Dua Pangkal Penyimpangan
Tiga orang dengan penuh semangat ibadah mencoba mengunjungi rumah-rumah para ibunda kaum mukminin (istri-istri Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam-) dalam rangka untuk mengetahui bagaimana cara ibadah Nabi Muhammad -shollallohu ‘alaihi wa sallam- di rumah. Tatkala diberitahukan tentang aktivitas ibadah Nabi di rumah, ketiga orang tersebut tercengang dan merasa betapa kecil dan sedikitnya ibadah mereka dibandingkan dengan ibadah beliau. Sementara Nabi adalah sosok pribadi yang telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.
Setelah mengetahui perihal kualitas dan kuantitas ibadah Nabi, mereka pun bertekad kuat untuk meningkatkan ibadah mereka hingga masing-masing menyatakan komitmen untuk melazimi suatu amalan tertentu. Seorang dari mereka menyatakan akan sholat malam terus-menerus dan tidak akan tidur. Orang kedua menyatakan tekad untuk berpuasa terus dan tidak berbuka. Sementara yang ketiga menyatakan tekad untuk menjauhi wanita dan tidak menikah.
Kabar ketiga orang tersebut akhirnya sampai kepada baginda Rosulullah Muhammad -shollallohu ‘alaihi wa sallam-. Dengan nada teguran, beliau pun bersabda: “… Apakah kalian yang mengatakan ini dan itu..?! ketahuilah, Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya dari kalian. Namun aku melakukan puasa dan aku pun berbuka. Aku mendirikan sholat dan aku pun juga tidur. Aku juga menikahi para wanita. Maka barang siapa yang membenci sunnahku maka dia bukan dari golonganku”. [HR. Bukhori, kitab: al Nikah, bab: At Targhib Fii al nikah]
Sepintas dari apa yang ditekadkan oleh tiga orang sahabat tersebut bukan suatu hal yang buruk. Bahkan sebagian orang akan menilai bahwa niatan dari tiga orang itu adalah mulia dan terpuji. Namun Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- justru menegur mereka. Hal itu disebabkan oleh sikap berlebih-lebihan yang mereka lakukan. Sikap berlebih-lebihan ini dikenal dalam istilah aqidah dengan ghuluw atau ifroth.
Dalam kesempatan tersebut, Nabi juga mengajarkan bagaimana ukuran dan takaran ibadah yang pas dan tidak membuat orang merasa berat apalagi merasa terbebani. Ukuran dan takaran ibadah itu bukan terletak pada semangatnya semata, bukan pula terpenuhinya unsur kepuasan. Namun ibadah haruslah didasarkan pada kesesuaian dengan apa yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad -shollallohu ‘alaihi wa sallam- serta dipadu dengan keikhlasan hanya mengharap ridlo Allah ta’ala.
Berawal dari ifroth/ghuluw inilah umat-umat terdahulu menjumpai kebinasaannya. Seperti yang dikabarkan oleh Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- saat beliau mengajarkan manasik haji. Pada kesempatan tersebut beliau menyuruh Abdullah bin Abbas untuk mengambilkan kerikil-kerikil kecil guna pelemparan jumroh di hari aqobah (tanggal 10 Dzulhijjah). Kemudian beliau bersabda: “…Dengan kerikil-kerikil kecil seperti inilah (hendaklah kalian melemparkan jumroh) dan jauhilah oleh kalian ghuluw (sikap berlebih-lebihan) dalam agama. Sesungguhnya perkara yang membinasakan kaum sebelum kalian adalah sikap ghuluw dalam agama”. (HR. An Nasai)
Sementara di sisi lain munculnya fenomena lemah motivasi dalam beribadah. Hingga mereka bermalas-malasan dan enggan menerima kebenaran. Kemudian yang terjadi berikutnya adalah pengurangan takaran ibadah atau bahkan menghilangkan sebagian darinya. Sering kali bersikap acuh dan tidak peduli dengan kesempurnaan ibadah. Ditandai pula dengan sering melewatkan kesempatan emas untuk mendapatkan rahmat dan karunia dari Allah ta’ala. Lebih parah lagi, ketika dalam benaknya terlintas bahwa ibadah kepada Allah bukanlah prioritas utama. Sikap seperti ini kemudian dikenal sebagai tafrith atau taqshir. Secara bahasa bermakna pengurangan. Adapun dalam istilah aqidah difahami sebagai sikap pengurangan dan kelalaian terhadap tuntunan syariat Islam.
