Hikmah Dalam Dakwah
Ibnu Hisyam mencatat sebuah kisah menarik dalam kitab sirahnya. Sebuah kisah pergulatan yang pada akhirnya menghadirkan iman. Sebuah kisah penuh hikmah, bahwa tidak selalunya dakwah itu disampaikan dengan khutbah, dalam kisah ini, justru gulat jadi jalan hadirnya hidayah.
Adalah Rukanah bin Abdu Yazid bin Hisyam bin Abdul Muthalib bin Abdu Manaf. Konon ia adalah orang Qurasiy terkuat pada masa itu. Dengan postur tubuh tinggi dan besar serta wajah yang gahar. Jika dicari contohnya hari ini; dia adalah juara pemain gulat kelas kakap semisal Hulk Hogan.
Suatu ketika, saat Rasulullah shalallahu ‘alahi wa salam masih di Mekkah, beliau bertemu dengan Rukanah dan mendakwahkan Islam kepadanya. Alih-alih diterimah, justru yang Nabi dapatkan adalah penolakan.
Tidak menyerah, Nabi mencari cara lain; menantang Rukanah untuk adu gulat. Dengan kesepakatan sederhana; jika Rukanah kalah, ia mengakui kebenaran Nabi.
Keduanya bersiap, kuda-kuda sudah terpasang, gulat pun dimulai. Dalam hitungan langkah, Rukanah terjerembab kalah. Sang Nabi memenangkan pertandingan.
Sebagai orang yang dikenal sebagai juara gulat, tentu Rukanah tidak terima dikalahkan oleh Nabi. Ia pun meminta pertandingan kedua. Remacth.
Pada pertandingan kedua pun, dengan gerakan Nabi yang gesit dan lincah, Rukanah kembali kalah untuk kali kedua. “Yaa, Muhammad, engkau hebat. Kau berhasil mengalahkanku.”
Rasulullah bersabda, “Maukah kutunjukkan padamu yang lebih dari ini? Jika kau bertaqwa kepada Allah dan mentaatiku.” Setelah Rukanah mengiyakan, Nabi kemudian menampakkan sesuatu yang membuat Rukanah terkejut. Nabi shalallahu ‘alahi wa salam menunjuk sebuah pohon kemudian memanggilnya, dan pohon itu bergerak mendekati, kemudian kembali pergi.
Setelah melihat itu, Rukanah bukannya mengakui akan kebenaran Nabi yang telah mengalahkan dan menunjukkan mu’jizatnya. Justru ia menyebut Nabi sebagai penyihir. (lihat:Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah, 1/390-391)
Waktu pun berlalu, pada saat Fathu Makkah, Rukanah akhirnya masuk Islam, sebagaimana yang dicatat al-Baladzuri dalam Ansabul Asyraf. Pada hari di mana Mekkah berhasil dibebaskan, Rukanah mendatangi Nabi shalallahu ‘alahi wa salam, menyatakan diri sebagai orang yang beriman.
“Demi Allah (Sekarang) aku mengetahui, (dulu) engkau saat bergulat denganku mendapat pertolongan dari Allah.” Rukanah sadar bahwa Allah yang memberikan kekuatan, memenangkan dan mengalahkan. Riwayat ini juga dikuatkan dalam riwayat Tirmidzi, Abu Daud dan juga al-Hakim.
Baca juga: Risalah Ramadhan
Apa itu Hikmah?
Dakwah itu sangat membutuhkan hikmah sebagai salah satu sarana menyampaikan risalah. Sebagaimana firman Allah ta’ala:
ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125)
Allah menyebutkan cara pertama berdakwah dalam ayat ini adalah dengan hikmah. Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa makna hikmah pada ayat ini adalah al-Quran dan as-Sunnah. (Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Adzim, 4/613)
Maka hikmah dalam dakwah itu bersumber dari dua hal ini; al-Quran dan as-Sunnah, yang di dalamnya terdapat segala jawaban untuk setiap persoalan kehidupan. Dari keduanya dikisahkan banyak hal; pelajaran, teladan, dan pengetahuan. Yang dapat digunakan sebagai penopang dakwah.
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di menambahkan bahwa makna hikmah pada ayat ini juga meliputi pemahaman terhadap keadaan mad’u (objek dakwah), agar dai menyeru manusia sesuai dengan keadaan dan kadar pemahamannya. Dimulai dari sesuatu yang terpenting kemudian yang penting. Artinya, ada proses bertahap dalam pelaksanaanya.(lihat: Abdurrahman as-Sa’di, Taisir al-Kalim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, 1/452)
Hikmah juga berarti mengerti keadaan objek dakwah, karena seorang dai diibaratkan seperti dokter. Ia harus mengetahui keadaan pasiennya, agar penangan dan obat yang diberikan sesuai dan tepat sasaran.
Rasulullah dalam banyak riwayat memberikan teladan bahwa dalam berdakwah, beliau selalu memperhatikan keadaan mad’u. Maka kita akan dapati perbedaan sikap dalam menyikapi objek dakwah yang berbeda.
Seperti sikap Nabi saat menghadapi seorang badui yang kencing di masjid, bagaimana kerasnya Nabi melihat Umar membaca lembaran Taurat, teguran Nabi kepada Muadz yang mengimami shalat terlalu panjang, lembutnya Nabi menyuapi seorang Yahudi di pinggiran pasar, dan lainnya.
Nabi selalu bersikap dan bertindak sesuai porsi, selalu bisa membawa diri dan menyesuaikan antara ucapan dan perbuatan dengan objek yang sedang dihadapi.
Maka inilah hikmah dalam dakwah; yaitu kemampuan untuk memahami dan bersikap sesuai dengan objek dakwah yang dihadapi.
Syaikh Sa’id bin Wafh al-Qahthani menjelaskan, “Hikmah itu adalah ucapan dan tindakan yang tepat sasaran, meletakkan keduanya sesuai porsinya.” (Sa’id bin Wafh al-Qahthani, al-Hikmah fi Dakwah ilallahi, hlm.34)
(Ust. Fajar Jaganegara,S.Pd.I)