Oleh: Ust. Burhan Sodiq
Bersatunya dua insan dalam sebuah hubungan pernikahan, salah satunya adalah menginginkan kehangatan. Hangat saling menyapa dalam komunikasi yang baik.
Semua sisi kesempatan bisa dilakukan untuk berbagi pikiran dan juga berbagi perasaan. Ada keluhan disampaikan. Ada kebahagiaan dirasakan. Dan ada kesedihan dibicarakan bersama sama.
Itulah kenapa pernikahan dalam islam diarahkan untuk menjadi sebuah keluarga yang sakinah. Artinya ada ketenangan dalam masing masing orang yang terlibat di dalamnya. Manakala di luaran mereka bertengkar dengan pihak lain, maka rumah dan segala penghuninya mampu untuk membuatnya tenang.
Manakala panas menyengat luar biasa, maka pulang ke rumah adalah pulang ke tempat yang tempat untuk berbagi kebersamaan. Jangan sampai di luar sudah panas luar biasa, tapi pulang ke rumah justru mendapatkan hal yang sama. Rumah tidak buat betah, tapi malah bikin banyak masalah.
Kehangatan seperti ini yang nampaknya sudah mulai hilang. Tak ada lagi tegur sapa di rumah kita. Semuanya sibuk sendiri dengan hape atau gadget di tangan. Atas nama bekerja online, semua waktu tersita untuk mencari sesuap nasi dan sepaket pulsa.
Baca juga: Berburu Peluang Kebaikan
Apa yang Direnggut dari Kita?
Perhatian tentu saja menjadi tersita banyak. Ada hal hal kecil yang seharusnya terselesaikan dengan baik, mendadak tidak pernah tersentuh sama sekali. Pujian kecil misalnya. Umumnya suami istri bisa saling memuji. Penampilan penampilan yang tidak bisa seharusnya mengundang pujian receh yang menyemai cinta.
“Waduh, cakepnya suamiku.” Sebuah kalimat pujian yang receh yang bisa membuka sebuah obrolan antar suami istri. Tapi itu semua tidak dilakukan karena kita sibuk dengan gawai kita masing masing. Bangun tidur langsung cek lapan jualan online. Ada yang komen tidak. Ada yang tanya harga tidak. Ada yang closing tidak.
Suami juga tidak merasakan perubahan itu. Obrolan dengan istri menjadi garing dan tidak menarik. Karena mereka menemukan grup grup politik yang lebih seru daripada istrinya di rumah.
Stop, Cobalah Dipikirkan Lagi
Kondisi ini jelas tidak ideal. Gawai gawai mahal kita tidak mampu menambah suasana bahagia. Mungkin saja dia memudahkan pekerjaan kita tapi tidak memudahkan perasaan kita. Masing masing pasangan menjadi tidak peka dengan satu dan yang lainnya.
Hubungannya menjadi semakin praktis. Tidak ada emosi yang terbaca. Yang ada hanyalaha material satu sama lainnya saja. Semua pegang gawainya dan larut dalam dunia mayanya.
Sudah saatnya pasangan menyadari kedaruratan ini. Misalnya dengan mulai menjadikan fenomena ini sebagai obrolan di antara mereka. Menganggap fenomena ini sebagi bagian dari masalah yang harus diselesaikan. Tidak justru membiarkannya larut hingga merusak sisi keharmonisan keluarga.
Baca juga: Ayah, Kapan Tidak Sibuk?
Patahkan Kebosanan itu
Kalau tidak segera mematahkan kebosanan ini, maka ujungnya bisa terjadi sebuah rasa dingin dalam rumah tangga. Kita menjadi seperti sepasang hamster yang meniti roda yang berputar di kandangnya. Waktu kita habis untuk menjalani rutinitas yang begitu begitu melulu.
Kerja bayar tagihan. Tagihan lunas, buka hutang baru. Begitu dan begitu terus tiada akhirnya. Lalu kita memandang dunia dengan sebuah aktivitas ritmis yang benar benar tidak ada lika likunya.
Sudah saatnya kembali menghadirkan kehangatan di rumah rumah kaum muslimin. Suami suami yang sangat paham terhadap kebutuhan istrinya. Tidak hanya rajin ibadah, tapi juga rajin membuat istrinya bergairah. Tidak hanya pandai mencari uang, tapi juga pandang membuat istrinya merasa disayang.
Saatnya kembali menjadikan para istri bidadari bidadari dunia. Yang akan menghangatkan rumah rumah suaminya. Tahu kapan saatnya memegang gawai dan tahu kapan saatnya menemani bercanda suaminya. Tahu kapan merawat anak dan tahu kapan merawat anaknya mertua.
Sehingga kehangatan itu tidak tercabut. Keharmonisan akan terus ada dalam balutan cinta luar biasa.