Kondisi orang-orang seperti ini digambarkan dalam Al Qurân sebagai kaum yang penuh penyesalan. Allah berfirman:
﴿أَنْ تَقُولَ نَفْسٌ يَاحَسْرَتَا عَلَى مَا فَرَّطْتُ فِي جَنْبِ اللَّهِ وَإِنْ كُنْتُ لَمِنَ السَّاخِرِينَ (56)﴾
“Agar jangan ada orang yang mengatakan; “Alangkah besar penyesalanku atas kelalaianku (tafrith) dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allah)”. (QS. Az Zumar: 56)
Di zaman Nabi telah muncul pula gelagat orang yang bermalas-malasan dan bersikap abai (tafrith) terhadap tuntunan syariat. Salah satu contohnya adalah seperti apa yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka’ab –semoga Allah meridhoinya- ketika beliau sholat subuh bersama Nabi, kemudian beliau bertanya; “Apakah fulan hadir dalam sholat ini? Lalu para sahabat menjawab: “Tidak”. Kemudian beliau bersabda:
إِنَّ هَاتَيْنِ الصَّلاَتَيْنِ أَثْقَلُ الصَّلَوَاتِ عَلَى الْمُنَافِقِينَ وَلَوْ تَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لأَتَيْتُمُوهُمَا وَلَوْ حَبْوًا عَلَى الرُّكَبِ وَإِنَّ الصَّفَّ الأَوَّلَ عَلَى مِثْلِ صَفِّ الْمَلاَئِكَةِ وَلَوْ عَلِمْتُمْ مَا فَضِيلَتُهُ لاَبْتَدَرْتُمُوهُ وَإِنَّ صَلاَةَ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلاَتِهِ وَحْدَهُ وَصَلاَتُهُ مَعَ الرَّجُلَيْنِ أَزْكَى مِنْ صَلاَتِهِ مَعَ الرَّجُلِ وَمَا كَثُرَ فَهُوَ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى »
“Sesungguhnya dua sholat ini (isya dan subuh) adalah sholat terberat bagi orang-orang munafik. Jikalau mereka mengetahui (kebaikan) yang ada di kedua waktu tersebut pastilah mereka akan menhadirinya walaupun harus merangkak di atas lutut. Sesungguhnya barisan pertama (dalam sholat) seperti barisan para malaikat, kalau kalian mengetahui apa yang menjadi keutamaannya niscaya kalian akan bergegas mendatanginya. Sesungguhnya sholatnya seseorang bersama satu orang lain lebih suci dari sholat sendirian dan sholat seseorang dengan dua orang lain lebih suci dibanding dengan sholat bersama satu orang lain dan yang lebih banyak lebih dicintai Allah”. (HR. Abu Dawud)
Sikap bermalas-malasan dan abai terhadap tuntunan syariat merupakan celah besar yang bisa menggelincirkan seseorang dalam jurang kemunafikan dan kekufuran. Disadari atau tidak, sikap tafrith bisa mendorong terjadinya pengurangan takaran ibadah yang berujung pada terkikisnya iman. Seperti gagasan menjauhkan syariat Islam dari urusan rumah tangga hingga urusan politik tata negara menjadi salah satu representasi sikap tafrith di hari ini. Sementara seorang muslim dikatakan sebagai muslim karena penyerahan segala urusannya diatur dengan syariat Islam.
Ifroth dan tafrith menjadi dua pangkal penyimpangan yang selalu menjadi penyebab rusak dan binasanya suatu kaum. Berawal dari dua sikap inilah sebuah tuntunan syariat akan rusak yang kemudian disusul pula dengan rusaknya tatanan masyarakat. Tidak mengherankan jika dua perkara tersebut menjadi strategi jitu bagi iblis dan bala tentaranya dalam menyesatkan hamba-hamba yang beriman. Imam Abu Amru Abdur Rohman al Auza’i –rohimahulloh- (wafat tahun 157 H )pernah berkata:
مَا مِنْ أَمْرٍ أَمَرَ اللهُ بِهِ إِلَّا عَارَضَ الشَّيْطَانُ فِيْهِ بِخِصْلَتَيْنِ وَلَا يُبَالِي أَيُّهُمَا أَصَابَ: الغُلُوُّ أّوْ التَّقْصِيْرُ
“Tidak ada suatu perintah dari Allah yang diperintahkan melainkan Syaithon selalu menghalangi dengan dua perkara dan dia tidak peduli dari dua perkara itu mana yang berhasil dikerjakannya, kedua perkara itu adalah ghuluw (sikap berlebih-lebihan) dan taqshir (=tafrith;sikap abai dan lalai)”. [Kasyful Khofa’, juz 1 hal 391]
Munculnya banyak aliran pemahaman sesat dan perilaku menyimpang pada zaman akhir seperti sekarang ini sering kali bermula dari dua perkara tersebut. Tata cara ibadah dan pola pikir yang “nyleneh” bermunculan di sekitar kita hari ini. Mulai dari puasa “mutih” (hanya mengkonsumsi makanan dan minuman yang berwarna putih) hingga upaya mereduksi ajaran syariat Islam telah menggejala di tengah masyarakat.
Dalam rekam sejarah tercatat bahwa munculnya sekte khowarij, syiah, mu’tazilah, murjiah dan lainnya berawal dari sikap ifroth/ghuluw dan tafrith. Ujung dari dua sikap tersebut adalah dua titik ekstrim yang mana satu dengan lainnya saling berlawanan. Sebagaimana yang terjadi dalam fenomena kemunculan khowarij dan murjiah. Dalam satu pihak memiliki semangat kehati-hatian yang tinggi sehingga terjerumus dalam sikap ghuluw yang mudah mengkafirkan dan menyesatkan pelaku dosa. Sementara di pihak lain (murjiah) begitu longgarnya memahami masalah iman dan dosa hingga berfikir dosa sebesar dan seberat apa pun tidak mempengaruhi kualitas iman. Pemikiran seperti ini bisa berakibat pada hilangnya cabang-cabang keimanan yang menjadi penentu kesempurnaan iman.
Begitu bahayanya akibat yang ditimbulkan dari ifroth dan tahfrith ini, maka sejak awal Nabi telah mengingatkan agar mewaspadai dua sebab penyimpangan ini melalui sabdanya:
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنْ الدُّلْجَةِ –رواه البخاري-
“Sesungguhnya agama ini mudah, dan tidaklah seseorang membebani dirinya berlebihan dengan agama ini melainkan pasti akan dikalahkan, maka luruskanlah (amalan kalian), dekatkanlah (dengan kebenaran), gembirakanlah dan mintalah pertolongan melalui amalan di waktu pagi, sore dan sebagian dari malam”. (HR. Bukhori)
Semoga Allah ta’ala menjauhkan kita dari dua sikap buruk (ifroth dan tafrith) dan menganugerahkan istiqomah di atas jalan hidayah-Nya hingga akhir hayat nanti. Wallohu a’lam bis showab.