Buku, Suami Keduaku !
Bagi sebagian muslimah, terutama yang telah menikah, meluangkan waktu untuk membaca buku di rumah bukanlah sesuatu yang mudah. Kesibukan mengurus rumah tangga, melayani suami dan anak-anak, serta seabrek tanggung tanggung jawab lainnya yang dipikul para ibu, seringkali menjadikan mereka seakan tak sempat lagi membaca buku. Apalagi kaum muslimah yang di samping mengurus keluarga juga harus nyambi mencari nafkah di luar rumah, dengan berkerja. Praktis, kehidupan hariannya tak pernah terisi dengan aktivitas membaca dan menelaah ilmu yang sebenarnya sangat urgen untuk dilazimi. Inilah sebuah bencana yang sering menimpa kehidupan para ummahat kita.
Buku Laksana Nasi
Saya memang tak suka membaca. Saya nggak hobi membaca.” Mungkin ada sebagian para ibu yang beralasan seperti itu. Bahkan, alasan nggak hobi membaca itu sering menjadi alasan banyak orang yang seama ini belum mampu menancapkan budaya baca dalam hidupnya. Berarti, di samping kesibukan mengurus rumah tangga, ada satu faktor penting yang bisa menyebabkan para ibu nggak suka membaca buku. Yakni klaim diri bahwa memang sejak ‘dari sananya’, sudah menjadi takdirnya mungkin, ia terlahir sebagai orang yang tak suka membaca!
Pola pikir seperti itulah yang digugat’ oleh Dr. Raghib Sirjani, penulis Misteri Shalat Subuh yang laris manis itu, di dalam bukunya Iqra’ La Budda an Taqra’. Dr. Raghib menegaskan bawha salah besar jika ada orang yang memposisikan membaca sebagai hobi atau kegemaran. Salah besar orang yang mengatakan “Hobiku membaca”.
Membaca bukanlah hobi, tapi merupakan konsep hidup dan kebutuhan primer, layaknya makan, minum, tidur dan lain-lain. Maka, sangat lucu tatkala orang berkata, “Hobiku makan.” Makan bukanlah kegemaran, tapi kebutuhan pokok. Demikian juga membaca. Maka, sangat tidak tepat juga tatkala orang berkata, Saya tak suka membaca”, atau, “Saya tak biasa membaca”, atau, “Saya cepat bosan membaca”. Apakah ia juga akan berkata, “Saya tak suka makan”, atau, “Saya bosan makan.”?
Ukhti Muslimah, buku sebenarnya laksana nasi. Sedang aktivitas membaca ibarat makan, yang tak bisa ditinggalkan. Ia kebutuhan pokok, kebutuhan primer, yang tak mungkin disangsikan urgensinya bagi kehidupan. Untuk itu, secara tegas Dr. Raghib Sirjani menasehatkan, “Anda harus membaca. Bukan hnaya satu atau dua buku. Bukan hanya sehari dalam sepekan, atau sebulan dalam setahun saja. Tapi, membaca harus menjadi konsep hidup anda. Jangan sampai satu hari berlalu sementara anda tidak membaca.”
Mereka Juga Getol Membaca
Hanya decak takjub yang tersimpul di bibir ini tatkala kita menyimak perjalanan hidup para ulama kita terdahulu. Mereka begitu mampu menorehkan lembaran hidup yang sangat bercahaya. Termasuk saat kita menyimak semangat membaca mereka yang sangat membara, tiada tandingannnya. Beberapa percikan kisah ini semoga menjadi cermin indah yang akan membuat hati kita tergugah.
Abu Nashr Al-Maliki di dalam Irsyad Arib (18/139) menuturkan, “Pada suatu hari, kami membincangkan berbagai tempat rekreasi paling indah, sedang Ibnu Duraid bersama kami. Sebagian orang berkata, “Tempat yang paling indah adalah lembah yang berada di Damaskus.” Sementara yang lain berkata, “Tempat yang paling elok adalah sungai Ubullah.” Yang lainnya berkata, “Sughdu Samarkand.” Yang lainnya mengatakan, “Dua sungai di kota Baghdad.” Yang lainnya berpendapat, “Lembah Bawwan.” Lainnya lagi berkata, “Bunga Balakh (pohon).”
