Himayah Fundation – Islam adalah agama rahmatal lil’alamin, sementara itu gambaran dari islam adalah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Allah Ta’ala memuji dan memuliakan dan menjadikan baginda sebagai qudwah (contoh yang harus diikuti) dan uswah (contoh tauladan). Tentunya bukan hanya dalam masalah keimanan dan beribadah kepada Allah Ta’ala, melainkan dalam seluruh aspek kehidupan.
Ittiba’ (mengikuti) dengan apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam adalah bukti nyata kecintaan hamba kepada rabbNya. Karena, cinta bukan hanya ucapan melainkan harus terwujud nyata dalam amalan. Maka, siapapun yang telah mengikat hatinya dengan ikatan cinta kepada Allah dan rasulNya, maka ittiba’ adalah wajib baginya.
Allah Ta’ala berfirman.
قُلۡ اِنۡ كُنۡتُمۡ تُحِبُّوۡنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوۡنِىۡ يُحۡبِبۡكُمُ اللّٰهُ وَيَغۡفِرۡ لَـكُمۡ ذُنُوۡبَكُمۡؕ وَاللّٰهُ غَفُوۡرٌ رَّحِيۡمٌ
Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Q.S. al-Imran : 31)
Hanya saja, banyak diantara kaum muslimin yang melalui jembatan patah dalam usahanya menggapai cinta Allah. Ghuluw (sikap berlebihan) ibarat jembatan patah yang sering dilalui oleh kaum muslimin, sehingga banyak terjatuh pada kesyirikan tanpa sadar dan permusuhan terhadap sesama seolah-olah ibarat lautan yang tak bertepi. Bukankah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam telah menngingatkan besarnya madharat (bahaya) dari sikap ini, sebagaimana hadis yang diterima dari Abdullah bin Abbas radhyallahu ‘anhuma.
عن إبن عباس رضي الله عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: وَإِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ.
“Jauhkan diri kalian dari berlebih-lebihan (ghuluw) dalam agama. Sesungguhnya berlebih-lebihan dalam agama telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” (HR an-Nasa’i 5/268)
Sebagaimana luasnya cakupan ibadah, begitupula dengan ghuluw dalam beragama. Sikap ghuluw (berlebihan) dimulai dari perkataan dan perbuatan, karena itulah bentuk nyata yang dapat dilihat, adapaun apa yang tersirat didalam hati, hanya Allah Ta’ala saja yang maha tahu atas segalanya. Ada beberapa hal yang menurut pengamatan kami termasuk dari sikap ghuluw yang seharusnya dijauhi..
1. Berlebihan dalam bershadaqah
Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah membebani satu jiwa, melainkan berdasarkan kemampuannya. Allah Ta’ala menghendaki agar seluruh ibadah yang menjadi taklif (kewajiban) mudah untuk dilaksanakan, termasuk dalam hal bershadaqah. Seseorang yang bershadaqah dengan nominal yang sedikit, karena keterbatasan harta yang dimilikinya. Insya Allah, tidak akan mengurangi dan menghalangi cinta Allah kepadanya. selama ia mau melaziminya kapan saja ia mampu untuk melakukannya.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda
خُذُوا مِنْ الْعَمَلِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا
“Lakukanlah amal-amal yang kalian sanggup melaksanakannya, karena Allah tidak akan berpaling (dalam memberikan pahala) sampai kalian yang lebih dahulu berpaling (dari mengerjakan amal) ” (HR. Bukhari no. 1834)
Dalam hadis yang diterima dari ‘Aisyah radhyallahu ‘anha disebutkan
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
Dari Aisyah ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang terus-menerus (dilakukan) meskipun sedikit.” (HR. Muslim no. 1305).
Berapa banyak kaum muslimin yang bersikap ghuluw (berlebihan) dan memaksakan diri dalam bershadaqah, sampai ada yang berhutang demi bershadaqah di acara maulid nabi tersebut. Bukankah hutang hanya akan menghadirkan keresahan dan kita diperintahkan untuk berlindung kepada Allah Ta’ala dari jeratan hutang. Sementara itu, Al-Qur’an juga menganjurkan kita untuk tidak berlebihan dalam bershaqadah. Allah Ta’ala berfirman.
