Dakwah Saklek, Bagaimana?
Oleh: Ust. Burhan Shodiq
Pernah dengar istilah saklek? Saklek berarti kaku dan tidak lentur. Tidak melihat sesuatu dengan pelan-pelan dan bertumbuh. Tetapi lebih suka memaksakan sesuatu agar bisa berhasil maksimal.
Sering kali kita dapati teman-teman da’i yang terburu-buru kepengin melihat hasil. Tidak menunda dulu demi sebuah kemaslahatan yang lebih besar. Padahal kita diperbolehkan menunda sesuatu yang sifatnya bukan wajib, demi mendapatkan kemaslahatan yang lebih besar.
Ibnu Taimiyah mengatakan: “diantara perkara yang dianjurkan adalah meninggalkan perkara yang dianjurkan demi ta’liful qulub (mengikat hati orang lain)”.
Memaksakan sesuatu kepada obyek mad’u justru akan menjadikan dakwah terhambat. Tidak melihat sebuah perubahan itu membutuhkan proses. Tetapi lebih melihat pada sebuah keinginan untuk segera melihat hasil.
Jangankan dakwah, memasak nasi saja kalau tidak mengikuti proses dan cenderung tergesa maka akan buruk hasilnya. Semua harus dilalui dengan baik dan bertahap. Tidak bisa terburu buru dan tidak meniti tahap dengan baik.
Apa penyebabnya?
Banyak sekali sebab kekakuan dalam dakwah ini. Salah satu penyebabnya adalah merasa lebih tinggi dari masyarakat yang menjadi obyek dakwahnya. Sebelumnya mungkin bukan siapa-siapa. Lalu mengenal Islam, bangun tidur dari keterpurukan dan merasa paling wow dibanding masyarakat yang ia dakwahi.
Inilah yang kemudian memicu dia bertindak menjadi semakin tinggi dan memaksakan sebuah hasil. Ilmu yang kurang menyebabkan ia menjadi semakin menjadi jadi dalam kesombongannya.
“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui siapa orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32)
Padahal setiap kita pasti pendosa dan berbuat kesalahan. Banyak hal yang menjadi aib diri. Sehingga Allah menutupi kesalahan kesalahan kita.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, mengatakan “Kalau kalian mengetahui dosa-dosaku maka tidak akan ada orang yang berjalan di belakangku dan sungguh kalian akan melemparkan tanah di atas kepalaku, dan aku berangan-angan Allah mengampuni satu dosa dari dosa-dosaku dan aku dipanggil Abdullah bin Kotoran.”
Penyebab kedua adalah terlalu bersemangat dalam menuntut ilmu tetapi meninggalkan kewajiban lainnya. Ia menghabiskan waktunya menjadi pribadi penuntut ilmu. Tetapi ia meninggalkan dakwah. Sehingga ketika terjadi di masyarakat yang salah ia cenderung menjadi hakim dan bukan menjadi dai.
Pandangannya terhadap kesalahan, bukan pandangan rahmat. Tetapi pandangannya kepada mereka yang berbuat salah lebih kepada pandangan sinis dan kejam. Tidak memberi ruang untuk berubah, tetapi memberi vonis bersalah.
“Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-An’am: 141)
Artinya, mempelajari ilmu juga harus bisa memperhatikan kewajiban lainnya, yaitu kewajiban bakti pada orang tua dan memberi nafkah kepada keluarga.
Ilmu yang kita miliki seharusnya menjadikan kita semakin bijak dalam dakwah. Menerapkan nilai nilai kebaikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Ilmu inilah yang akan menjelaskan dan mengarahkan kehidupan dia kepada sesuatu yang lebih tetap dan terarah.
Sebab dakwah bukan soal cepat cepatan merekrut jamaah. Tetapi lebih kepada bagaimana jamaah bisa berubah ke arah yang lebih baik dengan pentahapan yang baik. Bukan serampangan dan tanpa aturan. Sebab mengubah masyarakat tidak semudah membalik telapak tangan. Dibutuhkan kesabaran dan keuletan yang tinggi.
Seorang penuntut ilmu bukanlah seorang pendekar yang baru saja selesai belajar bela diri. Dia turun dari gunung tempat dia belajar beladiri. Lalu saat pulang ia tantang semua orang untuk berkelahi. Baginya menguji ilmu adalah dengan bertanding dengan orang lain.
Belajar dien bukan untuk diperdebatkan. Mencari orang-orang lalu diajak berdepat. Kalau memang kita bangga. Tapi kalau kalah kita merasa sakit hati dan ingin balas dendam. Apalagi hari ini perbedaan di kalangan umat Islam sangat banyak. Maka dibutuhkan kedewasaan antar dai.
Penyebab ketiga, kaku dalam menerapkan ilmu agama. Misalnya lebih suka melihat perbedaan dan membesar-besarkannya daripada melihat persamaan yang ada di umat. Perbedaan ini yang dikipas-kipas hingga apinya membesar. Sehingga orang orang lebih suka berdebat daripada menyelesaikan masalah masalah keumatan.
Misalnya dai yang memaksakan sesuatu pada masyarakatnya. Jika ia memahami cadar itu sunnah, maka seharusnya dia tidak memaksakan cadar pada mad’unya. Sebab masih banyak keluarga yang belum siap menerima orang bercadar. Atau masih banyak pula masyarakat yang alergi dengan cadar karena dianggap eksklusif dan radikal. Maka ia harus menghindari mafsadat dan lebih memilih maslahat yang lebih besar.
Maka karena dia menganggap cadar adalah sunnah, dia bisa menggunakan kaidah “Jika ada dua madharat (bahaya) saling berhadapan maka diambil yang paling ringan.”
Nah, dari sini kit bisa ambil sebuah kesimpulan, bahwa dakwah sebaiknya bertahap. Janganlah dakwah itu tergesa-gesa dan ingin segera mendapatkan hasil yang optimal. Semua ada tahapannya dan semua ada fasenya. Nikmati saja dakwah anda hingga Allah berikan jalan terbaik.
(sumber: majalah ar risalah: 212)