Istiqomah di Jalan Dakwah
(Serial Tadabbur Sirah 5)
Oleh: Ust. Fajar Jaganegara, S.Pd.I
Tadabbur sirah pada kesempatan kali ini, kita melompat pada episode dakwah Rasulullah selama di Makkah. Episode di mana di dalamnya terdapat banyak pelajaran dan teladan. Terkhusus tentang penanaman nilai-nilai akidah kepada para sahabat.
Perintah yang Allah berikan kepada Rasulullah pada permulaan dakwah adalah perintah menyampaikan risalah tauhid kepada manusia. Bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang berhak diibadahi.
Hal tersebut sebagaimana termaktub dalam firman Allah Ta’ala:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡمُدَّثِّرُ قُمۡ فَأَنذِرۡ وَرَبَّكَ فَكَبِّرۡ وَثِيَابَكَ فَطَهِّرۡ وَٱلرُّجۡزَ فَٱهۡجُرۡ وَلَا تَمۡنُن تَسۡتَكۡثِرُ وَلِرَبِّكَ فَٱصۡبِرۡ
“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Tuhanmu agungkanlah! dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.” (QS. Al-Mudatsir: 1-7)
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di menjelaskan bahwa ayat ini berisi tentang perintah Allah kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam untuk beribadah kepada Allah dan bersabar atas gangguan dari kaumnya, serta perintah untuk menyampaikan dakwah (tauhid) kepada manusia. (Tafsir as-Sa’di, 895)
Tujuh ayat dalam surat al-Mudatsir ini mengandung lima hal penting dalam proses dakwah Nabi pada fase Makkah. Syaikh Syafiyurrahman al-Mubarakfuri menyebutkan lima tujuan penting dari diturunkannya tujuh ayat ini:
Pertama, tujuan pemberian peringatan. Agar siapapun yang menyalahi keridhaan Allah di dunia ini diberi peringatan tentang akibatnya yang pedih di kemudian hari (hari kiamat), dan yang pasti akan mendatangkan kegelisahan dan ketakutan di dalamnya.
Kedua, tujuan mengagungkan Allah, agar siapapun yang menyombongkan diri di dunia tidak akan dibiarkan begitu saja, melainkan kekuatannya akan dipunahkan dan keadaannya di balik total, sehingga tidak ada kebesarann yang tersisa di dunia selain kebesaran Allah.
Ketiga, tujuan membersihkan pakaian dan meninggalkan perbuatan dosa agar kebersihan lahir dan batin benar-benar tercapai, begitu pula dalam membersihkan jiwa dari segala noda dan kotoran bisa mencapai titik sempurna. Juga agar jiwa manusia berada di bawah lindungan rahmat Allah, penjagaan, pemeliharaan, hidayah dan cahaya-Nya.
Keempat, tujuan larangan mengharap yang lebih banyak dari apa yang diberikan agar seseorang tidak menganggap perbuatan dan usahannya sesuatu yang besar lagi hebat, agar dia senantiasa berbuat dan beramal lebih banyak berusaha dan berkorban, lalu melupakannya.
Kelima, dalam ayat yang terakhir terdapat isyarat tentang gangguan. Berupa siksaan, ejekan, dan olok-olok yang bakal dilancarkan orang-orang yang menentang dan bahkan mereka akan berusaha membunuh Nabi dan para sahabat serta menekan siapa saja yang beriman di sekitar beliau. Dan Allah memerintahkan Nabi agar bersabar dan menghadapi itu semua. (Ar-Rahiq al-Makhtum, 143)
Apa yang terjadi setelah perintah untuk mengemban risalah dakwah dan tauhid ini harus dikerjakan oleh Nabi, tidak lain adalah lahirnya permusuhan dan penentangan dari musyrikin Quraisy.
Adalah tabiat dari dakwah para Nabi dan Rasul, tidak pernah sepi dari kalimat-kalimat; didustakan, dihinakan, diolok-olok dan bahkan dibunuh. Akan tetapi teladan mereka selalu sama, teguh dan tegar tanpa gentar.
Gangguan Musyrikin Quraisy Kepada Nabi dan Para Sahabat
Musyrikin Quraisy tidak pernah lelah menjadi penghambat dan penghalang dakwah Islam pada fase permulaan dakwah Nabi di Mekkah.
Nabi shalallahu ‘alahi wa salam memulai dakwah di Makkah dengan cara sembunyi-sembunyi pada tiga tahun pertama. Adapun orang-orang yang mula-mula didakwahi Nabi shalallahu ‘alahi wa salam adalah orang-orang terdekat dan kerabat.
Pada fase dakwah sirriyah ini, belum terlalu terasa gangguan dan serangan musyrikin Quraisy atas dakwah Islam. Barulah setelah Nabi shalallahu ‘alahi wa salam berdakwah secara terang-terangan, mengajak manusia untuk mengesakan Allah dan mengakui kerasulannya, penentangan itu mulai menemui titik terangnya.
Allah Ta’ala berfirman dalam surat al-Hijr ayat 94 yang berisi perintah kepada Nabi untuk menyampaikan risalah Islam secara terang-terangan. Allah berfirman:
فَٱصۡدَعۡ بِمَا تُؤۡمَرُ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡمُشۡرِكِينَ
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS. Al-Hijr: 94)
Imam al-Qurthubi menjelaskan bahwa ayat ini berisi perintah kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam untuk menyampaikan risalah Islam kepada manusia, agar tegak hujjah kepada mereka. Serta mengabaikan cacian dan hinaan mereka terhadap dirimu. (Tafsir al-Qurthubi, 12/261-262)
Konsekuensi dari perintah dakwah ini kepada Nabi shalallahu ‘alahi salam mengubah peta hubungan antara kaum mukminin dan musyrikin Quraisy yang sudah mulai berani melakukan gangguan dan kekerasan terhadap mereka yang beriman dan mengikuti Rasulullah.