Lalu, Ibnu Duraid berkata, “Semua yang kalian sebutkan itu hanyalah tempat rekreasi indah bagi pendangan mata, namun mengapa kalian tidak memikirkan tempat-tempat rekreasi bagi hati?” kami bertanya, “Apa tempat rekreasi bagi hati, wahai Ibnu Duraid?” Ia menjawab, “(Kitab) Uyunul Akbar karya Al Qatabi, Az-Zuhrah karya Ibnu Dawud, Qalaqul Musytaq karya Ibnu Abi Thahir.” Kemudian ia melantunkan beberapa bait syair :
Kalau semua orang rekreasinya adalah biduanita
Juga gelas yang dituangkan dan ditenggak
Maka hiburan dan rekreasi kami adalah
Berdiskusi dan menelaah buku
Al Hafizh Ibnu Abdul Hadi, murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, menyebutkan beberapa sifat mulia yang dimiliki gurunya, “Jiwanya tak pernah merasa kenyang dengan ilmu, tak pernah puas dengan menelaah, tak pernah bosan dengan berbagai kesibukan, serta tak pernah letih mengkaji suatu permasalahan.”
Bahkan, beliau tetap membaca buku walau beliau sedang didera sakit yang parah. Imam Ibnul Qayyim di dalam Raudhatul Muhibbin wa Nuzhatul Muttaqin menuturkan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah bercerita, “Ketika saki mulai menerpa diri saya, dokter berkata kepada saya, ‘Setiap kali anda menelaah dan berdiskusi tentang ilmu, maka sakitmu akan bertambah parah.’ Saya katakan, ‘Saya tidak bisa meninggalkannya. Bukankah apabila jiwa kita gembira, merasa senang dan kondisinya kuat, maka semua itu akan menghilangkan penyakit?” Ia berkata, ‘Ya, tentu.’ Saya pun berkata, ‘Ketahuilah, sungguh jiwa saya merasa senang dengan ilmu. Dengannya kondisi jiwa saya akan semakin kuat, saya akan merasa nyaman dan rileks.’ Dokter itu berkata, ‘Kalau begitu, ini di luar pengobatan kami.”
Ibnul Jauzi di dalam Shaidul Khathir menegaskan, “Saya tak pernah merasa kenyang menelaah berbagai buku. Setiap kali saya melihat buku yang belum pernah saya baca, maka saya seakan-akan menemukan harta karun yang sangat berharga.”
Menyapu Sambil Baca Buku
Ini soal waktu, para muslimah perlu mengagendakan jadwal khusus untuk membaca buku, dan berkomitmen menepatinya. Misalnya, sesudah shalat Isya`, atau satu jam sebelum shalat Shubuh, atau satu jam sebelum tidur, dan lain sebagainya. Ini penting sekali, agar membaca buku menjadi kebiasaan ilmiah yang tak pernah layu. Bisa juga dilakukan sembari mengerjakan beragam aktivitas rumah tangga. Misalnya saat menyapu, saat memasak di dapur, bahkan saat menyusui bayi pun bisa digunakan untuk membaca. Tentunya, pada momen-momen yang ‘tidak fokus’ seperti ini, dibaca saja artikel-artikel yang ringan namun sarat dengan ilmu. Membaca majalah Islam misalnya. Jangan biarkan waktu anda berlalu, tanpa ada ilmu yang baru.
Ukhti muslimah, sudah saatnya anda sekarang menjadikan buku sebagai ‘suami’ anda yang kedua. Dan saya yakin, syariat ini tidak melarang anda untuk ‘berpoligami’, dengan menjadikan buku sebagai suami kedua anda yang selalu menyertai dan menemani hari-hari anda. Wallahu a’lam.
(ar risalah : 103 Abu Shofiyah)