Fardhu-Fardhu Wudhu (bag. 1) – Serial Syarh Matan Safinatu An Najah

Fardhu-Fardhu Wudhu (bag. 1)
Serial Syarh Matan Safinatu An Najah
Oleh: Ust. Risdhi ar-Rasyid

(فصل) فُرُوضُ الْوُضُوءِ سِتَّةٌ: الأوَّلُ: اَلنِّيَّةُ، الثاني: غَسْلُ الْوَجْهِ، الثَّالِثُ: غَسْلُ الْيَدَيْنِ مَعَ الْمِرْفَقَيْنِ، الرَّابِعُ: مَسْحُ شَيْءٍ مِنَ الرَّأْسِ، اَلْخَامِسُ: غَسْلُ الرِجْلَيْنِ مَعَ الْكَعْبَيْنِ، السَّادِسُ: اَلتَّرْتِيبُ .

Pasal: Fardhu-fardhunya wudhu ada enam; pertama, niat. Kedua, membasuh wajah. Ketiga, membasuh kedua tangan bersama kedua siku-siku. Keempat, mengusap sesuatu dari kepala. Kelima, membasuh kedua kaki beserta kedua mata kaki. Keenam, tartib.”

Thaharah atau suci merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi sebelum mengerjakan shalat. Sedangkan wudhu ialah satu diantara wasilah untuk menyucikan diri. Dalam pengertian syar’i wudhu didefinisikan:

اسم لفعل الذي هو استعمال الماء في أعضاء معينة مع النية

Artinya, “Sebuah nama untuk menunjukan perkerjaan yang berupa menggunakan air pada anggota-anggota badan tertentu disertai dengan niat.” (Al-Fiqh Al-Manhaji ala Madzhabis Syafi’i)

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,” (QS. al-Maidah: 6)

Dalam kitab Safinatunnaja, Syaikh Sumair al-Hadhrami menjelaskan bahwa fardhu wudhu ada enam, sedangkan dimaksud fardhu disini adalah rukun-rukun yang menjadi inti dari wudhu, hal mana Ketika perkara tersebut tidak dikerjakan maka wudhu tidak dianggap atau tidak sah. Adapun fardhu-fardhu tersebut diantaranya sebagai berikut:

Niat

Niat adalah pokok dari sebuah ibadah, tanpa ada niat dalam ibadah hanya akan menghasilkan kesia-siaan di ujungya. Perihal niat, selain sebagai penentu sah dan tidaknya sebuah amal, ia sekaligus sebagai ukuran untuk ganjaran atau pahala yang akan didapatkan. (Musthafa Dieb al-Bugha & Muhyiddin Mistu, al-Wafi fi Syarhi al-Arbain al-Nawawi:13)

Rasulullah bersabda:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلى اللهِ وَرَسُوله فَهِجْرَتُهُ إلى اللهِ وَرَسُوله، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَو امْرأَة يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلى مَا هَاجَرَ إِلَيْه

“Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang mendapat apa yang ia niatkan. Barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin ia dapatkan atau karena wanita yang ingin ia nikahi maka hijrahnya pada apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari Muslim)

Dalam madzhab Syafi’i, niat dalam ibadah didudukan sebagai  rukun atau fardhu, sedang madzhab lain berpendapat bahwa niat adalah syarat ibadah. Beda antara rukun dan syarat, jika syarat adalah sesuatu rangkaian yang ditunaikan dan dipenuhi diluar ibadah tertentu. Sedangkan rukun, adalah sesuatu yang bergandeng dan ditunaikan dalam ibadah itu sendiri.

Maka dari itu, madzhab Syafi’i memberikan ketentuan terkait wudhu, yaitu niatnya harus dilaksanakan seiring dan berbarengan saat membasuh anggota tubuh pertama dalam wudhu, yaitu wajah. Bahkan ketentuan ini hukumnya wajib, dan diharuskan mengulang wudhu apabila seseorang meniatkannya sebelum atau setelah membasuh muka.

Adapun talafudz bi an-niah (melafadzkan niat) hukumnya sunnah, karena pada dasarnya tempat niat adalah hati. Melafadzkan niat hanya ditolerir dan dianjurkan sebagai penguat dan mencegah waswas atau keraguan.

Di antara tatacara berniat, menurut al-Hisni yaitu apabila seseorang yang berwudhu itu dalam keadaan sehat dan tidak sedang sakit, maka hendaknya meniatkan tiga hal ini ketika berwudhu:

Pertama, Berniat menghilangkan hadats, bersuci dari hadats, atau bersuci untuk melakukan shalat.

Kedua: Berniat untuk diperbolehkannya melakukan shalat atau ibadah lain yang tidak bisa dilakukan kecuali dalam keadaan suci.

Ketiga: Berniat melakukan fardhu wudhu, melakukan wudhu atau wudhu saja, meskipun yang berwudhu seorang anak kecil atau orang yang memperbarui wudhunya.

Sedangkan orang yang dalam keadaan darurat seperti shahibu as-salis (memiliki penyakit ayang-ayangen atau beser) baginya tidak cukup berwudhu dengan niat menghilangkan hadats atau bersuci dari hadats. Baginya wudhu yang ia lakukan berfungsi untuk membolehkan dilakukannya shalat, bukan berfungsi untuk menghilangkan hadats. (Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani, Kasyifatu as-saja: 26)

Membasuh Muka

Adapunbatasan muka, panjangnya adalah antara tempat tumbuhnya rambut sampai dengan di bawah ujung kedua rahangnya. Sedangkan lebarnya adalah antara kedua telinganya. Termasuk muka adalah berbagai rambut yang tumbuh di dalamnya seperti alis, bulu mata, kumis, jenggot, dan godek.

Rambut-rambut tersebut wajib dibasuh bagian luar dan dalamnya beserta kulit yang berada di bawahnya meskipun rambut tersebut tebal, karena termasuk bagian dari wajah. tetapi tidak wajib membasuh bagian dalam rambut yang tebal bila rambut tersebut keluar dari wilayah muka. (Nailu ar-Raja Syarhu Safinatu an-Naja: 25. Kasyifatu as-saja: 27)

Membasuh Tangan Sampai ke Siku-Siku

Wajib membasuh tangan sampai siku walaupun sikunya tidak berada pada posisi biasanya atau kondisi normal, misalnya sikunya mendekati pundak. Wajib pula membasuh bulu-bulu dan apapun yang ada ditangan, termasuk menghilangakan hal-hal yang menghalangi sampainya air ke kulit tangan, seperti cat atau tanah, jika memungkinkan.

Apabila tangannya cacat, dan tersisisa sebagian, maka wajib membasuh yang Sebagian tersebut. Pun jika anggota tubuh yang wajib tidak ada, maka sunah membasuh yang ada, misalnya ujung tangan yang berbatasan dengan Pundak. Bersambung

.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *