Demonstrasi Sunnah Atau Bid’ah?

Demonstrasi Sunnah Atau Bid’ah

Menyikapi maraknya aksi demonstrasi umat Islam terhadap orang kafir penista Al-Qur’an, sebagian juru dakwah justru getol menyatakan bahwa demonstrasi adalah bid’ah. Sebab menurut mereka, demonstrasi tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat. Sehingga aksi demonstrasi menyelisihi manhaj salafush shalih.

Terhadap lontaran fatwa yang sangat menguntungkan orang kafir tersebut, bagaimana para ulama Islam menjawabnya? Berikut tanggapan Syaikh Abu Mundzir Asy-Syinqithi, Abdul Akhir Hammad Al-Ghunaimi, Badr bin Abdul Hamid Hamisah Al-Mishri, dan lain-lain terhadap syubhat tersebut.

 

Saat Nabi SAW dan Sahabat Berdemonstrasi

Pada zaman Rasulullah SAW telah terjadi bentuk demonstrasi yang membuahkan hasil positif, sementara Rasulullah SAW menyetujui dan tidak mengingkarinya. Pada fase dakwah di Makkah, demonstrasi untuk menunjukkan kekuatan kaum muslimin dilakukan pada hari keislaman Umar bin Khatab RA. Rasulullah SAW sendiri turut serta dalam aksi tersebut. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA tentang keislaman Umar bin Khathab RA:

قَالَ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ أَلَسْنَا عَلَى الْحَقِّ إِنْ مُتْنَا وَإِنْ حَيِينَا؟ قَالَ: بَلَى وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّكُمْ عَلَى الْحَقِّ إِنْ مُتُّمْ وَإِنْ حَيِيتُمْ، قَالَ: فَقُلْتُ: فَفِيمَ الِاخْتِفَاءُ؟ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَتَخْرُجَنَّ، فَأَخْرَجْنَاهُ فِي صَفَّيْنِ، حَمْزَةُ فِي أَحَدِهِمَا، وَأَنَا فِي الْآخَرِ، لَهُ كَدِيدٌ كَكَدِيدِ الطَّحِينِ، حَتَّى دَخَلْنَا الْمَسْجِدَ، قَالَ: فَنَظَرَتْ إِلَيَّ قُرَيْشٌ وَإِلَى حَمْزَةَ، فَأَصَابَتْهُمْ كَآبَةٌ لَمْ يُصِبْهُمْ مِثْلَهَا، فَسَمَّانِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَئِذٍ الْفَارُوقَ، وَفَرَّقَ اللهُ بَيْنَ الْحَقِّ وَالْبَاطِلِ “

Umar berkata: “Wahai Rasulullah, bukankah kita berada di atas kebenaran baik saat kita mati maupun kita hidup?” Beliau menjawab, “Tentu, demi Allah Yang nyawaku berada di tangan-Nya, kalian berada di atas kebenaran baik saat kalian mati maupun saat kalian hidup.” Umar berkata, “Kalau begitu, untuk apa kita bersembunyi-sembunyi? Demi Allah Yang mengutus Anda dengan kebenaran, Anda harus keluar secara terang-terangan!”

Maka kami mengeluarkan Rasulullah SAW (dan para sahabat) dalam dua barisan. Hamzah memimpin satu barisan, dan aku ((Umar) memimpin barisan lainnya. Suara (langkah barisan kami) seperti deru mesin giling, sampai kami memasuki Masjidil Haram. Aku melihat orang-orang Quraisy menatap kepadaku dan kepada Hamzah. Mereka dilanda kesedihan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Sejak hari itu, Rasulullah SAW menjuluki aku Al-Faruq, dan Allah memisahkan (dengan perantaraanku) antara kebenaran dan kebatilan.” (HR. Abu Nu’aim al-Asbahani dalam Hilyatul Awliya’ wa Thabaqat al-Ashfiya’ dan Abu Ja’far bin Abi Syaibah dalam At-Tarikh. Hadits yang semakna diriwayatkan oleh Al-Bazzar dari Aslam maula Umar dari Umar RA. Lihat Tahdzib Hilyatil Auliya’ wa Thabaqatil Ashfiya’, juz I hlm. 63 dan Fathul Bari bi-Syarh Shahih Al-Bukhari, juz VIII hlm. 383)

Pada masa dakwah di Madinah, para wanita muslimah pernah berdemonstrasi menuntut penghentian ‘kekerasan dalam rumah tangga’ yang dilakukan oleh suami-suami mereka. Rasulullah SAW menyetujui dan mendukung tuntutan kaum wanita tersebut.

