Riuh dan gaduh. Begitulah situasi yang sedang dialami kaum muslimin beberapa pekan belakangan. Tidak hanya Jakarta, akan tetapi bersifat nasional. Situasi ini sebenarnya adalah puncak dari rangkaian masalah yang seolah sengaja dibiarkan memuncak. Amarah umat Islam seperti sengaja dipantik. Polah tingkah Ahok menjadi ikon yang kontroversial; Jabatan gubernur yang memang diperoleh secara “cuma-cuma” karena ditinggalkan Jokowi menuju RI 1. Kenyataan yang tidak sesuai dengan janji-janji manis saat kempanye, penggusuran terjadi di mana-mana, dugaan keterlibatan Ahok dalam kasus korupsi yang tidak jelas ujungnya, reklamasi yang tetap melaju ditengah kontroversi, ditambah ucapan dan kebijakan Ahok yang sering menyinggung kaum muslimin.
Situasi menjelang Pilkada serentak semakin menambah panas suasana. Berbagai isu menggelinding liar, puncaknya ketika Ahok menyinggung surat Al-Maidah ayat lima satu. Amarah umat Islam memuncak ,ormas Islam, para tokoh, partisan maupun non partisan. Mereka melakukan protes bahkan melaporkan Ahok ke kepolisian dengan pasal penistaan agama. Suasana semakin gaduh dengan munculnya orang-orang yang dipandang sebagai cendekiawan muslim justru melawan arus utama; mereka tampil menjadi pembela Ahok. Demo dan protes terjadi di mana-mana terutama kaum muslimin di Jakarta.
Rangkaian kejadian di atas jelas merupakan problem umat yang harus diselesaikan. Penghinaan yang dilakukan terharap muqaddasat kaum muslimin tidak boleh dibiarkan. Pertanyaannya, apakah kasus penistaan Ahok dan segala tindak tanduknya yang merugikan Islam dan kaum muslimin adalah sumber masalah yang sesungguhnya? Apakah polah tingkah dan kebijakan Ahok yang nyata-nyata zalim dan menyakiti umat Islam di atas adalah akar persoalan sesungguhnya? Tidak. Semua itu adalah akibat. Semua itu adalah buah. Akar persoalannya bukan pada Ahok yang tampil sebagai sosok pemimpin yang kontroversial. Tetapi akar persoalannya paling tidak berakar pada tiga hal,
Pertama, Ideologi Kafir. Ahok secara ideologis adalah seorang Nasrani. Meski kita tidak mengetahui secara pasti sejauh mana militansi seorang Ahok sebagai penganut Nasrani, akan tetapi Al-Qur’an telah memberikan informasi bahwa tabiat dasar orang-orang Yahudi dan Nasrani adalah membenci dan memusuhi Islam dan kaum muslimin.
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)” dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 120)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (QS. Ali Imran: 118)
Jadi bukan hal aneh jika orang kafir memusuhi ajaran Islam dan kaum muslimin. Jika ada yang tidak menampakkan permusuhan adalah karena keadaan yang tidak memungkinkan.
Kedua, Demokrasi. Inilah akar persoalan yang kedua. Demokrasi sebagai sebuah sistem politik sekaligus mekanisme suksesi kepemimpinan dari tingkat daerah hingga pusat memberikan peluang sangat besar munculnya para pemimpin yang jelas memusuhi dan merugikan umat Islam. Demokrasi memberikan peluang yang sama kepada siapa pun menjadi pemimpin, tanpa melihat latar belakang agamanya. Sebab, dalam sistem demokrasi semua orang dipandang memiliki hak yang sama untuk menjadi pemimpin.
Ketika umat Islam tunduk dan menerima demokrasi sebagai sebuah sistem bernegara, maka munculnya masalah-masalah seperti yang terjadi di Jakarta akan sangat terbuka. Jika pun Ahok berhasil diseret ke meja hijau, selama system politik demokrasi masih menjadi acuan, maka selama itu pula terbuka lahirnya ahok ahok yang lain, yang bisa jadi lebih fulgar, lebih kuat permusuhannya kepada Islam. Inilah yang semestinya disadari oleh umat Islam, bahwa persoalan yang mereka hadapi konsekuwensi logis dari demokrasi yang mereka pilih sendiri.
Padahal Islam sebagai sebuah system yang komprehensif telah mengatur system tata Negara dan suksesi kepemimimpinan; Islam tegas melarang menjadikan orang kafir sebagai pemimpin. Bahwa yang berhak mengangkat dan menunjuk pemimpin adalah para tokoh dan ulama umat yang dipercaya (Ahlul Halli wal Aqdi). Tidak semua orang memiliki hak yang sama untuk memilih siapa yang menjadi pemimpinnya.
