Fleksibilitas Fikih Islam

Islam  memosisikan dirinya sebagai rahmatan lil ‘alamin, rahmat untuk semesta. Salah satu wujud dari hal itu adalah kemampuan Islam untuk menjawab persoalan-persoalan yang berkembang dalam setiap zaman. Ini karena Islam memiliki sifat munurah, yaitu fleksibilitas yang tinggi namun terbatas. Disebut memiliki fleksibilitas yang tinggi karena dalam banyak persoalan terkhusus mua’malah Islam lebih banyak memberi kaidah-kaidah umum yang memungkinkan untuk diaplikasikan dalam skala yang luas. Namun fleksibilitas itu juga terbatas, dalam arti bahwa terdapat persoalan dalam Islam yang tidak dapat disentuh oleh fleksibilitas ini, terkhusus dalam persoalan pokok-pokok keimanan dan ibadah-ibadah fundamental yang diwujudkan dalam rukun iman dan rukun Islam.

 

Progress Fikih Islam

Realitas menunjukan bahwa pada setiap zaman, senantiasa terjadi persoalan dan peristiwa baru dalam kehidupan manusia yang berbeda dengan persoalan dan peristiwa pada zaman sebelumnya. Persoalan baru tersebut bisa berupa persoalan yang sama dengan persoalan pada masa sebelumnya, namun realitas yang ada menuntut hukum yang berbeda terhadap persoalan itu. Fuqaha Hanafiyah generasi awal misalnya, mereka menetapkan mengenai keabsahan hibah, wakaf, dan sedekah seseorang yang memiliki hutang, meskipun hutangnya setara atau sama dengan harta yang dimilikinya. Namun setelah perubahan akhlak manusia pada umumnya yang enggan untuk melunasi hutang mereka, maka fuqaha mutaakhirin Hanafiyah menetapkan ketidakabsahan hibah, wakaf dan sedekah orang yang berhutang kecuali besar hibah, wakaf dan sedekah tersebut merupakan kelebihan dari jumlah harta yang seharusnya digunakan untuk melunasi hutangnya.

Contoh lainnya, dalam persoalan persaksian, Abu Hanifah berpendapat bahwa kredibelitas seorang saksi cukup dinilai berdasarkan zhahir adalah, tidak perlu ada rekomendasi (tazkiyyah) dari seseorang yang dikenal kredibelitasnya bahwa saksi tersebut seorang yang adil, jika memang lawannya di persidangan tidak mempermasalahkannya, sementara Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan keduanya murid Abu Hanifah pada zhahir adalah saja tidak cukup untuk menunjukan seorang saksi itu adil, perlu adanya tazkiyyah dari seorang yang dikenal kredibel juga.

Dalam bab ibadah misalnya adalah perluasan lokasi sa’i dan perluasan Mina. Lokasi sa’i memang sudah dibahas oleh fuqaha, yaitu antara bukit shafa  dan marwah, namun apakah dengan adanya perluasan lokasi tersebut tidak memiliki pengaruh terhadap ibadah sa’i. Pun  demikian dengan perluasan dan dibangunnya hotel-hotel di Mina yang menimbulkan persoalan baru mengenai orang yang mabit (bermalam) diluar daerah Mina yang dikenal dan juga persoalan boleh tidaknya mabit di hotel-hotel yang berada di Mina. Terakhir, dalam siyasah Syar’iyyah, adalah persoalan keabsahan tidaknya deklarasi berdirinya khilafah oleh daulah khilafah Islamiyah.

Persoalan tersebut juga bisa berupa persoalan yang memang belum pernah terjadi sebelumnya, bahkan tidak terfikirkan akan terjadi pada masa mendatang oleh fuqaha terdahulu. Ini seperti hukum bayi tabung, hukum transplantasi organ tubuh, hukum donor ASI (air susu ibu), dan sebagainya.

 

Sebab adanya perubahan dalam hukum yang diperhatikan oleh mujtahid

Jika diperhatikan khazanah fikih Islam  sejak era kondifikasi hingga masa sekarang ini maka akan ditemukan beberapa perubahan ijtihad para mujtahid. Selain disebabkan oleh perbedaan hadits, antara yang shahih dan dhaif, di antara sebab yang paling dominan adalah mengenai perubahan ‘illah (alasan suatu hukum) dan urf (tradisi adat istiadat) yang berkembang di masyarakat. Oleh itu, ada kaidah yang cukup terkenal yaitu, “(Ditetapkannya) suatu hukum bergantung pada ada tidaknya suatu illah dan kaidah.

Tidak dipungkiri adanya perubahan hukum dengan berubahnya zaman. Tentu saja tidak seluruh hukum bisa berubah tersebut adalah hukum yang bisa diketahui illahnya yang dibentuk berdasarkan ‘urf, bukan berdasarkan nash yang ada.

Pada masa kekhilafahnyanya, Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berijtihad dan itu disetujui oleh para sahabat bahwa tentara regular Islam  yang sudah mendapatkan gaji tetap dari Baitul Mal tidak mendapatkan bagian lagi dari ghanimah (harta rampasan perang). Padahal sebelumnya, pada masa Rasulullah SAW dan Abu bakar radhiyallahu ‘anhu, jika pasukan yang  terlibat dalam perang dianugrahi kemenangan dan mendapat ghanimah maka mereka akan mendapatan bagian dari ghanimah tersebut; 1/5 untuk pasukan invantari (pejalan kaki) dan 3/5 untuk pasukan kavelari (berkendaraan, pasukan berkuda). Umar bin Khaththab beralasan bahwa pembagian ghanaimah tersebut kepada tentara pada masa Rasulullah SAW  dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu karena mereka tidak mendapatkan gati dari Baitul Mal.

Fuqaha terdahulu berpendapat bahwa seorang istri wajib mengikuti suaminya ke manapun dia tinggal jika suami tadi  sudah melunasi semua maharnya. Namun setelah tradisi dari zaman berubah yang pada umumnya cenderung bersifat durhaka dan tidak amanah terhadap kewajibannya atas keluarganya, maka fuqaha berpendapat bahwa istri tidak boleh dipaksa untuk mengikuti suami, kecuali di daerah mereka menikah.

 

Tugas Mujtahid dan Fuqaha Dewasa Ini

Demi membuktikan murunah (fleksibilitas) fikih Islam, dewasa ini, para mujtahid dan fuqaha dihadapankan pada dua tantangan. Tantangan pertama berupa pengusaha terhadap warisan fikih terdahulu. Sementara tantangan selanjutnya adalah mengaplikasikan warisan tersebut selaras dengan kaidah-kaidah fikih (Qawaid Ushuliyyah dan Qawaid Fiqhiyyah) dan perubahan zaman yang terjadi.

majalah hujjah

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *