Cukup Mengikuti Tak Perlu Berkreasi
Matan Aqidah Ath-Thahawiyah ke-45:
وتعالى عن الحدود والغايات، والأركان والأعضاء والأدوات، لا تحويه الجهات الست كسائر المبتدعات
“(Allah) Mahatinggi dari batasan, anggota badan, dan tidak diliputi oleh arah yang enam seperti semua makhluk.”
Kata hudud dan ghayat dalam matan ini adalah sinonim yang bermakna batasan, sebagaimana kata arkan, a’dha’, dan adawat yang berarti anggota badan atau bagian tubuh. Dengan matan ini, Abu Ja’far ath-Thahawiy mensucikan Allah dari penyerupaan dengan semua makhluk-Nya. Ini yang beliau kehendaki.
Namun, tak ada gading yan tak retak dan tak ada manusia yang maksum selain Rasulullah. Matan ke-45 dari ‘Aqidah Thahawiyah ini termasuk matan yang diperdebatkan oleh para ulama. Sampai-sampai sebagian ulama menuduh Abu Ja’far ath-Thahawiy tidak lagi berkaqidah salaf. Sebab beliau tampak menegasikan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah; sementara para Salaf hanya menegasikan sifat-sifat yang dinegasikan oleh Allah dan Rasul-Nya, disamping memposisikan sifat-sifat yang diposisikan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Di antara contoh ayat yang menegasikan sifat tertentu dari Allah adalah:
“Kantuk dan tidur tidak menyerang-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 255)
“Dan sekali-kali Allah tidak lengah dari apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 75)
Sesungguhnya Abu Ja’far memaksudkan matan ke-45 ini sebagai radd (antitesa) untuk orang-orang yang Musyabbihah yang menyatakan bahwa Allah merupakan satu tubuh, bahwa Dia terdiri dari tengkorak dan anggota badan, dan seterusnya. Makna yang beliau inginkan benar, tetapi belakangan ada orang-orang yang meluaskan penegasian itu, sehingga semua sifat dinafikan berdasarkan matan ini. Termasuk sifat-sifat yang ditetapkan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah seperti sifat tangan, wajah, bersemayam dan lain sebagainya.
Menyikapi Dengan Arif
Ibnu Abul ‘Izz menerangkan, ulama yang menggunakan lafazh-lafazh yang tidak ditetapkan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tidak boleh buru-buru dihukumi keliru. Yang benar, maksud ucapannya mesti dilihat terlebih dahulu. Jika maksudnya adalah makna yang shahih, maka diterima; jika maksudnya tidak benar, maka ditolak. Meskipun demikian, harus selalu diingat bahwa penggunaan lafazh-lafazh yang ditetapkan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah lebih baik dan lebih utama. Memang, terkadang penggunaan lafazh-lafazh itu diperlukan, seperti pada kasus Abu Ja’far yang menyanggah Musyabbihah.
Ungkapan Abu Ja’far bahwa Allah tidak diliputi oleh enam arah (atas, bawah, depan, belakang, kanan, kiri) adalah ungkapan yang benar jika dipandang bahwa Dia tidak diliputi oleh sesuatu makhluk. Sebab Dia-lah yang meliputi segala sesuatu. Jadi, inilah sebenarnya yang dikehendaki oleh beliau, bahwa Dia meliputi segala sesuatu. Namun ungkapan beliau ini tidak otomatis menegasikan keberadaan Allah di atas semua makhluk. Sebab sifat itu telah ditetapkan oleh Rasulullah.
Atsar Salaf
Ada banyak contoh dari para Salaf mengenai komitmen mereka untuk hanya ber-ittiba’ dan tidak berbuat bid’ah dalam masalah ini. Abu Dawud ath-Thayalisiy menuturkan bahwa Sufyan, Syu’bah, Hammad bin Zaid, Hammah bin Salamah, Syarik, dan Abu ‘Awanah tidak menetapkan batasan Allah, tidak menyerupakan-Nya, tidak memisalkan-Nya, dan mereka meriwayatkan hadits-hadits tentang sifat serta tidak menanyakan kaifiyahnya. Jika mereka ditanya, mereka mencukupkan diri dengan atsar.