وَالَّذِيْنَ اِذَآ اَنْفَقُوْا لَمْ يُسْرِفُوْا وَلَمْ يَقْتُرُوْا وَكَانَ بَيْنَ ذٰلِكَ قَوَامًا
“Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, di antara keduanya secara wajar.” (Q.S. Al Furqan : 67)
Bershadaqahlah kepada siapa saja yang membutuhkan bantuan, seperti kepada faqir, miskin dan anak yatim dengan kemampuan harta yang dimiliki. Bershadaqah dan saling memberi, tidak hanya pada hari kelahiran nabi, melainkan dapat dilakukan kapan saja, dan dimana saja. Dengan saling memberi secara perlahan akan lahir perasaan cinta, dan inilah maqashidu syar’i (yang diinginkan oleh syareat). Demi Allah.! apabila cinta telah bersemi, apapun yang di beri dan diterima akan terasa indah.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda.
تَصَافَحُوا يَذْهَبْ الْغِلُّ وَتَهَادَوْا تَحَابُّوا وَتَذْهَبْ الشَّحْنَاءُ
“Hendaklah kalian saling berjabat tangan, niscaya maka akan hilanglah kedengkian. Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscaya akan saling mencintai dan menghilanglah permusuhan.” (HR. Malik no. 1413)
2. Bershalawat kepada nabi dengan sikap berlebihan
Satu diantara amalan ringan dan mudah bagi lisan adalah bershalawat kepada nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Shalawat adalah ungkapan cinta dan rasa syukur kepada Allah Ta’ala atas diutusnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa al-huda (petunjuk al-Qur’an) dan ad-Dinul Haq (agama islam). Dengan bershalawat akan mengangkat derajat hamba dihadapan Allah Ta’ala, dan menjadikan posisi atau tempat yang sangat dekat dengan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam didalam syurga.
وعن ابن مسْعُودٍ أنَّ رسُول اللَّهِ ﷺ قَالَ: أَوْلى النَّاسِ بِي يوْمَ الْقِيامةِ أَكْثَرُهُم عَليَّ صَلاَةً رواه الترمذي
“Manusia yang paling berhak bersamaku pada hari kiamat ialah yang paling banyak membaca shalawat kepadaku.” (HR Tirmidzi).
Akan tetapi, amalan yang mulia ini dilakukan dengan sangat berlebihan bahkan sampai terjerumus dalam hal maksiat yang sangat dilarang oleh syareat. Shalawat yang seharusnya menjadi sarana menghadirkan cinta kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan mengingat kembali sejarah perjuangan dan dakwah islam, berubah menjadi ajang mempertontonkan kemaksiatan, misalnya; shalawat dinyanyikan dengan iringan musik dangdut, joget tiktok bahkan ada yang menyanyikan dengan jingkrak-jingkrak diatas panggung. Sesungguhnya hal ini jelas akan mendatangkan murka Allah Ta’ala.
Bergembira dengan hari lahirnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sangat dianjurkan, akan tetapi bila bercampur dengan kemaksiatan maka hal ini sangatlah terlarang untuk dilakukan. Bukankah itu termasuk talbisul haq bil bathil (mencampur adukkan al haq dan al bathil)..?
