Aku heran, ada orang yang membaca al-Qur’an namun dia tidak mengerti maksudnya; bagaimanakah dia menikmati apa yang dibacanya?
(Ath-Thabari)
Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib ath-Thabari lahir di Amol, Thabaristan. Sebuah daerah perbukitan yang kini masuk ke wilayah Iran bagian utara. Thabaristan terletak kurang lebih 20 km di sebelah selatan laut Kaspia.
Muhammad bin Jarir ath-Thabari diperkirakan lahir antara akhir tahun 224 dan awal tahun 225 H. Beliau sendiri tidak mengetahui secara pasti tahun kelahiran beliau. Masyarakat Thabaristan umumnya tidak menandai sejarah hidup mereka dengan tahun. Sama seperti umumnya masyarakat jawa tempo dulu. Mereka menandainya dengan peristiwa-peristiwa besar yang mewarnai kehidupan mereka.
Berdasarkan pengakuannya kepada Ahmad bin Kamil asy-Syajari, seorang qadhi Kufah, ath-Thabari telah menghafal al-Qur’an dengan baik dalam usia tujuh tahun. Ada usia delapan tahun, ia dipercaya menjadi imam shalat. Dan setahun berikutnya, ath-Thabari sudah mulai membukukan hadits-hadits Rasulullah. Sesuatu yang sulit dicari bandingannya pada masa itu dan bahkan juga pada masa sebelumnya atau sesudahnya.
Sejak berusia 16 tahun, seumuran anak kelas 1 SMU, Muhammad bin Jarir menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk berpetualang mencari ilmu dari satu kota menuju kota lainnya. Hampir semua kota besar Islam pada sama itu disinggahinya demi menyerap ilmu dari para ulama yang ditemuinya di kota tersebut.
Setelah puas belajar di Thabaristan dan daerah-daerah sekitarnya, ath-Thabari meninggalkan tanah kelahirannya, Amol. Dengan dukungan penuh dari orang tua, dia menuju Rayy, Persia dan menghabiskan kira-kira lima tahun untuk belajar di kota tersebut.
Pada tahun 241, ath-Thabari bertolak menuju Baghdad, pusat ilmu pengetahuan pada masa itu. Beliau bermaksud belajar kepada Imam Ahmad bin Hambal. Sayangnya, Imam Ahmad bin Hambal wafat beberapa saat sebelum ath-Thabari sampai di kota itu. Namun ath-Thabrani tetap belajar kepada para ulama Baghdad.
Dari Baghdad, ath-Thabari meuju Bashrah, Kufah, lalu Damaskus. Tak lama kemudian dia sudah berada di Mesir. Dua kali ath-Thabari bolak-balik Damaskus-Mesir, sebelum akhirnya dia kembali ke tanah kelahirannya, Thabaristan. Ath-Thabrani sampai di Thabaristan pada tahun 291 bermukim sejenak dan kemudian menuju Baghdad dan tinggal di sana hingga wafat pada tahun 310.
Ath-Thabrani dikenal sebagai Jami’ul Ulum. Yang demikian itu karena dia betul-betul menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan. Ath-Thabrani dikenal sebagai pakar sejarah, sastra Arab, ahli hadits, dan syaikhul mufassirin. Dalam bidang hadits, imam an-Nawawi menyejajarkan ath-Thabari dengan at-Tirmidzi dan an-Nasa’i.
Pakar Sejarah
Dalam bidang sejarah ath-Thabari mengambil langkah besar. Ath-Thabari meninggalkan Tarikhul Umam wal Muluk. Karyanya inilah yang secara tidak langsung mengilhami para sejarawan besar setelahnya, semisal al-Mas’udi (w. 345), Ibnu Miskawaih (w. 421) Ibnu Atsir (w. 630) Ibnu Katsir (w. 774) dan Ibnu Khaldun (w. 808).
Tarikhul Umam wal Muluk yang terdiri dari delapan jilid tebal adalah buku sejarah pertama yang dengan lengkap mengulas sejarah umat manusia secara umum semenjak Nabi Adam. Buku yang selesai beliau tulis pada tanggal 27 Rabiul Akhir 303 ini juga menyajikan sejarah bangsa Romawi dan Persia. Maka tidak heran jika Tarikhul Umam wal Muluk atau yang lebih dikenal dengan Tarikh ath-Thabari masih menjadi rujukan utama para pemerhati sejarah klasik.
Nilai lebih dari karya besar beliau ini adalah keberadaannya sebagai pelestari sejarah generasi pertama dari abad kedua hijriyah, semisal manuskrip Urwah bin Zubair (w. 96) Wahb bin Munabbih (w. 110), dan Ibnu Syihab az-Zuhry (w. 124 H)
Abu Qasim bin Uqail al-Waraq bertutur, Abu Jakfar ath-Thabari pernah menanyai sahabat-sahabatnya, “Apakah kalian punya keinginan untuk menulis buku sejarah alam ini sejak zaman Adam sampai waktu kita sekarang ini?” “Berapa tebal ukuran buku itu nantinya!” mereka balik bertanya. Ath-Thabari menjawab, “Sekitar 30.000 halaman.” Paling-paling sebelum kita menyelesaikannya, umur kita sudah habis,” kata mereka. Ath-Thabari pun berkata, Inna lillahi! Semangat sudah padam.
Pakar Tafsir
Menurut ath-Thabari, mengetahui tafsir (baca: maksud) al-Qur’an adalah keharusan bagi orang yang membacanya. Suatu saat beliau berkata, “Aku heran, ada orang yang membaca al-Qur’an namun dia tidak mengerti maksudnya; bagaimanakah dia menikmati apa yang dibacanya?
Dari sinilah, ath-Thabari giat mendalami tafsir al-Qur’an selama hidupnya. Ath-Thabari mulai menulis Jamiul Bayan ‘an Ta’wil Ayil Qur’an pada tahun 283 dan baru tuntas tujuh tahun kemudian.
Selama 40 tahun setiap hari menulis 40 halaman. Abu Hamid Ahmad bin Abu Thahir al Isfirayni berkata, “Jika untuk mendapatkan tafsir ath-Thabrani seseorang harus pergi ke Cina, sungguh itu bukanlah perjalanan yang panjang.”
Semoga kita dianugerahi semangat seperti semangat Abu Jakfar Ibnu Jarir ath-Thabari.
Sumber: majalah arrisalah edisi 79