Demokrasi Menyandra-ku
Pada demo akbar 4 Nopember 2016 kemarin ada potret yang agaknya luput dari pengamatan. Salah satunya, aktifis partai tak menampakkan bendera masing-masing.
Sekilas logika bisa memahami. Demo terjadi pada masa kampanye pilkada sehingga dikhawatirkan akan dituduh memanfaatkan demo untuk kampanye. Kalau atribut partai muncul, kemungkinan akan dibully di media massa.
Tapi jika dilihat dari sudut pandang aqidah, menunjukkan bahwa demokrasi adalah ideologi yang meminta totalitas dari para pelakunya. Saat terlibat pilkada, seolah menjadi haram untuk ikut membela Islam resmi atas nama partai.
Jika diperluas potretnya, secara umum politisi dan aktifis partai juga “diharamkan” untuk melakukan pembelaan Islam di luar koridor kepatutan demokrasi. Misalnya, ia melakukan nahi munkar sampai pada keharusan memukul, maka ia akan menjadi bulan-bulanan bully. Ia dinyatakan tak taat terhadap demokrasi karena main hakim sendiri tak prosedural konstitusional.
Apalagi jika misalnya ia ikut jihad melawan Nasrani atau Yahudi secara fisik. Ia akan jadi sasaran bully, dan tak akan dianggap ‘anak baik’ oleh demokrasi.
Jadi jika seseorang sudah menempuh jalan demokrasi, ia dituntut loyal penuh, tak boleh menunaikan loyalitas Islam kecuali dalam perkara yang diijinkan demokrasi.
Maka aktifis yang ingin membela Islam melalui demokrasi tak boleh pongah terhadap umat Islam yang merdeka dari demokrasi. Selalu ada saatnya Anda harus berganti kostum dengan kostum mereka (tak memakai atribut partai) saat harus membela Islam secara murni.
Demo bela Islam kemarin jadi bukti bahwa atribut demokrasi malah jadi masalah bagi pelakunya sendiri. Aneh tapi nyata.
Ini isyarat bagi kaum berakal bahwa dua aqidah ini saling berbeda dan masing-masing menuntut totalitas loyalitas. Hmmm…!
*judul asli tulisan ini : Politisi Tersandera Demokrasi https://telegram.me/IslaMulia