Sebuah berita kecil menghiasi Radar Solo, berita mengenai seorang siswi kelas III SMP swasta di pinggiran selatan Solo Raya yang membuka kancing baju seragam batiknya dan memperlihatkan vulgar (maaf) dadanya. Photo yang sebuah lagi bahkan memperlihatkan kemaluannya tanpa penutup sama sekali. Luar biasanya lagi, di photo itu tampak jelas wajah siswi belia tadi masih dalam seragam batik khas SMP-nya. Gambar itu beredar luas antar telpon seluler di kecamatan Beturetno, kab Wonogiri, daerah hulu aliran sungai Bengawan Solo. Sejatinya, wilayah itu termasuk pinggiran yang di masa lalu jauh dari keramaian kota. Teknologi informasilah yang telah menjadikan satu tempat dengan tempat lain menjadi flat, terasa tak ada bedanya lagi.
Kasus di atas merupakan hilir dari erosi moral akibat dari sejumlah faktor yang saling mempengaruhi dan menguatkan. Dan sangat mungkin kasus tersebut merupakan puncak gunung es, dalam arti kejadian yang tidak ketahuan dan tidak terpublikasikan berlipat ganda jumlahnya, meski sebenarnya kita berharap tidak.
Jika itu hilir, mari kita berpikir sejenak untuk menemukan hulunya. Barangkali dengan cara itu kita kaan menemukan solusi yang leibh mendsaar dan permanen. Sebab sibuk menangani akibat di sektor hilir tanpa memperbiaki penyebab di tingkat hulu, bak menjernihkan air sungai yagn dipakai berkubang badak di atasnya.
Resultan Berbagai Faktor
Di balik kejadian aktual hilangkan rasa malu pada gadis kencur dalam kasus di atas, berbagai faktor ikut andil pengaruh. Tipisnya pengaruh pengajaran agama di sekolah, pergaulan di sekolah umum yang semakin bebas dan permissif, pengawasan orang tua dan guru yang tidak mampu mengimbangi kemudahan dan kebebasan anak mengakses informasi tanpa filter, dukungan teknologi informasi yang semakin canggih dan penetrisinya menembus dinding-dinding paling privasi manusia di satu sisi. Di sisi lain keinginan anak untuk melakukan imitasi terhadap apa yang dilihatnya dan dipersepsi sebagai sesuatu yang baru, menarik dan heboh. Belum mampunyai anak didik membedakan dari apa yang dilihatnya mana yang merupakan kenyataan dan mana yang fantasi.
Dibalik semua yang telah disebut, hulu dari semuanya adalah betapa kuat dan mulai mengakarnya pengaruh paham sekularisme di tengah masyarakat yang diklaim sebagai masyarakat timur yang religius’ ini. Keterpisahan kehidupan dari kontrol agama yang merupakan inti ajaran sekularisme tak lagi sekedar slogan. Bahkan mungkin tidak terlalu heboh di lavel slogan, namun penetrasi pengaruhnya telah merasuk ke level operasional yang langsung mempengaruhi jutaan anak didik di negeri timur yang religuis’ ini. Kurikulum yang menjadi rujukan arah pendidikan, yang di-implementasikan dalam proses kegiatan belajar dan mengajar hanya memberi porsi anak didik di sekolah umum untuk mendapatkan asupan pelajaran agama 2 dua jam pelajaran yang bahkan pernah diusulkan oleh gusdur pada dekade 90-an untuk ditiadakan sama sekali.
Dua jam dalam satu pekan itu saja, yang kadang lebih menyakitkan, diletakkan di akhir jam pelajaran ketika energi pada siswa telah tinggal sisa-sisa untuk menyerap pelajaran. Atau jika tidak, diletakkan sehabis pelajaran olahraga menjelang istirahat, sehingga perhatian anak didik tertuju kepada dua hal, mengatasi rasa gerah setelah olah raga dan besiap untuk mengisi perut di kantin setelah terkuras tenaga. Ilustrasi yang mungkin dianggap belebihan tetapi kenyataan ini boleh di-cek kepada guru agama yang masih memiliki komitment moral, yang mendidik tak sekedar menggugurkan kewajiban, memenuhi tanggung jawab dan penggilan hati, bukan panggilan gaji.