Sahl bin ‘Abdullah at-Tustariy pernah ditanya tentang Dzat Allah, ia menjawab, “Dzat Allah tersifati dengan ilmu, tidak dapat dicapai dengan penguasaan ilmu manusia, tidak terlihat dengan mata dunia, wujud dengan hakikat iman tanpa batasan, tanpa penguasaan, tanpa menempati makhluk, terlihat dengan mata di akhirat, nyata dengan kekuasaan dan kemampuan-Nya, Dia menghalangi makhluk dari mengetahui hakikat Dzat-Nya. Dia mendatangkan banyak ayat yang menunjukkan eksistensinya, hati mengetahui tapi mata tidak dapat melihatnya. Orang yang beriman memandang-Nya dengan mata kepala tanpa meliputi dan bukan penglihatan sampai akhir.”
Di dalam kitab “al-Fiqhul Akbar”, Ibnu Hanifah berkata, “Dia (Allah) memiliki tangan, wajah dan diri sebagaimana Dia –Yang Maha Suci- menerangkannya di dalam al-Qur’an. Bagi-Nya itu adalah sifat tanpa kaifiyah. Tidak dikatakan bahwa tangan-Nya adalah kuasa dan nikmat-Nya. Karena jika demikian, maka itu bermuatan penegasian sifat.”
Pernyataan Abu Hanifah ini berdasarkan firman Allah,
Allah berfirman: “Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?.” (QS Shad :75)
Jika tangan berarti kuasa, niscaya Iblis akan membantah firman Allah ini, sebab dia juga diciptakan oleh Allah dengan kuasa Allah, dan tidak ada keutamaan bagi Adam atas Iblis. Hanya saja, tidak benar juga jika dikatakan bahwa sifat-sifat itu adalah anggota badan atau bagian dari Allah.
Pelajaran Dari Imam Ahmad
Di dalam kitab “Minhajus Sunnah an-Nabawiyah”, Ibnu Taimiyah menyitir kisah intimidasi yang dialami oleh Imam Ahmad. Saat itu beliau dalam keadaan dibelenggu dengan rantai besi. Didatangkanlah para tokoh Mu’tazilah dan Ahli bid’ah untuk mendebat beliau. Mereka membujuk Imam Ahmad untuk mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk.
“Tunjukkan dalil dari al-Qur’an atau as-Sunnah!” Kata sang Imam.
Maka majulah salah seorang dari mereka yang bernama Burghuts, salah seorang pentolan dari Mu’tazilah.
“Wahai Ahmad, jika kamu mengatakan bahwa al-Qur’an itu bukan makhluk, maka konsekuensinya kamu akan mengatakan bahwa Allah itu adalah suatu tubuh. Sebab jika al-Qur’an bukan makhluk, berarti ia adalah sifat, sedangkan sifat dan perbuatan tidak akan terjadi tanpa adanya anggota badan atau anggota tubuh!”
Imam Ahmad menjawab, “Tentang Rabbku kukatakan apa yang Dia katakan. Dia berfirman, ‘Katanlah (hai Muhammad), ‘Dialah Allah, yang Mahaesa. Allah adalah ash-Shamad, tidak beranak dan tidak dipernakan. Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya’.” (QS. Al-Ikhlas: 1-4)
Mengenai jisim dan yang semisalnya, kami tidak menetapkan dan tidak menegasikannya. Sebab semua itu tidak ada di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dan tidak ada kabar dari Salaf mengenai hal itu, maka tidak ada kewajiban sesuatu pun atasku. Dan hal itu tidak mengharuskanku mengatakan bahwa Dia adalah jisim.”
Tak Cukup Cakap Bahasa
Ada yang mengatakan, karena al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab, maka jika hendak ingin memahami makna sifat atau yang lain, hendaklah kita kembali ke bahasa Arab, dan ungkapan ini pun keliru. Sebab kembali kepada bahasa adalah kembali kepada kemungkinan-kemungkinan tanpa aturan. Apalagi bahasa Arab adalah bahasa yang paling luas. Dalam bahasa Arab, singa disebut dengan 500 nama, demikian pula dengan matahari dan masih banyak lagi yang lainnya. Jika kita memahami al-Qur’an dan as-Sunnah hanya dengan bahasa Arab, maka kita akan mendapati sekian banyak makna dan kita justru akan kebingungan.
Yang benar, kita mengembalikan al-Qur’an dan as-Sunnah kepada bagaimana Rasulullah dan para sahabat memahaminya. Yang demikian ini karena mereka memiliki bahasa Arab dan ditambah dengan wahyu (oleh Rasulullah). Oleh sebab itulah kita tidak diperbolehkan berpaling dari makna suatu lafazh yang mereka pahami, meskipun kepada makna yang memang ditunjukkan secara bahasa. Wallahua’lam.
(ar risalah : 85)