Begitupula, termasuk dalam hal ghuluw adalah berlebihan dalam memuji dan mengangungkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sampai pada batas pengkultusan, sebagaimana yang dilakukan kaum nasrani terhadap nabiyullah ‘Isa bin Maryam adalah perbuatan terlarang, sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Abbas radhyallahu ‘anhu.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ سَمِعَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ عَلَى الْمِنْبَرِ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
Dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhua bahwa dia mendengar ‘Umar radliallahu ‘anhum berkata di atas mimbar, “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian melampaui batas dalam memujiku (mengkultuskan) sebagaimana orang Nashrani mengkultuskan ‘Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka itu katakanlah ‘abdullahu wa rasuuluh (hamba Allah dan utusan-Nya”. (HR. Bukhari no. 3189)
3. Justifikasi yang berlebihan
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwasanya hadirnya islam adalah menjadi rahmat bagi seluruh alam, termasuk bagi seluruh kaum muslimin sebagai kompenen utama yang akan mendapatkan rahmat Allah Ta’ala. Karena islam adalah agama keselamatan, siapapun yang telah mengucapkan syahadat maka akan terjamin keselamatan harta, kehormatan dan jiwanya. Sebagaimana disebutkan diriwayatkan dari Abdullah bin Amr, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ، وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
“Muslim (orang yang beragama Islam) adalah orang yang orang-orang muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya. Muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan larangan Allah.” (HR. Bukhari no.6484)
Fenomena yang selalu terjadi bahkan menghiasi jagat raya sosial media, seperti ; facebook, tweeter, whatsapp, instagram dan yang lainnya, adalah saling tuduh antara satu sama lain dengan tuduhan sesat. Sebagian kaum muslimin yang dengan semangat merayakan maulid nabi dengan mudahnya menuduh muslim lainnya dengan tuduhan wahabi sesat, hanya karena mereka tidak merayakan maulid nabi. Begitu pula halnya, bagi mereka yang sangat antipati terhadap perayaan maulid nabi dengan mudahnya pula menuduh saudaranya dengan tuduhan ahlul bid’ah , dengan alasan bahwa peringatan maulid nabi tidak pernah ada pada zaman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan tiga zaman terpilih setelahnya (sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in) biasa disebut dengan istilah generasi salaf.
Sampai kapan lisan akan berhenti dari hujatan dan cacian terhadap saudara seiman. Apakah dengan menghujat iman akan bertambah? apakah dengan menghujat akan bertambah pahala disisi Allah Ta’ala ? atau apakah dengan menghujat akan mendapatkan jaminan syurga.? Segeralah bertaubat kepada Allah Ta’ala, karena Allah Ta’ala maha penerima taubat lagi maha penyayang.
Renungi dan hayati hadis berikut ini…!
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلَّا رَجُلًا كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ فَيُقَالُ أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya pintu-pintu surga dibuka pada hari Senin dan kamis. Semua dosa hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu akan diampuni, kecuali bagi orang yang antara dia dan saudaranya terdapat kebencian dan perpecahan.” Lalu dikatakan: ‘Tangguhkanlah dua orang ini hingga mereka berdamai! Tangguhkanlah dua orang ini hingga mereka berdamai! Tangguhkanlah kedua orang ini hingga mereka berdamai! ‘ (HR. Muslim no. 4652)
Hendaknya, momentum maulid nabi menjadikan hati-hati yang terpecah tertata dan tersusun rapi dalam bingkai keimanan dan kecintaan karena Allah Ta’ala. Terajut kembali benang-benang kusut diantara kaum muslimin. Sesungguhnya yang menjadikan kita mulia dihadapan Allah Ta’ala bukanlah karena besarnya perayaan maulid nabi dan bukan pula hujatan kita kepada mereka yang menyelisihinya, melainkan karena bersihnya hati dari kebencian kepada sesama. Karena, hati yang bersih adalah hati hamba-hamba Allah yang bertaqwa.
4. Meninggalkan sesuatu yang lebih utama
Diantara bentuk ghuluw (berlebihan) dalam merayakan maulid nabi adalah meninggalkan sesuatu yang lebih utama. Tidak diragukan lagi, banyak sekali amalan didalam agama ini yang menjadi aulawiyat (prioritas). Setiap masa dan tempat memiliki amal-amal aulawiyat (prioritas), diantara amal-amal tersebut adalah shalat berjamaah. Shalat berjamaah adalah amal prioritas didalam syareat, bahkan sebagian ulama berpendapat wajib bagi setiap muslim yang baligh lagi berakal untuk menghadiri shalat berjamaah, akan tetapi pendapat yang lebih rajih dari kalangan jumhur ulama, hukum slahat berjamaah adalah sunnah muakkadah. Wa Allahu ‘alam bishowab..
