Bukti Cinta Terhadap Harta
Harta merupakan kebutuhan setiap jiwa. Dengan harta dunia dapat terbeli, sehingga kebutuhan selalu tercukupi. Dengan harta bersedekah menjadi mudah, sehingga pahala kian bertambah. Tidak heran jika di zaman Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam orang-orang miskin datang menemui beliau karena iri terhadap sahabat-sahabat yang mendapatkan kelebihan harta. Keirian mereka bukan kerena rasa dengki terhadap sahabat-sahabat yang kaya, namun semata-mata karena tidak dapat meraih keutamaan-keutamaan (bersedekah) sebagaimana orang-orang yang mampu. Abu Dzar Al Ghifari meriwayatkan, bahwa ada sekelompok sahabat Rasulullah melapor,
“Wahai Rasulullah orang-orang kaya telah memborong pahala. Mereka sholat sebagaimana kami sholat, mereka berpuasa sebagaimana kami puasa, namun mereka dapat bersedekah dengan kelebihan hartanya.” (HR. Muslim).
Demikianlah Allah Allah Ta’ala memberikan keutamaan kepada setiap hambanya. Mereka yang dilebihkan harta dimudahkan pada beberapa urusan di dunia, namun di akhirat mereka akan lebih lama menjalani hisab (perhitungan). Sementara mereka yang miskin harus bersabar tetkala di dunia, namun di akhirat mereka lebih ringan hisab-nya tidak sebagaimana orang-orang yang kaya. Allah Allah Ta’ala berfirman, “Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Al-Hadid : 21).
Cinta terhadap harta merupakan fitrah manusia. Sebagaimana yang disebutkan dalam Al Qur’an, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, dan harta yang banyak.”(Ali Imran : 14). Namun perlu diingat, bahwa harta dapat menjadi rahmat sehingga pemiliknya akan selamat. Atau sebaliknya, harta juga dapat menjadi fitnah sehingga pemiliknya jauh dari jannah. “Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai fitnah (cobaan).” (Al Anfal : 28). Hal ini tentunya tergantung bagaimana seseorang menyikapi harta yang dimilikinya.
Agar seseorang selamat dari fitnah harta maka ia harus tulus dalam mencintainya. Sementara cinta yang tulus tidaklah sekedar ucapan, tapi harus ada pembuktian. Seorang yang menggunakan hartanya untuk memenuhi keinginan nafsu dunia, berarti ia tidak cinta terhadap harta. Bagaimana tidak, ia memborong segala yang disukanya untuk ditinggalkan begitu saja di dunia. Sementara tidak ada yang tersisa untuk dijadikan simpanan di negri akhirat yang abadi. Orang yang tulus mencintai harta akan menyisihkannya untuk akhirat, sehingga kelak ia termasuk yang akan selamat.
Di dalam Al Qur’an, Allah Allah Ta’ala menceritakan tentang orang-orang yang mereka dapat merasakan apa yang dahulu mereka juga dapatkan tatkala di dunia. Tentunya mereka itu adalah orang-orang yang selamat dari fitnah harta, sehingga kekayaannya dapat kembali dinikmati pada kemudian hari. “Mereka mengatakan: “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu (ketika di dunia).” Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah : 25).
Bagi Allah Allah Ta’ala sangatlah mudah untuk mengembalikan apa yang dimiliki hamba tatkala di dunia. Bahkan bisa jadi Ia menggantinya dengan yang serupa atau lebih baik dari sebelumnya.“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, dengan pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (Al-Baqarah : 245).
Ayat tersebut memberikan arahan kepada setiap hamba, bahwa bukti cinta terhadap harta adalah dengan menginfakkannya di jalan Allah. Sehingga apa yang dimilikinya tidaklah sirna dan sia-sia. Adapun menahan harta, bersifat bakhil, dan tidak menyedekahkannya hanya akan mendatangkan bencana tatkala menghadap Rabb Sang Pencipta.
Hal ini sebagaimana yang dinasehatkan oleh Sufyan bin Uyainah kepada murid-muridnya, bahwa salah satu dari tiga orang yang paling besar penyesalannya pada hari kiamat adalah,“Orang yang memiki harta namun ia tidak menyedekahkannya, sehingga ia meninggal dunia dan hartanya diwariskan kepada selainnya, kemudian mereka bersedekah dengannya.” (Shifatush Shafwah Abdurrahman bin Ali bin Muhammad Abul Farj : 2/235).
Dari nasehat Sufyan bin Uyainah di atas dapat disimpulkan bahwa tidak jarang harta yang sama akan mendatangkan akibat yang berbeda (pada hari kiamat) bagi para pemegangnya. Orang yang bakhil akan dimintai pertanggungjawaban atas ketidakpeduliannya, sehingga nerakalah tempat yang paling pas baginya. Sementara orang lain yang mewarisi dari hartanya, akan memperoleh banyak kebaikan lantaran sedekah yang selalu ia keluarkan.
Mari selamatkan diri kita dari neraka. Salah satunya adalah dengan membuktikan kecintaan terhadap harta sebagaimana mestinya. Apa yang kita miliki hanyalah sekedar titipan, yang suatu saat akan dipertanyakan. Harta melimpah yang diusahakan, menjadi fitnah jika salah dalam menyalurkan. Harta melimpah yang dikumpulkan, menjadi berkah jika selalu disedekahkan. Sifat kikir yang dipelihara, menjadi bencana di kemudian kala. Dan sifat dermawan yang terjaga, mendatangkan pahala yang tiada tara. Wallahu waliyuttaufiq. (Muhaimin Adi Nurrahman)