Musibah Dari Sisi Lain
Keprihatinan ini akan semakin dalam ketika mendapati kenyataan lain, dimana para guru yang mengajar pendidikan agama yang hanya 2 jam pelajaran itu, adalah lembaga pendidikan tinggi yang notabene telah mengalami erosi keyakinan terlebih dulu. Kurikulum yang memproses mereka hingga lulus dan mendapatkan lisensi mengajarkan agama telah terkontaminasi dengan paham Islam Liberal yang tidak lain dan tidak bukan saudara sekandung paham sekulerisme. Persoalan ini bukan lagi sekedar issue atau isapan jempol, telah menjadi pemahaman umum jika institusi pendidikan tinggi pemerintah yang melahirkan para guru agama di sekolah, saat ini berada di bawah pengaruh mereka yang telah terdidik dengan kurikulum barat yang nafas dan denyut nadinya adalah paham sekularisme-liberal. Bagi mereka, persoalannya hanya masalah jumlah; apakah masa ini generasi para pendidik pengajaran agama dengan sibghah yang baru itu telah mencapai jumlah generasi guru yang masih memiliki pemahaman yang benar dan memiliki komitmen moral dalam mendidik anak? Sudahkah generasi lama tergantikan secara mayoritas dengan generasi baru yang lebih sekuler, berpemahaman liberal, melek teknologi informasi dan pluralis?
Ya!… jika penggambaran hiperbola ini ternyata mendekati kenyataan, tak mengherankan jika anak didik di tingkat akhir pendidikan dasar telah berada di tubir bencana moral, hilangnya rasa malu. Anak-anak itu mengkin memang tidak menemukan keteladanan moral dari pada pendidik. Hal itu lebih dikarenakan tempat para guru menimba ilmu yang diajarkan kepada anak didik, ibarat sumur adalah sumur yang telah tercemar, telah terkontaminasi, sumur yang telah keruh dan beracun. Kalau itu yang dipunyai, ya hanya itu yang bisa diberikan, faaqid asy-syay’ laa yu’tiih,… orang yang tidak mempunyai sesuatu tak mungkin memberi sesuatu.
Oase yang terfitnah
Di tengah kekeringan moral dan dahaga ruhani yang mencekik seperti itu, kadang sebagian siswa menemukan oase ruhani di kegiatan ekstra – kurikuler kerohaniaan siswa yang dibimbing oleh para mentor dari kakak kelas alumni sekolah itu yang memiliki pemahaman, kesadaran serta spirit yang benar dalam beragama.
Sayangnya, para volunteer, sukarelawan yang menularkan pengertian yang benar tanpa pamrih itu, saat ini juga berada dalam situasi terfitnah. Setidaknya selalu diperhatikan dan diawasi karena kekhawatiran menyebarkan radikalisme agama kepada para siswa, tak jarang mereka dicurigai, diminta untuk melaporkan apa yang diajarkan kepada para adik kelasnya, tak mustahil pula mereka dituduh terkait dengan teroris.
Apalagi memang ada pihak-pihak yang secara sengaja dan terencana berkepentingan untuk mencegah masyarakat memahami Islam yang benar, semata-mata karena pemahaman Islam yang benar dikhawatirkan akan menyediakan kader pendukung kekerasan atas nama agama. Kasian umat ini, mengapa sering terjebak pada kondisi kontradiksi yang komplikatif serta menyulitkan? Ibarat bus, mungkin bus yang kita tumpangi ini rodanya tidak bundar tetapi ellips (oval, lonjong), jadi bagaimana mungkin kita bisa nyenyak menumpanginya??
sumber: majalah arrisalah edisi 138