Ada kalimat indah yang saya dapatkan dari kitab Al-Fawa’id, karya fenomenal dari ulama besar Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Di mana beliau menulis, “Idza thala’a najmu himmah fii lailil bathaalah, wa radafahu qamarul ‘aziimah, asyraqat ardhul qalbi binuuri Rabbiha.”
Saya bisa merasakan keindahan bahasanya, namun terus terang, saya kesulitan untuk memilih diksi yang tepat untuk menerjemahkan. Pendekatan makna dari ungkapan beliau kurang lebih begini, “Bila bintang kemauan terbit di malam keberanian, bertepatan pula dengan hadirnya bulan tekad yang bulat, niscaya bumi hati akan tersinari oleh cahaya ilahi.”
TIGA UNSUR KESUKSESAN
Hati yang terpancari oleh cahaya ilahi adalah hati yang mengenali Pencipta-Nya secara tepat. Mampu membedakan antara yang haq dan yang bathil secara akurat. Dan, lebih mengutamakan kebenaran daripada kebathilan, hawa nafsu, bujukan setan, dan juga syahwat. Hal tersebut hanya bisa dilakukan oleh hati yang mengandung tiga unsur; ada kemauan, ada keberanian, dan ada tekad yang bulat. Lemahnya salah satu unsur tersebut memengaruhi redupnya cahaya hati, terlantarnya sebagian kewajiban, dan terjamahnya sebagian pantangan.
Unsur itu juga menyebabkan hati menjadi tegar berjalan di atas hidayah, fokus terhadap cita-cita yang luhur, dan gigih dalam menghalau segala rintangan yang menghalangi perjalanan. Bermodal tiga hal itulah orang-orang sebelum kita mampu meraih derajat yang tinggi di mata manusia dan mulia di sisi Allah. Mari kita hayati lebih dalam tiga unsur utama itu, dan bagaimana ketiganya mampu mempengaruhi kesuksesan seorang.
Perolehan suatu kedudukan maupun kemanfaatan bermula dari terbitnya kemauan. Ia ibarat ibu yang pada gilirannya melahirkan segala aktivitas yang hendak dikerjakan manusia. Tak ada kemauan, tak aka nada perjuangan dan pengorbanan. Tanpa cita-cita tak aka nada dorongan untuk berusaha. Oleh Karena itu, tingginya derajat kemuliaan harus diawali dengan cita-cita dan kemauan. Rekomendasi paling penting terkait cita-cita adalah; meraih kedudukan ‘lil muttaqiina imama (menjadi imam bagi orang orang yang bertakwa), golongan saabiqun bil khairat (berlomba dalam kebaikan), masuk jannah tanpa hisab, meniti shirath secepat kilat, dan mendamba firdaus, jannah yang paling tinggi dan paling tengah. Meskipun dengan unggulan amal yang tidak sama antara satu dengan lainnya.
Namun, kemauan bisa saja redup atau bahkan padam. Karena saatu kemauan terbit, perlahan ia akan menyaksikan betapa banyak rintangan menghadang di hadapan dan betapa banyak bahaya mengancam di perjalanan.
Jalan menuju cita-cita itu mahal. Banyak bukit ujian yang harus didaki, banyak bekal yang harus dikumpulkan, sangat sedikit teman perjalanan dan rela menjauhi kemauan syahwati yang diharamkan. Untuk menjamin konsistensi pada cita-cita ini dibutuhkan keberanian. Kemauan adalah langkah awal, lalu keberanian sebagai pengawal.
Ketika kemauan semakin mantap, keberanian juga telah tertancap maka hadirlah tekad dan kesungguhan. Ketika tekad telah tertanam, jalan pun terlihat jelas di depan mata. Seperti dikatakan, “idza shadaqal ‘azmu wadhahas sabiil.”
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami.” (QS. Al-Ankabut: 69)
NABI SEBAGAI TELADAN
Orang-orang pilihan sepanjang zaman, hanya diisi oleh orang-orang yang memiliki tiga kereteria itu. Dari tingkatan paling tinggi adalah para Nabi, shiddiqin, syuhada’ kemudian shalihiin.
Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam adalah orang yang memiliki kemauan yang tinggi. Sebagai seorang rasul, beliau memiliki harapan besar akan kebaikan umat. Kepedulian beliau terhadap umatnya dipuji oleh Allah,
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan bagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah)
Beliau juga seorang pemberani dalam menegakkan kebenaran di segala lini. Menghadap tribulasi dakwah, menerima resiko amar ma’ruf nahi munkar hingga sangat ketara pula keberanian beliau di medan laga.
Al-Barra’ berkata, “Ketika perang dahsyat berkecamuk, kami berlindung dengannya (di belakang Nabi), dan sesungguhnya orang-orang yang paling pemberani dari kami, posisinya sejajar dengan beliau.” Yakni berada di barisan pasukan yang paling depan. Karena rasul adalah pemimpin umat, dan pemimpin umat tidak boleh memiliki sifat penakut dan pengecut. Beliau bersabda,
Kalian tidak akan mendapatkan aku sebagai orang yang bakhil, pendusta maupun pengecut.” (HR. Bukhari)
Tentang hadits ini, Ibnu Hajar memberikan komentar, “Pada hadits ini terdapat celaan terhadap sifat-sifat yang disebutkan, yaitu bakhil, pendusta, dan pengecut, dan sesungguhnya pemimpin kaum muslimin tidak pantas memiliki sifat-sifat itu.”
Adapan tentang bulatnya tekad, juga keteguhannya dalam pendirian, teramat banyak kisah dan kesaksian. Beliau tidka berputus asa atas sikap kaum Thaif yang membalas dakwah Nabi dengan cacian, hinaan, maupun lemparan batu dan kotoran. Beliau juga tidak goyah sedikitpun dalam dakwahnya, meski dibujuk dengan kemewahan dan kekuasaan. Beliau memang layak dijadikan panutan, dan beliaulah pemilik ‘bumi’ hati yang paling terang oleh pancaran cahaya Ar-Rahman. Wallahu a’lam bis shawab.
Sumber: Muslim Hebat, Abu Umar Abdillah
–(Himayah Foundation)–