Maksud syari’at ada lima, yaitu: menjaga kemaslahatan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Segala yang dapat menjaga kelima pokok tersebut adalah maslahat. Sebaliknya, segala hal yang dapat merusak kelima pokok tersebut adalah mafsadat. Seluruh umat sepakat bahkan semua agama, bahwa adanya syari’at untuk menjaga kelima pokok di atas. (al-Ghazali, al-Mustashfa 2/482. al-Yubi, Maqashidu asy-Syari’ah wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah asy-Syar’iyah, 305).
Pokok utama dari lima kemaslahatan yang dijaga oleh syari’at terletak pada hifzhu ad-din (menjaga agama). Apabila dihadapkan pada dua kemaslahatan, yaitu kemaslahatan agama dan kemaslahatan lainnya (dunia), maka kemaslahatan agama lebih didahulukan. Allah telah menyebutkan dalam al-Qur’an bahwa maksud dari penciptaan hamba adalah untuk beribadah kepada-Nya, begitu dengan semua yang disyari’atkan. Buah dari ibadah tersebut bersifat abadi yang akan didapatkan di sisi Rabb semesta alam.
Di dalam syari’at, Allah memerintahkan umat Islam untuk berjihad menegakkan agama Allah dengan mengorbankan jiwa dan harta. Hal ini menjadi bukti bahwa urusan agama itu lebih utama daripada urusan dunia. Selain itu, mayoritas ulama meletakkan kepentingan agama pada urutan pertama yang harus didahulukan, sebab agama adalah dasar tegaknya urusan dunia dan akhirat sekaligus.
Wujud Dari Kemaslahatan Agama
Sebetulnya, dalam persoalan ini para ulama berselisih pendapat tentang tingkatan lima kemaslahatan, manakah yang harus diutamakan dan manakah yang harus dikalahkan. Terutama antara hifdzu ad-din (menjaga agama) atau hifdzu an-nafs (menjaga jiwa). Uraian di atas adalah pendapat yang dipilih. Kendati demikian, ada kondisi-kondisi tertentu yang boleh mendahulukan kemaslahatan dunia dari pada agama. Hal itu tidak bertentangan, inti persoalannya sama, yaitu demi menjaga kemashlahatan agama itu sendiri.
Penjelasannya, menjaga kemaslahatan jiwa adalah untuk beribadah kepada Allah dan mentaatinya. Oleh karena itu, jiwa orang kafir tidak dilindungi kecuali orang kafir yang terikat janji dengan kaum muslimin, semua untuk meraih kemaslahatan agama. Demikian juga dengan menjaga harta, sama artinya menjaga agama dan jiwa. Menjaga keturunan, tujuannya adalah menjaga jiwa. Menjaga akal, sama halnya menjaga agama dan kesempurnaan jiwa. Ini menunjukkan bahwa empat kemaslahatan di atas merujuk pada kemaslahatan agama. (Al-Yubi, Maqashidu asy-Syari’ah wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah asy-Syar’iyah, 312).
Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buthi menyebutkan urutan lima maqashid di atas sesuai dengan pendapat Imam asy-Syatibi, yaitu diawali dengan menjaga kemaslahatan agama, kemudian jiwa, akal, keturunan dan harta. Namun, jika kita perhatikan dalam tulisan beliau (Imam asy-Syatibi), sesekali beliau mendahulukan kepentingan keturunan dari pada akal, dan sesekali lain beliau mendahulukan akal dari pada keturunan. Terkadang pula beliau mendahulukan kepentingan harta dari pada akal. Perbedaan ulama seperti ini benar-benar nyata dan mereka memutuskan dalam kondisi-kondisi tertentu demi mewujudkan kemaslahatan agama itu sendiri, atau mewujudkan lima kemaslahatan secara bersamaan. [Syaikh Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Dhawabitu al-Mashlahah fi asy-Syari’ah al-Islamiyah].
Menggapai dua Maslahat Sekaligus
Dalam kondisi tertentu, apabila dihadapkan dua maslahat yang berkaitan dengan hak Allah dan hak anak adam, tidak diragukan lagi, pasti akan mendahulukan tercapainya dua kemaslahatan sekaligus dari pada satu kemaslahatan saja.
Misalnya suatu ketika, melihat orang tenggelam bertepatan dengan waktu shalat. Maknanya ada dua kemaslahatan, menyelamatkan jiwa orang yang tenggelam dan melaksanakan kewajiban agama, shalat. Tidak salah jika menyelamatkan jiwa orang yang tenggelam terlebih dahulu kemudian mengerjakan shalat, karena ia bisa melaksanakan shalat di akhir waktu atau meng-qadha’-nya, dan keselamatan jiwa saudaranya akan hilang jika melaksanakan shalat terlebih dahulu. Dengan demikian, ia bisa menggapai dua kemaslahatan sekaligus, yaitu menyelamatkan jiwa saudaranya dan mengerjakan shalat meskipun di akhir waktu atau meng-qadha’-nya. (al-Yubi, Maqashidu asy-Syari’ah wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah asy-Syar’iyah, 311-312).
Masih banyak contoh-contoh lainnya yang terjadi pada peristiwa tertentu dan menjadi pembahasan yang luas. Pada intinya kepentingan agama itu lebih utama, dan jika dalam kondisi tertentu dituntut mendahulukan kepentingan dunia, maka tidaklah boleh mengabaikan kemaslahatan agama atau justru menyelisihinya. Namun, harus berdiri di atas dasar agama dan tuntunanya. Sebagaimana disebutkan di awal, “Inti persoalannya sama, yaitu demi menjaga kemashlahatan agama itu sendiri.”
Perlu diketahui bahwa pembahasan di atas bersifat umum tentang antara kemaslahatan agama dan dunia. Ada pembahasan tersendiri yang lebih spesifik seputar hak Allah dan hak anak Adam, manakah yang harus didahulukan, bagaimana, dan seperti apa pelaksanaannya, permasalah ini banyak dibincangkan di kalangan ulama. Wallahu a’lam.