkan kita akan hal ini dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutya dan menyakiti (perasaan si penerima)…” (QS. Al Baqarah: 264).
Betapa rugi orang yang telah mengumpulkan koin demi koin pahala, namun pundi-pundi penyimpannya ternyata berlubang sehingga apa yang disimpannya jatuh dan hilang. Kita berlindung kepada Allah dari segala penghapus kebaikan, aamin.
Sumber: majalah ar risalah edisi 167 hal. 50-51