Kedaulatan di tangan rakyat adalah slogan dan sifat yang dianggap sebagai pondasi demokrasi. Sehingga Abraham Lincoln mendefinisikan demokrasi dengan menyatakan, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam acara debat capres tahun lalu Jokowi mengatakan, “Demokrasi menurut saya adalah mendengar suara rakyat dan melaksanakannya.”
Said Abdul Azhim menjelaskan bahwa, demokrasi adalah pemerintahan yang mana mekanisme penyelenggaraan Negara, perundang-undangan serta hukumnya merupakan hasil suara rakyat -atau paling tidak yang dianggap suara rakyat- lalu ditetapkan untuk rakyat.
Dengan kata lain bahwa rakyat memiliki hak kedaulatan penuh untuk mengatur diri mereka sendiri dengan mekanisme dan aturan perundang-undangan yang juga mereka buat sendiri. Dari sini bisa dimengerti bahwa demokrasi adalah wajah politik sekularime.
Ada yang mengatakan bahwa definisi seperti ini adalah definisi demokrasi yang sudah using. Tetapi faktanya bahwa yang definisi yang sudah usang itulah yang berlaku hingga hari ini. Mungkin banyak penafsiran dan modifikasi yang dilakukan dalam perkembangan praktik demokrasi akan tetapi inti dasarnya tetap tidak berubah. Sehingga pernyatan bahwa definisi di atas adalah definisi yang sudah usang hanya menambah kejelasan bahwa demokrasi adalah system yang memang sudah usang. Lalu mengapa masih dipertahankan?!
Lain dari itu pernahkan kita mempertanyakan dan merenung tentang slogan kedaulatan rakyat yang diyakini sebagai asas demokrasi? Apakah kedaulatan rakyat itu benar-benar ada di alam kenyataan, atau hanya jargon angin surga yang tidak pernah hadir di alam realitas?
Sejarah pemerintahan dengan system demokrasi dari sejak zaman dahulu hingga sekarang justru menunjukkan sebaliknya, kedaulatan rakyat yang gembar-gemborkan tidak pernah teralisasi dalam kenyataan. Sepanjang sejarahnya pemerintahan demokrasi hanyalah pemerintahan oleh sebagian kelompok (elit) masyarakat atas mayoritas kelompok masyarakat yang lain. Pada zaman dahulu kelompok negarawan Yunani menjadi pemerintah atas mayoritas rakyat jelata. Demikian pulalah yang berlaku di mayoritas belahan dunia modern hingga kini, baik yang menganut system demokrasi liberal, presidensial, parlementer, maupun referendum.
Hari ini yang menjadi penguasa adalah elaborasi para pemilik modal dengan rezim pemerintah. Merekalah yang menguasai kehidupan rakyat. Merekalah penguasa sesungguhnya; mereka memiliki sumber daya, media massa, dan pengaruh untuk membentuk opini sesuai dengan keinginan mereka.
Rakyat jelata hanya menjadi raja sehari pada hari pemilihan. Suara mereka diperebutkan, dianggap sebagai penentu masa depan bangsa, diberi janji-janji yang menggoda. Namun setelah para elit politik naik tahta, suara mereka tidak lagi berguna, terbentur tembok-tembok istana, mengendap diluar gedung-gedung mewah para wakil rakyat. Mereka tetap menjadi rakyat yang lemah dan menderita, tertindas oleh kebijakan dan undang-undang yang juga dibuat atas nama mereka sebagai rakyat; harga kebutuhan pokok terus melambung, pajak terus menyasar hampir semua benda milik rakyat. Masyarakat miskin terus dimiskinkan, rumah dan perkampungan mereka digusur, dicabut dari tanah kelahirannya. Ketika mereka berteriak dan protes sebagai rakyat, mereka justru dihadapkan dengan para centeng penguasa yang lebih mengedepankan otot daripada otak. Rakyat lalu jadi sasaran kekerasan. Lalu dimanakah suara rakyat? Dimanakah kedaulatan rakyat yang digembar-gemborkan itu? Nol. Demokrasi hanyalah pepesan kosong yang hanya menambah rasa lapar. Demokrasi hanya fatamorgana yang membangkitkan harapan sesaat lalu hanya membuahkan penyesalan setelah medekat. Sampai kapan umat Islam percaya dan menaruh harapan pada demokrasi yang sudah terbukti menyengsarakan?
Islam. Itulah satu-satunya harapan untuk meraih kejayaan. Islam adalah system kehidupan yang bersumber dari Rabb semesta alam, mengatur seluruh sisi kehidupan tak terkecuali system hidup berbangsa dan bernegara. [Ibnu Syarqi]