Ibnu Ishaq menyebutkan bahwa ketika sahabat-sahabat Nabi mengerjakan shalat mereka pergi ke Syi’b (sebuah tempat di antara dua gunung) untuk bersembunyi dari penglihatan musyrikin Quraisy.
Para pembesar Quraisy melakukan penekanan terhadap kabilah-kabilah agar mereka mengambil tindakan terhadap anggota kabilah yang beriman kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam. Maka terjadilah penangkapan, penyiksaan dan penganiayaan terhadap mereka yang beriman. (Sirah Ibnu Hisyam, 220,224)
Gerakan penentangan dakwah ini dimotori oleh para pembesar Quraisy sehingga mampu menciptakan atmosfir perlawanan yang merata terhadap Rasulullah dan para sahabat. Di antara pentolan pemuka Qurasiy adalah Walid bin Mughirah, Abu Jahal (Amru bin Hisyam), al-’Ash bin Wail, Abu lahab, Uqbah bin Abi Mu’ith, Aswad bin Abdil Muthallib, Nadhar bin Harish, Abu Sufyan, Hakam bin Abi al-‘Ash dan Ummu Jamil istri Abu Lahab. (Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, Munawwar Khalil, 1/186)
Bentuk-Bentuk Cara Menghadang Dakwah
Ada beberapa cara yang dilakukan musyrikin Quraisy untuk menghalangi dakwah Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam, di antaranya:
Pertama, melakukan serangan secara verbal berupa cacian, hinaan, dan olok-olok kepada mereka yang beriman dan mengikuti Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam.
Beberapa celaan mereka kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam, Allah rekam dalam al-Quran. Seperti dalam surat al-Hijr:
”Mereka berkata: “Hai orang yang diturunkan Al Quran kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila.” (QS. Al-Hijr:6)
Mereka juga menyebut Nabi shalallahu ‘alahi wa salam sebagai penyihir dan pendusta.
“Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata: “Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta”. “(QS. Shad: 4)
Musyrikin Quraisy juga meyebut Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam sebagai orang gila.
“Mereka berkata: “Sesungguhnya ia (Muhammad) benar-benar orang yang gila“. (QS. Al-Qalam: 51)
Serangan verbal terhadap dakwah Islam juga dilancarkan kepada sahabat-sahabat Nabi shalallahu ‘alihi wa salam dalam bentuk celaan dan peremehan terhadap mereka yang mengikuti beliau dengan ungkapan:
“Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah Allah kepada mereka?” (Allah berfirman): “Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya)?” (QS. Al-Anam: 53)
Kedua, membangun narasi buruk untuk membentuk opini buruk tentang citra Islam dan kaum muslimin di tengah masyarakat. Adapun tujuannya agar manusia ragu dan bersikap apatis atas dakwah yang beliau sampaikan. Seperti komentar mereka terhadap al-Quran yang disebut sebagai dongeng-dongeng belaka.
“Dan orang-orang kafir berkata: “Al Quran ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan oleh Muhammad dan dia dibantu oleh kaum yang lain”. Dan mereka berkata: “Dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang”.” (QS. Al-Furqan: 4-5 )
Ketiga, serangan fisik dan tindakan diskriminatif terhadap mereka yang beriman.
Banyak sekali kasus di mana sahabat-sahabat yang beriman mendapat perlakukan diskriminatif berupa siksaan yang mengerikan, hal itu dilakukan agar mereka mau meninggalkan Islam yang dibawa oleh Nabi shalallahu ‘alahi wa salam.
Seperti Bilal bin Rabah yang disiksa oleh Umayyah bin Khalaf, Mus’ab bin Umair yang diusir dari rumahnya, Utsman bin Affan yang disiksa pamanya, keluarga Yasir yang disiksa dengan begitu keji oleh Abu Jahal hingga Sumayyah meninggal dunia setelah ditikam dengan tombak dengan cara yang tidak manusiawi, dan masih banyak daftar panjang kasus lainnya. (Ar-Rahiq al-Makhtum, 175-177)
Akan tetapi para sahabat menunjukkan keteladan tentang teguh dan tegar dalam menjaga keimanan mereka, meskipun di bawah tekanan dan penyiksaan yang begitu hebat. Bagi mereka, kematian lebih ringan daripada harus kehilangan iman.
Jika kita membaca episode bagaimana dakwah Islam di masa-masa permulaan dakwah di Makkah akan kita dapati lembar-lembar penuh darah dan air mata. Kesengsaraan, kepedihan, dan duka adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proses dakwah Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum ajmain.
Jalan Dakwah Ini Panjang, Maka Bersabarlah.
Isyarat penting dari teladan-teladan mulia yang diabadikan dalam catatan-catatan sejarah adalah; memperjuangkan Islam ini butuh nafas yang panjang, butuh stok air mata yang banyak, butuh hati yang lapang, butuh kaki yang kuat berpijak dan membutuhkan kesabaran dan ketegaran yang tidak biasa.
Mintalah selalu pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat, karena dengan keduanya Allah akan teguhkan hati, mantapkan diri dalam perjalanan panjang meniti jalan para Nabi.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱسۡتَعِينُواْ بِٱلصَّبۡرِ وَٱلصَّلَوٰةِۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153)
Semoga Allah hadiahkan pada diri setiap kita keistiqomahan dalam ketaatan, kesabaran dalam menapaki jalan perjuangan, dan diteguhkan dalam mengenggam kebenaran. Wallahul Musta’an