عَنْ إِيَاسِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي ذُبَابٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا تَضْرِبُوا إِمَاءَ اللَّهِ» فَجَاءَ عُمَرُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ذَئِرْنَ النِّسَاءُ عَلَى أَزْوَاجِهِنَّ، فَرَخَّصَ فِي ضَرْبِهِنَّ، فَأَطَافَ بِآلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِسَاءٌ كَثِيرٌ يَشْكُونَ أَزْوَاجَهُنَّ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَقَدْ طَافَ بِآلِ مُحَمَّدٍ نِسَاءٌ كَثِيرٌ يَشْكُونَ أَزْوَاجَهُنَّ لَيْسَ أُولَئِكَ بِخِيَارِكُمْ

Dari Iyas bin Abdullah bin Abi Dzubab RA berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian memukul hamba-hamba perempuan Allah (kaum wanita)!” Maka Umar bin Khathab RA datang kepada Rasulullah SAW dan melaporkan: “Kaum wanita telah berani melawan suami-suami mereka.” Maka Rasulullah SAW member keringanan kepada kaum laki-laki untuk memukul istri-istri mereka. Tak lama kemudian banyak kaum wanita yang mengelilingi rumah keluarga Rasulullah SAW dan mengadukan kelakuan suami-suami mereka. Maka Nabi SAW bersabda, “Banyak kaum wanita telah mengelilingi keluarga Muhammad SAW sembari mengadukan kelakuan suami-suami mereka. Suami-suami seperti itu bukanlah orang-orang yang terbaik di antara kalian.” (HR. Abu Daud no. 2146, An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra no. 9122, Ibnu Majah no. 1985, Ad-Darimi no. 2265, dan Ibnu Hibban no. 4189. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Syuaib Al-Arnauth, Nashiruddin Al-Albani, dan Husain Salim Asad)

Barangsiapa meyakini bahwa kedua hadits ini tidak menunjukkan demonstrasi, hendaklah ia membuktikan perbedaan kedua kasus dalam hadits ini dengan demonstrasi!

 

Antara Bid’ah dan Maslahat

Jika Rasulullah SAW, para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan generasi salaf tidak melakukan suatu perkara, bukan berarti hukum perkara tersebut otomatis adalah haram atau bid’ah yang tidak memiliki landasan dalil syar’i.

Boleh jadi perbuatan yang mereka tinggalkan tersebut adalah perkara mubah dan mereka tidak mengerjakannya karena tidak ada faktor yang mendorong mereka untuk melakukannya.

Boleh jadi juga perbuatan yang mereka tinggalkan tersebut adalah perkara mubah dan ada faktor yang mendorong mereka untuk melakukannya, namun mereka tidak mengerjakannya karena tidak adanya kemampuan atau keadaan belum memungkinkan untuk melakukannya. Contoh:

Rasulullah SAW membiarkan saja Ka’bah dalam bentuk yang dibangun oleh kaum musyrik pada zaman jahiliyah dan beliau tidak merenovasinya sesuai dengan bentuk pertama yang dibangun oleh nabi Ibrahim dan Ismail. Beliau khawatir jika renovasi sesuai bentuk yang dibangun oleh nabi Ibrahim dan Ismail dikerjakan, niscaya orang-orang Arab yang belum lama masuk Islam akan mengingkari dan menentangnya. Kekhawatiran ini menyebabkan Rasulullah SAW mengurungkan perbuatan yang mulia tersebut. Kekhawatiran ini pula yang menyebabkan khulafaur Rasyidun selama 30 tahun masa pemerintahan mereka dan sebagian khalifah Daulah Umawiyah tidak melakukan renovasi tersebut.