Banyak kaum muslimin yang begitu bergembira merayakan perayaan maulid nabi dengan makan bersama, adakalanya diadakan di mushala, masjid, kantor, bahkan di rumah dengan mengundang tetangga dan kerabat lain. Bukanlah, makan bersama yang menjadi persoalan bagi kami (penulis), karena makan bersama adalah hal mubah yang bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja. Hanya saja, di saat kita bergembira dengan mengenang kembali momentum hari kelahiran Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, ternyata sunnah yang menjadi pilar utama dalam syareat yaitu shalat berjamaah ikut terabaikan seiring dengan hilangnya makanan di meja makan. Subhanallah..!
Sungguh..! hal ini sangat bertentangan dengan apa yang diharapkan oleh Allah dan RasulNya. Penulis membayangkan, sekiranya salah satu sahabat rasul melihat apa yang terjadi pada kita hari ini, mereka pasti akan sangat mengingkari apa yang telah terjadi pada kita hari ini. Mencintai dan bergembira dengan hari lahirnya Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bukan hanya dengan makan bersama sebagai symbol ukhuwah, melainkan dengan mengamalkan sunnah-sunnahnya yang utama. Akan tetapi, mungkin ini hanya kasus dan tidak banyak terjadi ditempat lainnya. Oleh karenanya, hendaknya ada diantara kaum muslimin yang selalu mengingatkan muslim lainnya, terutama agar shalat berjamaah tidak terabaikan. Bila acara makan bersama diyakini sebagai simbol ukhuwah (persatuan kaum muslimin), maka shalat berjamaah adalah ikatan yang paling kuat untuk mengikat ukhuwah islamiyah diantara kaum muslimin.
Allah Ta’ala sangat menyukai manakala melihat hamba-hambaNya berdiri dalam barisan shaf shalat yang rapi dan lurus, seolah seperti bangunan kokoh yang tak akan tergoyahkan. Sesungguhnya, para sahabat dahulu kuat dan bersatu dalam shalat-shalat berjamaah yang mereka tegakkan, bukan pada makanan yang mereka makan bersama-sama. Bahkan, mereka akan menuduh fasiq bagi siapa saja yang tanpa udzur meninggalkan shalat berjamaah, sebagaimana diceritakan oleh Abdullah bin Umar radhayallahu ‘anhuma
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللَّهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلَاءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ فَإِنَّ اللَّهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّي هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِي بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ وَمَا مِنْ رَجُلٍ يَتَطَهَّرُ فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ يَعْمِدُ إِلَى مَسْجِدٍ مِنْ هَذِهِ الْمَسَاجِدِ إِلَّا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ يَخْطُوهَا حَسَنَةً وَيَرْفَعُهُ بِهَا دَرَجَةً وَيَحُطُّ عَنْهُ بِهَا سَيِّئَةً وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلَّا مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ
Dari Abdullah, katanya; “Siapa berkehendak menjumpai Allah besok sebagai seorang muslim, hendaklah ia jaga semua shalat yang ada, dimanapun ia mendengar panggilan shalat itu, sesungguhnya Allah telah mensyare’atkan kepada nabi kalian sunnah-sunnah petunjuk, dan sesungguhnya semua shalat, diantara sunnah-sunnah petunjuk itu, kalau kalian shalat di rumah kalian sebagaimana seseorang yang tidak hadir di masjid, atau rumahnya, berarti telah kalian tinggalkan sunnah nabi kalian, sekiranya kalian tinggalkan sunnah nabi kalian, sungguh kalian akan sesat, tidaklah seseorang bersuci dengan baik, kemudian ia menuju salah satu masjid yang ada, melainkan Allah menulis kebaikan baginya dari setiap langkah kakinya, dan dengannya Allah mngngkat derajatnya, dan menghapus kesalahan karenanya, menurut pendapat kami, tidaklah seseorang ketinggalan dari shalat berjamaah, melainkan dia seorang munafik yang jelas kemunafikannya (munafik tulen), sungguh dahulu seseorang dari kami harus dipapah diantara dua orang hingga diberdirikan si shaff (barisan) shalat yang ada.” (HR. Muslim no. 1046)
Oleh Ustad Abu Muhammad