Syarh Akidah ath-Thahawiyah ke-31:
وإمام الأتقياء وسيد المرسلين
“(Muhammad adalah) imam orang-orang yang bertakwa dan sayyid para rasul.”
Imam orang-orang yang bertakwa
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam diutus oleh Allah untuk menjadi imam. Makmum yang berada di belakang beliau adalah semua orang yang bertakwa. Semua orang yang mengamalkan (at-tanzil ) al-Qur’an, takut kepada al-Jalil (Allah) dan ridha dengan (al-Qalil ) sedikit dunia; zuhud.
Dan seperti halnya imam pada umumnya, Rasulullah mestilah dijadikan sebagai ikutan ataupun panutan. Allah pun sudah menegaskan hal ini dalam sebuah ayat yang disebut oleh para mufasir sebagai ayat mihnah atau ayat imtihan. Ayat itu adalah,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)
Dengan ayat ini Allah menguji kebenaran cinta sekalian hamba kepada Allah. Jika mereka benar-benar mencintai Allah, pastilah mereka bersungguh-sungguh dalam menjadikan Rasulullah sebagai imam dan bukannya mengikuti selain petunjuk beliau. Siapa saja yang hendak mendekatkan diri kepada Allah atau mengklaim cinta kepada-Nya, tetapi tidak bersungguh-sungguh mengikuti jejak Rasulullah, maka keinginannya untuk mendekatkan diri kepada Allah dan klaim cintanya dipertanyakan, diragukan. Begitu pula dengan syahadat risalahnya.
Sayyiduna (?)
Muhammad bin Abdullah adalah manusia pilihan. Benih beliau terjaga dari satu sulbi ke sulbi yang lain sejak Nabi Adam diciptakan. Sulbi-sulbi pilihan. Tidak ada seorang beriman pun yang meragukan hal ini, lantaran beliau sendiri yang mengabarkannya. Beliau adalah sayyidul khalqi, sayyiduna. Sayyid berarti pemuka, penghulu, pemimpin, dan tokoh nomer satu.
Meskipun demikian, tidak selayaknya kita berlebih-lebihan dalam menyebut-nyebut gelar sayyid ini. Apatah lagi menampakkannya di dalam tasyahhud pada waktu shalat. Bahkan ada yang menyatakan bahwa orang yang menambahkan lafal sayyid dalam shalawat di shalat, khutbah jum’at, dan di kesempatan lain lebih utama daripada yang tidak menambahkannya. Orang yang hatinya kering dan tidak mencintai Nabi Muhammad saja yang tidak melakukannya. Demikian ungkapan yang sering kita dengar. Kata mereka, landasan ucapan mereka adalah hadits Nabi. Dan hadits yang dimaksud adalah,
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda,
أنا سيد ولَد آدم يوم القيامة، وأول مَن يَنشق عنه القبر، وأول شافع، وأول مشفَّع
“Akulah sayyid anak Adam pada hari kiamat. Akulah yang pertama kali dibangkitkan dari kubur. Akulah yang pertama kali meminta syafaat. Dan akulah yang pertama kali syafaatnya dikabulkan.” (Diriwayatkan oleh Muslim)
Sekilas, apa yang mereka katakan itu benar. Namun jika memperhatikan hadits di atas dengan seksama, ternyata Rasulullah mengambarkan bahwa beliau adalah sayyid anak Adam pada hari kiamat. Sekali lagi, benar bahwa beliau adalah sayyid anak Adam sebelum hari kiamat. Namun, hari kiamat berbeda dengan hari-hari yang lain. Orang-orang yang dahulu congkak dan sombong, pada hari itu menundukkan kepala. Pada hari itu tidak ada seorang Nabi pun yang berani memohon syafaat kepada Allah, bahkan para Nabi Ulul Azmi. Hanya Nabi Muhammad yang berani, dan beliau adalah manusia pertama yang memohon syafaat dan syafaatnya dikabulkan oleh Allah. Di sinilah keutamaannya beliau sebagai sayyid benar-benar tampak. Di sinilah beliau menjadi sayyid anak Adam yang sesungguhnya.
Lebih lanjut lagi, kita –Ahlussunnah wal Jama’ah- sepakat bahwa barangsiapa membenci atau tidak suka kepada sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah, atau di hatinya ada seujung kuku kebencian kepadanya, maka sungguh dia telah kufur. Dia kafir meskipun dia menampakkan keislaman, mengerjakan shalat, dan mengaku sebagai seorang muslim. Atau dia termasuk golongan munafik yang tempatnya di neraka. Neraka yang paling dasar, fid darkil asfal minan naar.
Tiga catatan
Supaya kita bersikap proposional dalam masalah ini, ada tiga catatan yang perlu kita perhatikan.