Barulah ketika Abdullah bin Zubair RA menjadi khalifah di Hijaz dan Ka’bah runtuh akibat serbuan pasukan Daulah Umawiyah tahun 64 H, Abdullah bin Zubair melakukan renovasi Ka’bah sesuai bentuk yang dibangun oleh nabi Ibrahim dan Ismail. Butuh waktu lebih dari 60 tahun untuk menyiapkan kondisi hati masyarakat Arab agar bisa menerima renovasi seperti itu. (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, juz IV hlm. 492)

Dalam hal ini Abdullah bin Zubair RA melakukan perkara yang tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidun RA. Namun toh perbuatannya tersebut bukan bid’ah, bahkan sesuai dengan sunnah.

Dari Aisyah RA berkata, “Saya bertanya kepada Nabi SAW apakah dinding (yaitu Hijr Ismail) di sekitar Ka’bah termasuk bagian dari Ka’bah?” Beliau menjawab, “Ya.” Saya bertanya, “Kenapa mereka tidak memasukkannya ke dalam Ka’bah?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya kaummu kehabisan biaya (saat merenovasi Ka’bah pada zaman jahiliyah).” Saya bertanya, “Kenapa pintu Ka’bah tinggi?” Beliau menjadab, “Itu perbuatan kaummu, agar mereka bisa memasukkan siapa pun yang mereka kehendaki ke dalam Ka’bah dan mereka bisa menghalangi siapa pun yang tidak mereka kehendaki. Sekiranya bukan karena kaummu baru saja meninggalkan masa jahiliyah dan khawatir jika hati mereka mengingkarinya, tentulah aku akan memasukkan Hijr Ismail ke dalam Ka’bah dan aku akan menempelkan pintu Ka’bah ke tanah.” (HR. Bukhari no. 1584 dan Muslim no. 1333)

Nabi SAW bersabda, “Wahai Aisyah, sekiranya bukan karena kaummu baru saja meninggalkan kekafiran, tentulah aku akan meruntuhkan Ka’bah (lalu merenovasinya) dan aku buatkan dua pintu padanya; satu pintu untuk memasukinya dan satu pintu untuk keluar darinya.” Maka Abdullah bin Zubair melaksanakan keinginan beliau SAW tersebut. (HR. Bukhari no. 126 dan Muslim no. 1333, dengan lafal Bukhari)

Oleh karena itu, di antara definisi bid’ah adalah setiap perkara yang pada zaman Nabi SAW telah ada faktor yang mendorong untuk melakukannya, namun Nabi SAW tidak melakukan perkara tersebut padahal beliau memiliki kemampuan untuk melakukannya.

Contoh, perayaan maulid nabi. Pada zaman Nabi SAW dan khulafaur rasyidun, telah ada faktor yang mendorongnya, yaitu menghormati dan memperingati hari kelahiran beliau. Mereka juga mampu melakukannya. Ketika mereka tidak melakukannya, maka hal itu menunjukkan bahwa perayaan maulid Nabi adalah bid’ah yang tidak disyariatkan.

Berbeda halnya dengan hal-hal bermanfaat yang dituntut oleh kondisi, yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan generasi sahabat, karena tidak adanya hal yang mendorong untuk melakukannya pada zaman Rasulullah SAW dan sahabat. Hal-hal tersebut bukanlah bid’ah, melainkan mashlahah mursalah yang disepakati oleh para ulama boleh —bahkan bagus— dilakukan. Contoh:

  • Memberi tanda baca (satu titik, dua titik, tiga titik, di atas dan di bawah) dan tanda harakat (fathah, dhammah, kasrah, sukun dan syaddah) terhadap huruf hijaiyah dan mushaf Al-Qur’an.
  • Khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq mengangkat Umar bin Khathab sebagai calon penggantinya berdasar persetujuan generasi sahabat di akhir hayatnya saat Abu Bakar sakit keras.
  • Khalifah Umar bin Khathab membuat mata uang untuk melancarkan gerak perekonomian kaum muslimin.
  • Khalifah Umar bin Khathab membuat sistem administrasi di bidang ekonomi (diwanul mal) dan militer (diwanul jundi) dengan mencontoh sistem yang dipakai oleh imperium Majusi Persia.
  • Khalifah Utsman bin Affan menetapkan pembukuan mushaf Al-Qur’an dengan satu dialek saja, yaitu dialek suku Quraisy.
  • Penerjemahan mushaf Al-Qur’an dan kitab-kitab hadits ke dalam bahasa-bahasa non-Arab untuk memudahkan kaum muslimin non-Arab mempelajari syariat Islam.