Ketiga, pada tatanan dunia global, demokrasi telah menjadi alat hegemoni bagi Barat untuk mengendalikan, mendominasi, bahkan menjajah dunia Islam. Atas alasan demokrasilah pasukan Amerika menyerang Afganistan, Irak, Somalia, Yaman, dan Suriah. Sebuah Negara dikatakan sebagai Negara demokratis bila sesuai dengan demokrasi yang didefinisikan oleh Barat sebagai produsen dan pengimpor ideology demokrasi. Bahkan Barat melalui perpanjangan tangannya bisa menggagalkan dan mengkudeta hasil pemilihan yang demokratis jika tidak sejalan dengan kepentingan mereka. Apa yang dialami oleh Presiden Mesir, Muhammad Mursi adalah contoh yang paling mutakhir.
Karena itu demokrasi hanya menawarkan jalan kejayaan yang semu. Masalah-masalah hanya akan bisa teratasi sesaat lalu kembali lagi. Demokrasi hanyalah fatamorgana yang terlihat menyejukkan bagi mata orang yang sedang kehausan, setelah didekati dan dijalani kenyataannya hanya panas yang semakin menambah dahaga. Demokrasi hanyalah solusi setengah hati.
Islam Solusi
Problem yang melilit umat ini hanya akan bisa diatasi secara tuntas bila kaum muslimin kembali kepada Islam sebagai pedoman dalam bernegara. Itulah pesan yang sangat jelas disampaikan oleh Rasulullah n empat belas abad yang lalu.
“Hampir tiba masanya berbagai umat akan mengeroyok kalian sebagaimana manusia mengerumuni makanan.” Seseorang bertanya, “Apakah itu karena sedikitnya jumlah kami saat itu?” Rasulullah n menjawab, “Bukan, bahkan jumlah kalian banyak, akan tetapi kalian seperti buih di lautan. Allah benar-benar mencabut rasa takut dari hati musuh-musuh kalian terhedap kalian. Dan Allah akan mencampakkan ke dalam hati kalian penyakit wahn.” Para shahabat bertanya, “Apakah wahn itu wahai Rasulullah?” Rasulullah n menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.” (Ahmad dan Abu Dawud)
“Apabila kalian sudah berjual beli dengan system inah, kalian sudah mengikuti ekor-ekor sapi, dan kalian sudah puas dengan cocok tanam kalian dan kalian sudah meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian, dan Allah tidak akan mengangkat kehinaan itu dari kalian hingga kalian kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud)
Jalan kemenangan itu adalah iman. Keyakinan yang benar kepada Allah, keyakinan yang benar berkenaan perkara-perkara ghaib, keimanan yang benar kepada Al-Qur’an, kepasrahan diri kita secara total kepada syariat Allah.
Jalan kejayaan itu adalah hijrah. Keyakinan yang benar membuahkan sikap anti dan imun terhadap segala hal yang bertentangan dengan syariat, baik berupa ideology, prilaku, hukum, sosial dan ekonumi. Sebaliknya berhijrah kepada ideology, akhlak, hukum dan ekonomi Islam. Itulah hijrah maknawi sebagaimana yang sabdakan oleh Nabi kita Rasulullah n,
“Orang yang disebut orang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” (HR. Muslim)
Ketiga, tidak ada iman tidak ada hijrah tanpa pengorbanan dan perjuangan. Berjihad melawan segala upaya yang hendak merusak Islam dan menjajah kaum muslimin.
Inilah solusi yang tuntas memenuhi tiga syarat; syar’i, logis dan historis.
Pertama, syar’i. karena inilah solusi yang berikan oleh syariat. Umat Islam tidak akan mencapai kejayaan dan kemuliaan kecuali dengan menempuh jalan Islam, mempraktikkan Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga, organisasi dan Negara. Sebaliknya umat tidak akan mencapai kejayaannya dengan jalan yang bertentangan dengan Islam semisal demokrasi.
Kedua, logis. karena Islam adalah ajaran yang logis. Termasuk jalan perjuangan yang ditempuh oleh pembawanya Rasulullah adalah jalan yang logis. Logika kemenangan Islam adalah logika iman. Kemenangan hanya Allah berikan kepada generasi Yang pantas mendapatkannya. Tidak mungkin Allah memberikan kemenangan Islam kepada manusia yang justru berjalan menjauh dari Islam.
Ketiga, historis. Sejalan dengan sejarah. Umat ini telah membangun dan memimpin peradaban dunia selama belasan abad lamanya. Peradaban itu dibangun di atas syariat Allah, bukan yang lain. Olehnya Umar bin Khathab mengatakan,
نحن قوم أعزنا الله بالإسلام، ومهما ابتغينا العزة في غيره أذلنا الله
“Kita adalah kaum yang dimuliakan oleh Allah dengan Islam. Maka jika kita mencari kemuliaan dalam selain Islam, Allah akan menghinakan kita.”