Pertama, agama Allah ini secara keseluruhannya adalah ittiba’, mengikuti ajaran dan tuntunan Rasulullah. Beliau adalah penyampai wahyu bagaimana cara kita beribadah dan hidup di jagat raya ini. Termasuk cara mencintai beliau. Selain berdasarkan firman Allah dalam surat Ali Imran: 31, dia juga berfirman,
“Katakanlah (hai Muhammad): ‘Sesungguhnya aku hanya memberi peringatan kepada kamu sekalian dengan wahyu dan tiadalah orang-orang yang tuli mendengar seruan, apabila mereka diberi peringatan.’ (QS. Al-Anbiya’: 45)
“Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najm: 4)
Mengenai lafal shalawat, sesungguhnya para sahabat sudah menanyakannya langsung kepada Rasulullah. Dari semua riwayat yang ada, tidak ada satu pun yang menambahkan lafal sayyid. Maka jika kita tidak menambahkannya saat bershalawat bukan berarti kita mengingkarinya. Ita hanya memahami masalah in adalah masalah yang bersifat ta’abbudi. Kita tidak menambahkannya di dalam shalat atau di dalam adzan. Selain di keduanya –lantaran tidak ta’abbudiy- silahkan saja menambahkannya.
Kedua, cara terbaik untuk mengagungkan Nabi adalah dengan cara yang beliau ajarkan. Tidak ada yang lebih baik daripadanya. Para ulama hadits –yang paling mengerti tentang sunnah tentunya- seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad, dan imam-imam yang lain tidak pernah menambahkan gelar sayyid saat membawakan suatu hadits. Bahkan para shahabat pun tidak. Padahal merekalah orang-orang yang paling mengerti bagaimana cara mencintai dan menghormati Nabi.
Ketiga, jika ditinjau dari kebiasaan orang-orang Arab, penambahan gelar sayyid tidak menambah penghormatan yang berarti. Sebab orang Arab biasa menambahkan gelar sayyid untuk semua pemimpin mereka. Misalnya, Abu Sufyan, sayyid Quraisy, Aqra’ bin Harits sayyid Bani Tamim, dan seterusnya dan selanjutnya. Penyebutan ini menunjukkan kelebihan orang yang digelari di atas kaumnya saja. Dan Rasulullah lebih utama dari semua manusia di dunia dan di akhirat.
Karena itulah saat para sahabat ditanya, siapa yang memerintahkan apa yang kalian kerjakan? Mereka menjawab, yang memerintahkan kami adalah Rasulullah, utusan Allah Rabb semesta alam. Inilah sejatinya keutamaan beliau pada masa itu secara mutlak, dan sampai hari kiamat.
Memang tidak keliru jika dikatakan sayyid untuk selain hari itu. Hanya saja perlu diingat bahwa hadits tentang itu berkenaan dengan kejadian pada hari kiamat. Salah satu ciri khas ahlussunnah wal jamaah adalah sikap mereka yang tawassuth, proposional, tidak berlebih-lebihan tetapi juga tidak kurang.
Sayyid Para Rasul
Karena itulah dalam matannya, Abu Ja’far ath-Thahawiy tidak mengatakan, ‘Sayyid bani Adam’ tetapi mengatakan ‘sayyid para rasul’. Matan ini sejatinya berkaitan erat dengan masalah al-mufadhalah bainal anbiya’, mengutamakan sebagian Nabi di atas sebagian yang lain, yang ditolak oleh sebagian ulama berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa suatu hari ada seorang muslim dan seorang Yahudi yang bersitegang. Saat itu orang Yahudi itu bersumpah dengan mengatakan, ‘Demi (Allah) yang mengutamakan Musa ‘alaihi salam’ atas seluruh manusia.’ Orang muslim itu menonjoknya di wajahnya karena ucapan itu. Kemudian keduanya sepakat untuk menemui Rasulullah. Di situ beliau bersabda, “Janganlah kamu utamakan aku dari Musa. Saat semua orang tidak sadar pada hari Kiamat, aku adalah orang pertama yang sadar. Saat itu kudapati Musa sedang berpegangan dengan pilar ‘Arasy. Aku tidak tahu apakah dia lebih dulu siuman ataukah termasuk yang dikecualikan oleh Allah.”
Sebab wurud hadits ini adalah karena orang muslim itu menghadap kepada Nabi untuk meminta penjelasan tentang siapa yang lebih utama, apakah beliau ataukah Nabi Musa saat dia diliputi ‘ashabiyah (semangan kesukuan). Telah datang kabar dari Nabi bahwa barangsiapa berjihad –amalan yang menjadi puncak Islam- atas nama ‘ashabiyah, dia tidak mendapatkan pahala atas jihadnya. Demikian pula tentunya dengna ucapan yang dilandasi ‘ashabiyah.
Sejatinya pengutamaan sebagian nabi atas sebagian yang adalah benar. Dasarnyaya adalah firman Allah,
“Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. Dan Kami berikan kepada Isa putera Maryam beberapa mukjizat serta Kami perkuat dia dengan Ruhul Qudus…” (QS. Al-Baqarah: 253)
“Sesungguhnya telah kami lebih sebagian nabi itu atas sebagian (yang lain).” (QS. Al-Isra’: 55)
Dus, tidak ada lagi pertentangan antara hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan ayat-ayat yang menegaskan keutamaan sebagian nabi di atas sebagian yang lain. Wallahu a’lam.
Sumber: majalah arrisalah edisi 72 hal. 17-19