Jika setiap hal baru yang tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW, sahabat, dan tabi’in divonis bid’ah dan haram, tentulah akan diharamkan banyak hal bermanfaat yang sebenarnya disyariatkan oleh Islam namun belum dikerjakan pada zaman salafush shalih. Contoh:

  • Pada zaman sekarang, antara kaum laki-laki dan kaum wanita dibuat pembatas yang memisahkan mereka di masjid-masjid dan pengajian-pengajian. Tak diragukan lagi tindakan ini bermanfaat karena mencegah fitnah yang mungkin timbul dari percampur bauran laki-laki dan perempuan non mahram. Ini adalah maslahat yang diakui dan ditetapkan oleh syariat. Apakah pembuatan pembatas ini divonis bid’ah dan haram, hanya karena tidak dilakukan oleh generasi sahabat dan tabi’in?
  • Pada zaman sekarang dibentuk lembaga-lembaga kajian dan organisasi-organisasi keislaman baik dalam taraf lokal, nasional, regional, maupun internasional. Ada Dewan Fiqih Sedunia, Rabithah Alam Islami, dan lain-lain pada tingkat internasional. Ada DDII, NU, Muhammadiyah, Al-Irsyad, Hidayatullah, Persis, dan banyak lainnya pada taraf nasional.

Apakah, misalnya, keberadaan Dewan Fiqih Sedunia yang menghasilkan fatwa bersama sebagai hasil ijtihad jama’i lantas dinilai bid’ah dan haram, hanya karena pada zaman salafush shalih lembaga-lembaga fatwa itu tidak ada dan setiap ulama bebas memberi fatwa atas nama pribadi?

 

Melakukan Hal yang Bermaslahat bagi Umat

Di antara dalil yang menunjukkan disyariatkannya melakukan hal-hal yang dituntut oleh kondisi dan kemaslahatan umat Islam meski tidak dilakukan pada zaman Nabi SAW adalah hadits riwayat Bukhari dan Muslim,

عَنْ يَحْيَى ابْنُ سَعِيدٍ، عَنْ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّهَا سَمِعَتْ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَقُولُ: لَوْ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى مَا أَحْدَثَ النِّسَاءُ لَمَنَعَهُنَّ الْمَسْجِدَ كَمَا مُنِعَتْ نِسَاءُ بَنِي إِسْرَائِيلَ» قَالَ: فَقُلْتُ لِعَمْرَةَ: أَنِسَاءُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مُنِعْنَ الْمَسْجِدَ؟ قَالَتْ: نَعَمْ

Dari Aisyah RA istri Nabi SAW berkata, “Seandainya Nabi SAW melihat apa yang dilakukan oleh kaum wanita saat ini (memakai pakaian indah, memakai wangi-wangian, dan menampakkan perhiasan, pent) tentulah beliau akan melarang kaum wanita berangkat ke masjid, sebagaimana kaum wanita Bani Israil dilarang berangkat ke masjid.”

Perawi Yahya bin Said Al-Anshari berkata, “Saya bertanya kepada Amrah binti Abdirrahman (tabi’in, perawi yang meriwayatkan dari Aisyah): ‘Apakah kaum wanita Bani Israil dilarang pergi ke masjid?’ Amrah menjawab, “Ya.” (HR. Bukhari no. 869 dan Muslim no. 445)

Imam Ibnu Rajab Al-Hambali saat menjelaskan hadits ini menyatakan bahwa perkataan Aisyah ini menunjukkan bahwa pada masa hidupnya, Rasulullah SAW mengizinkan kaum wanita untuk menghadiri shalat jama’ah di masjid karena pada zaman tersebut belum terjadi kerusakan.

Sepeninggal beliau lalu muncul berbagai kerusakan pada kehadiran kaum wanita di masjid, seperti memakai minyak wangi dan mengundang percampur bauran dengan laki-laki yang bukan mahram. Aisyah menyebutkan seandainya Rasulullah SAW sempat melihat berbagai kerusakan tersebut, niscaya beliau akan melarang kaum wanita menghadiri shalat jama’ah di masjid.

