Hukum Mengeraskan atau Merilihkan Dzikir

Oleh : Syamil Robbani

Sebelum kita membahas Hukum mengeraskan atau Melirihkan Dzikir, kita akan bahas dahulu apa itu dzikir. Dzikir secara bahasa diambil dari kata ذكر  yang mempunyai dua makna. Makna pertama adalah lawan kata dari lupa النسيان berarti dzikir adalah mengingat sesuatu atau menjaga agar tidak lupa1. Makna kedua adalah melafadzkan sesuatu atau apa yang terucap dari lisan, sehingga dari dua makna ini bisa diambil benang merah yaitu menjaga sesuatu dengan menyebutnya atau melafadzkanya2.

Maka orang-orang sufi memahami dzikir menjadi dua; dzikir dengan lisan dan dzikir dengan hati dan ini berbeda. Dzikir dengan lisan adalah menjadi perantara (wasilah) untuk dzikir dengan hati, karena memang yang paling terpenting adalah dari berdzikir adalah dengan hati. Karena nyatanya terkadang orang mampu berdzikir dengan lisan akan tetapi hati itu lalai dari mengingat Allah. Tapi dzikir yang ideal adalah lisan dan hati serasi sama-sama berdzikir kepada Allah3.

Adapun pengertian dzikir secara istilah sebagaimana yang dituturkan oleh Ibnu A’llan yaitu

‌ما ‌تعبدنا به الشارع بلفظه مما يتعلق بتعظيم الحق والثناء عليه

“Segala lafadz yang diucapkan bernilai ibadah disisi Allah, didalamnya terdapat pengagungan dan pujian kepada Allah.4

Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu fatawa memberikan definisi yang meluas tentang dzikir yaitu,

‌كُلَّ ‌مَا ‌تَكَلَّمَ بِهِ اللِّسَانُ وَتَصَوَّرَهُ الْقَلْبُ مِمَّا يُقَرِّبُ إلَى اللَّهِ مِنْ تَعَلُّمِ عِلْمٍ وَتَعْلِيمِهِ وَأَمْرٍ بِمَعْرُوفِ وَنَهْيٍ عَنْ مُنْكَرٍ فَهُوَ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ

“Segala perkataan yang diucapkan dengan lisan beserta hati merenunginya yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Seperti; menuntut ilmu, mengajarkanya, amar makruf, nahi mungkar itu semua termasuk dari dzikir kepada Allah.5

Sedangkan Ibnul Qayyim dalam Al-Wabil Ash-Shayib mejelaskan definisi dari dzikir adalah; “Pujian kepada Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya sempurna nan Indah serta pujian atas nikmat-nikmat-Nya.6

Maka dari pengertian-pengertian diatas bahwa secara umum dzikir adalah seorang hamba mengingat Allah dengan berbagai perantara, dengan memuji dzat, asma wa sifat, perbuatan, atau hukum-hukum Allah atau dengan membaca Kitab-Nya, memita pertolongan serta berdoa kepada-Nya atau dengan mentauhidkan-Nya, mengagungkan serta bersyukur kepada-Nya, itu semua termasuk dari pengertian dzikir.

Adapun makna istilah secara khusus Adalah seorang Hamba mengingat Allah dengan memberikan pujian kepada-Nya7

HukumMengeraskan Dzikir dan Melirihkan

Adapun hukum mengeraskan dzikir dan melirihkannya itu berbeda-beda menyesuaikan orang dan keadaanya. Terkadang melirihkan dzikir lebih utama Ketika ditakutkan adanya riya’ atau dapat mengganggu orang shalat atau orang yang sedang tidur dan mengeraskaannya akan menjadi lebih utama Ketika terbebas dari keadaan tersebut8.

Akan tetapi terdapat pengecualian dalam beberapa kedaaan yang menuntut didalamnya untuk mengeraskan dzikir. Karena terdapat mashlahat yang ditunjukan oleh syariat. Diantara nya adalah;

  1. Dzikir yang dimaksudkan dari awal untuk diperdengarkan dan disyiarkan. Seperti; adzan, iqomat, takbir imam dalam shalat, menyampaikan salam serta menjawabnya. Dan semacamnya maka dzikir tersebut dikeraskan sesuai dengan kadarnya.
  2. Beberapa dzikir dalam shalat yang disunnahkan untuk dikeraskan. Seperti; basmalah, ta’min (mengucapkan amin), qunut, takbir, takbir dalam shlat ied, talbiyah dalam haji.

—————————————————

  1. Muhammad bin Muhammad bin Abdur Razak, Tâj Al-Arûs, (Darul Hidayah) jld. 11, hlm. 377
  2.  Ibnu Mandzur, Lisân Al-Arab, (Beirut; Darus Shadir, 1414H) jld. 4, hlm. 308
  3.  Majlis A’la , Mausûah Al-Mafâhîm Al-Islâmiyah Al-A’mah, hlm. 295.
  4.  Muhammad bin A’llan Ash-shadiqi, Al-Futûhat Ar-Rabbâniyah, (Jam’iyyah Nasyr Azhariyah) jld.1, hlm. 396
  5.  Ibnu Taimiyyah, Majmû Fatâwâ, (Madinah; Majma’ Mulk, 1416H) jld. 10, 661
  6.  Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah, Al-Wâbil Ash-Shayyib min Al-Kalâm At-Thayyib, (Kairo; Darul Hadist, 1999M)
  7.  Markas Tafsir, Mausûah At-Tafsîr Al-Maudhûi’, (Riyadh; Markaz Tafsir, 2019M) hlm. 89
  8.  Ibnu Abidin, Radul Mukhtâr Ala Ad-Dûr Al-Mukhtâr, (Beirut; Darul Fikr, 1966M) jld.6, hlm. 398

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *