Cara Terbaik Membalas Sakit Hati
Sakit hati, marah dan kecewa adalah bagian dari emosi manusia. Sebuah ekspresi yang menunjukan bahwa ada sesuatu yang menyesakkan dada, sesuatu yang membuatnya terluka meskipun tidak berdarah.
Memang expresi-ekspresi tersebut seringnya berkonotasi negatif. Betapa banyak berita-berita yang menampilkan sekian kasus pembunuhan yang dilatarbelakangi dengan hal sederhana; sakit hati, marah, dan kecewa.
Tiga hal tersebut ibarat api yang membakar tungku-tungku energi negatif manusia, sehingga mereka sanggup untuk melakukan tindakan-tindak buruk, demi memuaskan hasrat balas dendam, yang dianggap mampu mengobati rasa kecewa dan hati yang terluka.
Namun tidak selamanya kecewa dan sakit hati harus dibalas dengan cara-cara nista. Ada cara lain yang lebih mulia, cara “balas dendam” yang elegan, cara membalas hati yang luka tanpa menghadirkan luka yang sama.
Teladan Nabi Yusuf Membalas Perbuatan Saudara-saudaranya
Allah menceritakan dalam al-Quran beberapa episode kisah tentang sakit hati dan kecewa. Salah satunya adalah kisah Nabi Yusuf ‘alahi salam. Sang Nabi yang tampan rupawan.
Adalah Nabi Yusuf ‘alahi salam, Allah takdirkan berada di tengah-tengah keluarga kenabian. Ayahnya, Nabi Ya’kub ‘alahi salam begitu mencintainya, begitu perhatian dan sayang kepadanya. Namun sayangnya, saudara-saudaranya tidak demikian. Mereka justru membenci Yusuf.
Kebencian saudara-saudara Yusuf disebabkan karena cemburu dan kecewa karena Yusuf lebih dicintai oleh ayah mereka. Allah merekam hal tersebut dalam al-Quran:
إِذۡ قَالُواْ لَيُوسُفُ وَأَخُوهُ أَحَبُّ إِلَىٰٓ أَبِينَا مِنَّا وَنَحۡنُ عُصۡبَةٌ إِنَّ أَبَانَا لَفِي ضَلَٰلٍ مُّبِينٍ
“(Yaitu) ketika mereka berkata: “Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai oleh ayah kita dari pada kita sendiri, padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat). Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata.” (QS. Yusuf: 8)
Kecewa. Itu yang membuat saudara-saudara Yusuf iri dan benci kepada Yusuf, sehingga membuat mereka tega merencanakan untuk membuangnya, menjauhkannya dari ayah mereka. Agar cinta sang ayah tidak terpusat kepadanya saja. (lihat: Abdurrahman as-Sa’di, Taisir Kalim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, 1/454)
Rencana jahat mereka juga Allah abadikan dalam al-Quran:
ٱقۡتُلُواْ يُوسُفَ أَوِ ٱطۡرَحُوهُ أَرۡضاً يَخۡلُ لَكُمۡ وَجۡهُ أَبِيكُمۡ وَتَكُونُواْ مِنۢ بَعۡدِهِۦ قَوۡماً صَٰلِحِينَ
“Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu daerah (yang tak dikenal) supaya perhatian ayahmu tertumpah kepadamu saja, dan sesudah itu hendaklah kamu menjadi orang-orang yang baik”.(QS: Yusuf: 9)
Surat Yusuf menceritakan dengan detail mengagumkan bagaimana perjalanan panjang Nabi Yusuf ‘alahi salam menjalani hari-harinya di pembuangan. Ia dibuang ke sumur, dijual sebagai sahaya, menjadi pembantu bangsawan, hingga terfitnah dan berakhir di penjara.
Bayangkan, betapa perih hari-hari yang dilalui Nabi Yusuf ‘alahi salam, betapa sakit hatinya jauh dari keluarga, dari ayah dan saudara kandungnya. Kepahitan menjadi orang buangan rasanya cukup menjadi alasan untuk membalas dendam saat kesempatan itu datang.
Sangat manusiawi jika Nabi Yusuf ‘alahi salam membalas perbuatan saudara-saudaranya yang telah memperlakukannya dengan buruk. Apatah lagi, setelah tahun-tahun menyedihkan yang telah ia alami.
Tapi sikap yang diambil Nabi Yusuf ‘alahi salam berbeda, ia membalas perbuatan saudara-saudaranya dengan cara yang berkelas. Sakit hati itu dibalas dengan prestasi, dibalas dengan maaf dan ampunan.
From Zero To Hero
Allah mencatat episode di mana Nabi Yusuf ‘alahi salam, setelah berhasil menakwilkan mimpi sang raja, serta berhasil memberi solusi atas musim panceklik yang mengancam negeri. Alhasil, ia diangkat menjadi menteri perbendaharaan negeri.