Contoh yang serupa adalah Rasulullah SAW, Abu Bakar Ash-Shidiq, dan Umar bin Khathab membiarkan para budak wanita pergi ke pasar tanpa memakai jilbab. Bahkan Umar memukul budak wanita yang memakai jilbab di pasar. Izin tersebut mereka berikan karena zaman tersebut masih selamat dari kerusakan akhlak. Pada zaman-zaman sesudahnya, izin tersebut dicabut oleh para penguasa Islam karena menimbulkan kerusakan akhlak di tengah masyarakat.

Imam Ibnu Rajab Al-Hambali kemudian menyebutkan perbedaan pendapat para ulama tentang hukum kehadiran wanita di masjid untuk shalat jama’ah bersama kaum laki-laki. Sebagian ulama memakruhkannya secara mutlak, seperti Aisyah RA dan imam Ahmad karena bisa menimbulkan fitnah (godaan bagi kaum laki-laki).

Sebagian ulama membolehkan kaum wanita keluar untuk shalat Idul Fitri dan Idul Adha saja, seperti Ali bin Abi Thalib RA dan imam Abu Hanifah. Sebagian ulama membolehkan kaum wanita yang telah tua, bukan wanita-wanita muda, menghadiri shalat jama’ah di masjid, seperti pendapat imam Malik, Syafi’I, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan mayoritas ulama madzhab Hambali. Sementara sahabat Abdullah bin Mas’ud RA membolehkannya sebatas di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. (Ibnu Rajab Al-Hambali, Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, juz VIII hlm. 41-42)

 

Kebolehan “Bid’ah” dalam Urusan Dunia

Perlu dibedakan antara hal-hal baru dalam perkara ibadah dan hal-hal baru dalam perkara kebiasaan (adat) dan keduniawian. Sebab, hukum asal perkara ibadah adalah dilarang sampai ada dalil syar’i yang memerintahkannya. Sebaliknya, hukum asal perkara kebiasaan dan keduniawian adalah boleh sampai ada dalil syar’i yang melarangnya.

Oleh karena itu, imam Asy-Syathibi mendefiniskan bid’ah adalah, “Tata cara (perkara) yang diada-adakan dalam agama, yang menyaingi tatacara syariat, yang tata cara tersebut ditempuh dengan maksud seperti ditempuhnya tatacara syariat.” (Asy-Syathibi, Al-I’tisham, juz I hlm. 47)

Hal-hal baru dalam urusan duniawi adalah boleh, sampai ada dalil syar’i yang melarangnya. Seperti penemuan baru di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan industri. Demonstrasi adalah perkara duniawi, bukan ibadah mahdhah, sehingga ia bukan bid’ah dalam perkara agama. Lagipula di zaman Nabi SAW, kaum wanita juga pernah melakukan demonstrasi menggugat kekejaman suami-suami mereka yang ringan tangan, maka Nabi SAW mendukung tuntutan mereka.

 

Kedudukan Pendapat dan Perbuatan Salaf

Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah menyebutkan empat macam dalil syar’i yaitu Al-Qur’an, as-sunnah, ijma’, dan qiyas.

Mereka tidak menyebutkan perbuatan atau ucapan generasi salaf sebagai dalil tersediri. Mereka ‘hanya’ menjadikan perbuatan atau ucapan generasi salaf sebagai penjelasan atas makna dalil-dalil syar’i.

Hal itu mengandung dua pengertian. Pertama, Kita wajib memahami dalil-dalil syar’i sesuai cara generasi salaf memahaminya dan kita tidak boleh menyelisihi pemahaman mereka.

Kedua, Kita tidak boleh meninggalkan hal yang telah mereka sepakati kewajibannya dan kita tidak boleh melakukan hal yang telah mereka sepakati keharamannya. Adapun jika mereka berselisih pendapat dalam sebuah perkara, maka kita boleh memilih salah satu pendapat mereka yang kita yakini paling kuat dalilnya.

Sikap generasi salaf yang meninggalkan suatu perkara bukanlah dalil bahwa perkara tersebut dilarang. Kecuali dalam perkara ibadah, karena hukum asal ibadah adalah haram sampai ada dalil syar’i yang memerintahkannya, sehingga tidak boleh membuat-buat cara ibadah tersendiri tanpa ada dalilnya dari syariat. Wallahu a’lam bish-Shawab.

Penulis: Fauzan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *