Fiqhul Khilaf
Oleh: Ust. Ahmad Taqiyuddin, Lc
Ketika seseorang memperhatikan satu metodologi saja dalam islam, maka cenderungnya ia akan bersikap ekstrim. Tetapi, ahlussunnah memiliki metodologi yang komprehensif, salah satunya adalah manhaj dalam akhlak. Diantara akhlak yang harus dipahami adalah bagaimana seseorang berakhlak dengan orang lain, menghadapi perbedaan dan menghadapi orang yang berbeda dengan kita.
Para salafusshalih sangat memperhatikan akhlak ini. Sehingga imam Malik pernah berkata,
قلت لأمي: ” أذهب، فأكتب العلم؟ “، فقالت: ” تعال، فالبس ثياب العلم “، فألبستني مسمرة، ووضعت الطويلة على رأسي، وعممتني فوقها، ثم قالت: ” اذهب، فاكتب الآن “، وكانت تقول: ” اذهب إلى ربيعة، فتعلًّمْ من أدبه قبل علمه
“Aku berkata kepada ibuku, ‘Aku akan pergi untuk belajar.’ Ibuku berkata,‘Kemarilah!, Pakailah pakaian ilmu!’ Lalu ibuku memakaikan aku mismarah (suatu jenis pakaian) dan meletakkan peci di kepalaku, kemudian memakaikan sorban di atas peci itu. Setelah itu dia berpesan, ‘Sekarang, pergilah untuk belajar!’ Dia juga pernah mengatakan, ‘Pergilah kepada Rabi’ah (guru Imam Malik, pen)! Pelajarilah adabnya sebelum engkau pelajari ilmunya!’.” (‘Audatul Hijaab 2/207, Muhammad Ahmad Al-Muqaddam, Dar Ibul Jauzi, Kairo, cet. Ke-1, 1426 H, Asy-Syamilah)
Berkata Adz-Dzahabi rahimahullahu,
كان يجتمع في مجلس أحمد زهاء خمسة آلاف – أو يزيدون نحو خمس مائة – يكتبون، والباقون يتعلمون منه حسن الأدب والسمت
“Yang menghadiri majelis Imam Ahmad ada sekitar 5000 orang atau lebih. 500 orang menulis (pelajaran) sedangkan sisanya hanya mengambil contoh keluhuran adab dan kepribadiannya.” (Siyaru A’lamin Nubala’ 21/373, Mu’assasah Risalah, Asy-syamilah)
Dan masih banyak perkataan para salaf tentang perhatian mereka terhadap adab. Karena adab dan akhlak merupakan buah dari ilmu. Maka bisa dikatakan, orang berilmu tanpa akhlak maka seakan-akan ilmu yang dipelajari tidak memberikan manfaat baginya.
Fiqhul khilaf (Fiqih perbedaan)
Kenapa kita harus belajar fiqhul khilaf?
- Keprihatinan kita terhadap perpecahan kaum muslimin disebabkan adanya perbedaan
- Lemahnya pemahaman sebagian para penuntut ilmu syar’I akan fiqih khilaf
- Fiqhul khilaf kurang mendapatkan porsi yang cukup untuk dikaji
Sejarah Munculnya Perbedaan
Perbedaan sudah ada sejak zaman nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Namun dengan adanya wujudnya Nabi disekeliling para sahabat menjadi rahmat. Diantara rahmat tersebut adalah memutuskan perbedaan yang terjadi diantara sahabat.
Dalam Fiqih Sunnah-nya pada bab Hal-hal yang Membatalkan Tayamum, Sayyid Sabiq menceritakan hadits dari Abu Sa’id al-Khudri. Diriwayatkan, suatu ketika dua laki-laki melakukan perjalanan. Ketika waktu shalat tiba, keduanya tak mendapatkan air. Maka, mereka pun bertayamum. Tak lama kemudian, keduanya mendapatkan air—setelah shalat. Lalu, salah seorang di antara keduanya mengulang shalat dengan berwudhu. Sementara temannya tidak mengulangi lagi shalatnya.
Ketika bertemu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, keduanya memaparkan perbedaan pendapat itu. Kepada yang tidak mengulang shalatnya, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Engkau telah menepati sunnah dan shalatmu sah.“ Adapun kepada laki-laki yang berwudhu dan mengulang shalatnya, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Anda mendapatkan dua pahala.“ (HR. Abu Dawud dan Nasa’i)
Rasulullah membenarkan dua pendapat yang berbeda. Nah, kalau perbedaan pendapat itu bisa terjadi ketika Nabi masih hidup, apalagi setelah beliau wafat. Peluang itu pasti akan terbuka lebar. Sikap umat Islam dalam menghadapi perbedaan pendapat ini mesti arif dan bijak selagi masih dalam koridor yang dibenarkan.
Di masa para sahabat, tentunya perbedaan semakin banyak. Hal ini dikarenakan faktor kemampuan para sahabat di dalam menghafal hadits, menyimpulkan hukum drari alqurna dan alhadits, ditambah dengan berpencarnya mereka di berbagai wilayah. Dan tentunya ketika ditanya oleh murid-murid mereka, maka mereka-pun menjawab sesuai dengan ilmu yang dikuasai.
Pada masa tabi’in dan tabi’ut tabi’in, perbedaan akan semakin banyak dan luas. Kenapa seperti itu? Karena hadits-hadits nabi baru dibukukan pada zaman itu. Dan juga disebabkan adanya satu dalil khususnya hadits yang sampai kepada satu imam, namun tidak sampai kepada yang lainnya. Sehingga terjadi perbedaan dalam menyimpulkan hukum.
Tiga Permasalahan Yang Harus Dipahami
Pertama, perbedaan pendapat adalah sunnah kauniyah. Apa itu sunnah kauniyah? Sesuatu yang sudah ditetapkan oleh Allah dan pasti terjadi, seperti adanya maksiat dan kebatilan. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلاَ يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ هود: (118
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat”. (Hud: 118)
Ataupun adanya perseteruan antara kebenaran dan kebatilan.
Kedua, memahami sunnah syar’iyyah. Maksudnya, sesuatu yang diperintahkan Allah adalah persatuan bukan perbedaan. Jika misalnya Allah menetapkan adanya maksiat, bukan berarti Allah memerintahan maksiat.
Ketiga, perbedaan di kalangan sahabat dan para ulama’ ternyata bukan karena faktor kesengajaan. Mereka berusaha menggali dan menyimpulkan hukum dari alquran dan alhadits, namun ternyata hasilnya berbeda dengan ijtihad orang lain. Walhasil, hukum asal perbedaan adalah tercela karena sering mengarah kepada perpecahan bagi orang yang tidak mempunyai pemahaman fiqh perbedaan.
BERSAMBUNG…