Allah Ta’ala berfirman:
وَكَذَٰلِكَ مَكَّنَّا لِيُوسُفَ فِي ٱلۡأَرۡضِ يَتَبَوَّأُ مِنۡهَا حَيۡثُ يَشَآءُۚ نُصِيبُ بِرَحۡمَتِنَا مَن نَّشَآءُۖ وَلَا نُضِيعُ أَجۡرَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ
“Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju kemana saja ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Yusuf: 56)
Nabi Yusuf ‘alahi salam bertransformasi, from zero to hero, dari seorang sahaya yang terpenjara karena fitnah, menjadi penguasa terpandang dan terhormat. Maka cara Nabi Yusuf ‘alaihi salam membalas sakit hati dan kecewannya adalah dengan; maaf dan prestasi.
Ibnu Katsir menceritakan bahwa setelah Nabi Yusuf ‘alahi salam menjadi petingi bendahara Negara, suatu hari saudara-saudaranya datang ke Mesir untuk meminta bahan makanan, dikarenakan sedang terjadi kemarau panjang dan kesusahan pangan.
Mereka menghadap Nabi Yusuf ‘alaihi salam dengan pakaian kebesarannya, yang sudah tidak mereka kenali lagi. Namun Nabi Yusuf ‘alahi salam mengenal mereka. Dan merencanakan sesuatu untuk memberi pelajaran kepada saudara-saudara tuanya yang dulu membuangnya.
Maka singkat cerita, setelah kisah panjang berliku tersebut, saudara-saudara Yusuf ‘alahi salam mengakui keutamaan yang telah Allah berikan kepadanya.
“Mereka berkata: “Demi Allah, sesungguhnya Allah telah melebihkan kamu atas kami, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)”. (QS. Yusuf: 91)
Nabi Yusuf ‘alahi salam, dengan lapang dada, bahkan setelah tahun-tahun panjang penderitaan, yang seharusnya cukup baginya untuk memilih sikap balas dendam yang buruk atas sakit hati dan kecewa. Namun dengan kemuliannya, ia justru memaafkan, berdamai dengan pahitnya kisah masa lalu. (Ibnu Katsir, Qishas al-Anbiya’, 331-334)
“Dia (Yusuf) berkata: “Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang diantara para penyayang”. (QS.Yusuf: 92)
Sakit hati dan kecewa itu akhirnya terbalaskan. Bukan dengan perbuatan buruk serupa, tapi dengan maaf dan ampunan.
Maka Nabi Yusuf ‘alahi salam telah membalas perbuatan saudara-saudaranya dengan balasan yang tidak akan pernah terlupakan oleh mereka, dan menjadi teladan bagi kita.
Bahwa cara membalas terbaik adalah seperti pohon mangga, saat ia dilempar batu justru balasan yang diberikan adalah buahnya.
Memaafkan adalah Akhlak Para Nabi
Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, mencatat satu peristiwa na’as yang menimpa Nabi Muhammad shalallahu ‘alahi wa salam beserta Zaid bin Haritsah, saat keduanya melakukan lawatan dakwah ke Thaif.
Ini merupakan bagian dari usaha Nabi mencari pendudukung dakwah Islam ke luar kota Makkah, Nabi menyeru para pemuka kabilah Tsaqif untuk menerima Islam sebagai satu-satunya agama yang diyakini.
Namun yang beliau terima justru penolakan yang menyakitkan. Hinaan, cacian, dan kata-kata umpatan terus dilontarkan penduduk Thaif selama beliau di sana. Ungkapan-ungkapan hina tersebut menunjukkan bahwa mereka menolak seruan yang disampaikan.
Tidak cukup kata-kata, batu-batu pun ikut bicara. Mereka lemparkan kepada Nabi dan Zaid saat mereka pergi meninggalkan Thaif. Nabi terluka, tumitnya bersimbah darah, meninggalkan jejak menjauh dari perkampungan tersebut.
Kata-kata hina yang dilontarkan, dan luka yang ditorehkan penduduk Thaif rasanya cukup jadi alasan Nabi untuk membenci mereka. Cukup rasanya untuk Nabi mengangkat tangan berdoa agar mereka ditimpa adzab yang menghancurkan.
Tapi akhlak kenabian tidak demikian. justru teladan Nabi bagi kita adalah; bersabar dan memaafkan. Mendoakan dengan kebaikan, sembari berharap Allah akan hadirkan dari keturunan mereka orang-orang yang beriman.
Maka tatkala Allah mengutus malaikat penjaga gunung kepada Nabi, dan menawarkan untuk menimpakan gunung Akhasyabain atas mereka sebagai balasan, namun pilihan Nabi justru menolak hal tersebut.
“Bahkan aku berharap kelak Allah memunculkan dari tulang rusuk mereka (keturunan), orang-orang yang menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Inilah keagungan dari sikap Nabi, sebuah teladan tentang memaafkan. Bahwa sakit hati dan kecewa tidak selalunya dibalas dengan hal serupa. (lihat: Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Ar-Rahiq al-Makhtum, 243-246)
Maka cukuplah firman Allah dalam surat Asy-Syura ayat 40 sebagai penenang setiap sakit hati, kecewa dan marah yang dirasakan. Bahwa Allah menyiapkan pahala yang besar bagi mereka yang mau memaafkan.
وَجَزَٰٓؤُاْ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثۡلُهَاۖ فَمَنۡ عَفَا وَأَصۡلَحَ فَأَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلظَّٰلِمِينَ
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.”
(Ust. Fajar Jaganegara, S.Pd.I)