Dilema Akhir Zaman
Oleh: Ust. Taufiq Anwar
طُوبَى لِلْغُرَبَاءِ “، فَقِيلَ: مَنِ الْغُرَبَاءُ يَا رَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ: ” نَاسٌ صَالِحُونَ فِي نَاسِ سَوْءٍ كَثِيرٍ، مَنْ يَعْصِيهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيعُهُمْ
“Beruntunglah orang-orang yang asing.” Ada yang bertanya, “Siapakah orang-orang yang asing itu, Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Segelintir orang yang berada di antara orang-orang jahat, yang memusuhi mereka lebih banyak daripada yang mengikuti mereka.”
Dulu, Rasulullah membawa Islam seorang diri, ditentang dan dimusuhi hingga akhirnya perjuangan belau yang dilanjutkan para sahabat berhasil mengibarkan panji Islam di muka bumi. Jagad raya pun merasakan kedamaian di bawah naungan Islam. Umat merdeka melaksanakan agamanya dengan total. Namun, kejayaan itu memang tak dijamin bakal langgeng. Sebaliknya, Rasulullah sebagai pelopor perjuangan mensinyalir, pada akhirnya kelak kejayaan ini akan runtuh hingga sampai pada titik dimana Islam kembali seperti semula; asing adan ditentang.
Dan kini, kita yang menghuni zaman ini merasakan. Menegakkan Islam dalam wujud aslinya dan dalam rupa yang seutuhnya adalah hal tersulit dari semua hal sulit di muka bumi. Bayang-bayang kezhaliman dan hawa negatif dari kemungkaran begitu pekat hingga sulit menyalakan pelita hidayah. Hegemoni kemungkaran seringkali tidak memberi pilihan dilematis, memilih mengikuti ‘pasukan kegelapan’ atau menjadi pecundang.
Berapa banyak individu umat yang karena ingin melaksanakan tuntutan tauhid agar menjauhi syirik, mendapat tentangan dan permusuhan. Saking kuatnya penentangan, tak jarang sampai terpojok hingga tak mampu berbuat apa-apa selain menentang dengan hati.
Berapa banyak yang karena ingin bersih dari bid’ah dalam ibadah, dicibir, dimusuhi sampai dikucilkan. Bagi muslim yang tinggal di desa atau daerah yang kental adat-istiadatnya, menghindari bid’ah akan menjadi ujian yang benar-benar menyedot energi kesabaran dan ketabahan. Gunjingan, pengucilan dan bahkan pengusiran seta pemutusan persaudaraan adalah umpan balik yang bakal didapatkan dalam usaha permurian Islam. Kuatnya resistensi pembela bid’ah terhadap ajaran Islam yang lurus, sering membuat seorang muslim yang hanif hanya mampu diam dan bersabar mendapat berbagai ‘hadiah’ menyakitkan yang mereka berikan.
Dan betapa sering kita menghadapi kondisi ketika kita tak mampu berbuat apa-apa saat melihat kemungkaran yang merajalela. Arus kemungkaran terlalu kuat hingga memaksa kita menepi, diam di pinggiran dan hanya berharap kita tidak ikut terseret arus. Untuk yang ini, yang tinggal di kota barangkali lebih sering merasakannya. Premanisme, perjudian, peredaran khamer dan narkoba dan berbagai sindikat kejahatan terorganisir lain adalah monster yang kengeriannya sering membuat kita diam terpaku.
Andai saja hadits riwayat Imam Ath Thabrani ini shahih, tentu hadits ini sangat cocok untuk menggambarkan kondisi umat Islam hari ini. Hadits itu berbunyi,
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يُخَيَّرُ الرَّجُلُ فِيهِ بَيْنَ الْعَجْزِ وَالْفُجُورِ، فَلْيَخْتَرِ الْعَجْزَ عَلَى الْفُجُورِ
“Akan datang kepada manusisa suatu masa ketika seseorang tidak bisa memilih kecuali menjadi lemah atau melakukan kedurhakaan. Maka, ‘jika masa itu datang- hendaknya seseroang memilih menjadi yang lemah daripada yang durhaka.”
Hadits si dinyatakan shahih oleh Imam Al Hakim, namun kebanyakan ahli hadits berpendapat hadits ini lemah, termasuk Syaikh Al Albani.
Hadits ini mengambarkan kondisi zaman dimana kekufuran, kesesatan dan wadyabala setan dengan lantangnya mengultimatum para penjunjung kebenaran, “Ikut kami atau tertindas”. Maka, jika menghadapi dilema seperti itu lebih baik memilih berdiri di posisi yang lemah daripada mengkuti jalan mereka.
Meski hadits di atas lemah, tapi anjuran yang ada didalamnya patut dipertimbangkan. Memilih menjadi yang lemah daripada ikut-ikutan menjadi fajir demi menghindari masalah. Memilih menjadi yang lemah karana hanya bisa melaksanakan nahi mungkar dalam hati, dari pada turut memaklumi kemaksiatan atau malah ikut mencicipi. Tetap memegang teguh akidah yang shahih meski kesyirikan menekan. Tetap anti bid’ah meski harus dicaci dan disumpah serapah. Dan tetap menjadi muslim meskipun ditindas manusia-manusia lalim. Memilih menjadi yang sedikit, asing lagi termarginalkan daripada tunduk kepada kebatilan. Dan itulah jalan keberuntungan.
Rasulullah bersabda,
طُوبَى لِلْغُرَبَاءِ “، فَقِيلَ: مَنِ الْغُرَبَاءُ يَا رَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ: ” نَاسٌ صَالِحُونَ فِي نَاسِ سَوْءٍ كَثِيرٍ، مَنْ يَعْصِيهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيعُهُمْ
“Beruntunglah orang-orang yang asing.” Ada yang bertanya, “Siapakah orang-orang yang asing itu, Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Segelintir orang yang berada di antara orang-orang jahat, yang memusuhi mereka lebih banyak daripada yang mengikuti mereka.” (HR. Ibnu Mubarak, dinilai shahih oleh Syaikh al Albani dalam As Silsilah ash Shahihah, II/363).
Namun begitu, bukan berarti perlawanan dipetimatikan. Sembari bertahan, perlawanan harus tetap disiapkan. Meski harus memulai dari titik terendah, perjuangan tidak boleh putus. Justru, seharusnya kita bangga berjuang dalam kondisi zaman seperti ini. Bukankah zaman ini hampir mirip dengan zaman dimana Rasulullah pertama kali memperjuangkan Islam?
Rasulullah memperjuangkan Islam pada masa awalnya ketika Islam masih asing, sedang kita, berjuang di penghujung zaman juga ketika Islam kembali dianggap asing berkat pertolongan Allah, Rasulullah telah berhasil. maka dengan pertolongan Allah pula, insyallah perjuangan kita pun akan berhasil.
Berada pada posisi lemah tidak boleh menyurutkan langkah. Belum mampu menumpas kesyirikan, bid’ah dan kemugkaran, bukan berarti menghentikan roda perjuangan. Mari berjuang hingga tetes darah penghabisan. (Taufik Anwar)
Sumber: majalah arrisalah edisi 121 hal. 45-46