Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah
وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“…Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Hadid: 16)
Iman di hati, laksana tanaman. Untuk hidup dengan sehat, ia membutuhkan tanah yang subur, pupuk yang memadai dan proteksi dari hama dan gangguan yang membahayakan. Begitulah iman, ia akan subur di hati manakala berada dilingkungan yang kondusif, diberi asupan gizi yang memadai dan dijaga dari hal-hal yang bias membuat iman menjadi layu dan mati.
Iman, butuh lingkungan yang sehat
Adalah sulit bagi seseorang untuk menjaga kesehatan imannya tatkala ia berada dalam lingkungan yang penuh dengan ‘hama’ kemaksiatan, tandus dan kering dari kebaikan dan kosong dari nutrisi dan gizi iman. Allah memberikan peringatan kepada kita,
وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hadid: 16)
Syaikh Muhammad bin shalih al-Munajjid mengatakan, ayat ini menunjukan bahwa jauhnya seseorang dari suasana iman dalam jangka waktu yang lama menjadi sebab melemahnya iman di hatinya.” Dan sampai batas tertentu, hati akan tandus dan kering hingga pohon iman tak mampu lagi bertahan hidup di dalamnya.
Ini pula hikmah yang bisa diambil dari kisah pembunuh seratus orang. Tatkala ia bertanya kepada orang alim (berilmu) tentang peluang diterimanya taubat dan tata caranya, lelaki alim itu menjawab,
Ya. Siapakah yang bisa menghalangi taubat seseorang? Pergilah ke negeri ini, di negeri itu banyak orang-orang yang menyembah Allah. Sembahlah Allah bersama mereka dan jangan kembali ke negerimu, karena negerimu adalah negeri yang buruk.” Maka si pembunuh seratus orang itu pergi menuju negeri yang ditunjukkan oleh si alim tersebut. Pada saat perjalanan mencapai sekitar separuhnya, maut datang menjemputnya. Malaikat rahmat dan malaikat azab berselisih memperebutkan si pembunuh itu. Malaikat rahmat berkata, “Orang ini datang untuk bertaubat menghadap dengan segenap hatinya kepada Allah.” Malaikat azab berkata, “Ia belum melakukan kebaikan sama sekali.” Kemudian datanglah malaikat lain yang menyamar dalam bentuk manusia, lalu kedua Malaikat yang berselisih itu menjadikannya sebagai penengah perselisihan mereka. Malaikat ketiga itu berkata, “Ukurlah jarak antara kedua negeri itu (negeri asal dan negeri tujuan), arah mana yang lebih dekat, kesitulah ia digolongkan. Maka mereka pun mengukur jarak antara kedua negeri itu. Mereka mendapatkan si pembunuh lebih dekat ke negeri yang hendak dituju. Maka Malaikat rahmat membawa orang itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Begitulah, orang yang alim memerintahkan orang yang hendak bertaubat untuk bergabung dengan orang-orang shalih, di lingkungan yang terjaga suasana imannya. Ini logis, seumpama pakaian, kita tidak bisa membersihkan maski dengan banyak deterjen, selagi pakaian itu kita letakkan lagi di tempat yang kotor.
Hayya Bina Nu’minu Saa’atan
Sudah menjadi kebiasaan para ulama terdahulu, mereka saling mengingatkan satu sama lain untuk mendatangi tempat-tempat yang bisa menambah keimanan. Mereka berkata, “Hayya bina nu’minu saa’atan”, mari menambah iman yang barang sesaat. Itulah sapaan mereka ketika hendak mengajak temanya menuju majelis ilmu. Yakni majelis yang mengingatkan seseorang akan tanggung jawabnya sebagai hamba Allah, mengingatkan tentang adanya balasan di akhirat, adalah nutrisi yang bisa menyehatkan iman dan menyuburkannya. Ini sangat diperlukan, terlebih ketika kita berada di zaman dan suasana yang dipenuhi hiruk pikuk duniawi dan dikepung oleh aneka godaan syahwati. Situasi yang berpotensi menggerus iman dan mempercepat lemahnya stamina iman untuk bertahan. Semestinya intensitas dan durasi untuk nge-charge iman lebih sering dan lebih banyak dilakukan.
Apa yang dikisahkan oleh sahabat Hanzhalah prihal dirinya bisa memperjelas betapa perlunya majelis ilmu. Beliau mengisahkan,
Suatu ketika Abu Bakar menemuiku dan berkata, “Bagaimana keadaanmu wahai Hanzhalah?” Maka aku katakan, “(Jangan-jangan) Hanzhalah telah menjadi munafik.” Abu Bakar mengatakan, “Subhanallah! Apa yang kamu ucapkan?” Kukatakan, “Ketika kami berada di sisi Rasulullah saw, beliau mengingatkan kepada kami mengenai neraka dan surga hingga seakan-akan akhirat berada di pelupuk mata saya. Namun, ketika kami sudah meninggalkan majelis Rasulullah, kami pun sibuk bersenang-senang dengan istri-istri dan anak-anak serta sibuk dengan pekerjaan kami sehingga kami pun banyak lupa.” Abu Bakar berkata, “Demi Allah, aku pun mengalami masalah yang sama.”
Maka aku bersama Abu Bakar beranjak menemui Rasulullah dan aku sampaikan kepada beliau, “(Jangan-jangan) Hanzhalah telah menjadi munafik, wahai Rasulullah. Rasulullah bertanya, “Apa yang kamu maksudkan?” saya menjawab, “Wahai Rasulullah, ketika kami berada di sisimu, anda mengingatkan kamu mengenai neraka dan surga hingga seakan akhirat di pelupuk mata kami. Namun keitka kami meninggalkan majelismu maka kamu pun sibuk bersenang-senang dengna istri-istri dan anak-anak serta pekerjaan sehingga membuat kami banyak lupa.” Maka Rasulullah menjawab, “Demi Dzat yang jiwaku berada di sisiku dan terus-menerus sibuk dengan dzikir niscaya para malaikat pun akan menyelami kalian di atas tempat pembaringan dan di jalan-jalan kalian. Akan tetapi wahai Hanzhalah, sesaat demi sesaat.” (HR. Muslim)
Yakni iman akan terjaga, selagi mereka aktif meluangkan waktu menghadiri majelisnya Rasulallah SAW, jika itu yang dirasakan oleh para sahabat, lantas bagaimana dengan kita? Bagaimana iman kita? Dan semangat ibadah kita akan terjaga tatkala tidak memiliki jadwal rutin di majelis ilmu? Yamuqallibal qulub, tsabit quluubana alaatha’atik. Amiiin
Sumber: majalah arrisalah