Hiduplah Secara Islam Agar Mati Secara Islam
Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali Imran: 102)
Adalah Amir bin Abdillah bin Zubair rahimahullah ketika telah dekat tanda-tanda kematian, nafasnya tersengal dan bicaranya terbata-bata. Sementara keluarganya mengerumuni dirinya. Ketika itu terdengarlah lantunan adzan maghrib, lalu beliau berkata, “Tolong, papalah kedua angan saya!” mau kemana? Tanya keluarganya. Beliau menjawab, “Ke masjid!” mereka berkata, “Dalam keadaan seperti ini?” bukankah ada udzur untuk tidak ke masjid?” beliau menjawab, “Subhanallah, saya mendengar panggilan shalat bagaimana mungkin saya tidak mendatanginya? Tolong, papahlah kedua tanganku!”
Akhirnya mereka pun memapah beliau ke masjid untuk menjalankan shalat berjamaah. Beliau mendapatkan satu rekaat bersama Imam hingga akhirnya beliau wafat dalam keadaan bersujud. Ya, beliau wafat dalam keadaan seperti biasanya beliau melakukan aktifitas, yakni antusias untuk mendatangi shalat jamaah.
Benarlah apa yang dikatakan para ulama, “Man ‘aasya alaa syai’in maata ‘alaihi,” barang siapa yang hidup dengan kebiasaan tertentu, ia akan mati dalam keadaan seperti biasanya itu.
Termasuk secara umum bahwa orang yang menemui kematiannya dalam keadaan muslim adalah orang-orang yang hidup dengan keyakinan dan syariat Islam. Ibnu Katsier rahimahullah menafsirkan firman Allah, “Janganlah kamu mati melainkan dalam keadaan muslim!” (QS. Ali Imran: 102)
Yakni, jagalah Islam dikala sehat dan senggang, agar kalian mati dalam keadaan berislam. Karena orang yang mati dalam keadaan mulia adalah orang yang membiasakan diri berakhlak mulia dan bahwa seseorang yang memiliki suatu kebiasaan dalam hidup maka dia akan mati sesuai dengan kebiasaan itu. Dan barang siapa yang mati dengan satu keadaan maka dengan keadaan itulah kelak ia akan dibangkitkan.
Sekilas, konsekuensi dari ayat tersebut tampak sederhana, yang penting tidak murtad dari Islam, atau tetap beridentitas sebagai seorang yang beragama Islam dalam KTP dan tidak berpindah kepada ajaran lain hingga akhir hayat.
Padahal Islam menuntut adanya totalitas ketundukan kepada Allah, menaati perintahnya, menjauhi larangan-Nya dan membenarkan syariat-Nya dalam keyakinan dan perbuatan.
Tidak diragukan, banyak orang yang kelak ingin mati dalam keadaan muslim, namun berapa oang yang mejadikan Islam sebagai way of life, jalan dalam totalitas hidupnya? Yang mau mengambil Islam dalam hal keyakinan, ibadah, akhlak, maupun dalam bermuammalah. Baik dalam hal mengatur diri, keluarga, masyarakat hingga mengatur urusan negara bagi mereka yang diberi kekuasaan.
Adalah aneh ketika kita telah menerima dan menggunakan cara Islam untuk mengurusi orang mati, tapi menolak cara Islam untuk mengatur orang yang masih hidup. Tidak masuk akal ketika seseorang hidup dengan cara Barat, lalu ingin mati dalam keadaan Islam dan diperlakukan sebagai jenazah orang Islam.
Islam yang harus kita ambil adalah keseluruhannya, bukan sebagian atau setengahnya.
Maka tidak selayaknya kita mengambil Islam setengah-setengah, karena tentu kita tidak ingin setengah bahagia di dunia dan tak ingin pula mati dalam keadaan setengah muslim.
Orang yang hanya mau mengambil Islam sebagian sisi saja mungkin takut ketinggalan jaman, atau khawatir tidak mendapatkan bagian dari kebahagiaan dunia. Padahal, Allah yang menciptakan manusia maka Dia Maha tahu tentang apa yang baik untuk hamba-Nya dan mana pula yang mendatangkan madharat bagi mereka. Karena itulah Allah pilihkan Islam untuk kita sebagai petunjuk bagi orang yang ingin berbahagia di dunia dan beruntung di akhirat. Maka tidaklah ada suatu kebaikan yang dengannya seorang hamba mendekatkan diri kepada Rabb-Nya kecuali telah beliau ajarkan. Demikian dengan hal-hal yang menjerumuskan kepada keburukan, maka syariat telah memperingatkan kita darinya. Rasulullah bersabda,
“Tidaklah ada sesuatu yang dapat mendekatkan kepada surga dan menjauhkan dari neraka, kecuali sudah dijelaskan kepada kalian.” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya dan Ath-Thabrani dalam Al-Kabir. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah)
Bahkan para tokoh Yahudi di zaman Nabi pun mengakui sebagaimana pengakuan seorang Yahudi kepada Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, “Sungguh, Rasul kaian telah menjelaskan (segala hal) kepada kalian sampai dalam urusan buang hajat.” Selanjutnya ia mengatakan, “Beliau telah melarang kami menghadap kiblat saat buang air besar dan kecil atau beristinja` dengan tangan kanan, beristinja` denga kotoran atau dengan tulang.” (HR. Muslim)
Allah sendiri menjelaskan kesempurnaan Kitab-Nya yang menjadi pedoman umat Islam (yang artinya), “Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur`an) sebagai penjelas segala sesuatu.” (QS. An-Nahl: 89) juga firman-Nya (yang artinya), “Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab (Al-Qur`an).” (QS. Al-An’am: 38)
Lantas agama manakah yang lebih detil, sempurna dan paripurna penjelasannnya dari pada Islam? Dengan segala keterangan yang telah syariat jelaskan secara gamblang, malamya seperti siangnya, maka tidak ada lagi pilihan selain Islam. Siapapun yang mati dalam keadaan tidak Islam setelah datangnya penjelasan, neraka adalah tempat tinggalnya, wal ‘iyyadzu billah. Nabi shalalahu ‘alaihi wasallam bersabda,
والذي نفسي بيده لا يسمع بي أحد من هذه الأمة يهودي ولا نصراني ثم يموت ولم يؤمن بالذي أرسلت به إلا كان من أصحاب النار
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang dari kalangan umat ini baik Yahudi maupun Nashrani yang mendengar (dakwah)ku sedangkan ia wafat dalam keadaan tidak beriman kepadaku, kecuali dia termasuk penduduk neraka.” (HR. Muslim).
Semoga Allah wafatkan kita dalam keadaan muslim, aamin.
Sumber : Majalah ar risalah edisi 163 hal. 50-51