Bila Dapat Bersatu, Mengapa Harus Berseteru ??

            Islam datang pada saat manusia berselisih dan saling bermusuhan, bahkan sampai terjadi peperangan diantara kabilah bangsa arab. Hadirnya sosok Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjadi penyambung ikatan yang terputus, menjadi katalisator[1] di antara dua kutub yang sebelumnya saling berlawanan. Oleh karenanya, tidak ada nikmat terbesar melainkan nikmat hadirnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa islam sebagai sumbu utama  kemuliaan, dan menjadi penyelamat dari kehinaan dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman.

… وَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْ كُنْتُمْ اَعْدَاۤءً فَاَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَاَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهٖٓ اِخْوَانًاۚ وَكُنْتُمْ عَلٰى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنْقَذَكُمْ مِّنْهَا ۗ…

            “ … dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana…” (Q.S. al-Imran : 103)

            Oleh karenanya, Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk bergembira dengan hadirnya islam sebagai ad-Dinul Haq dan al-Qur’an sebagai al-Huda.

قُلْ بِفَضْلِ ٱللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِۦ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا۟ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ

            “Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.(Q.S. Yunus : 58)

Al-Imam Ibnu Kasir rahimahullah berkata :

بهذا الذي جاءهم من الله من الهدى ودين الحق , فليفرحوا, فإنه أولى ما يفرحون به

            “ Dengan ini yang telah dibawa kepada mereka dari petunjuk (al huda0 dari Allah dan ad-Dinul Haq (agama yang benar yaitu islam), maka hendaklah mereka bergembira karena sesungguhnya kegembiraan ini adalah yang lebih utama untuk mereka bergembira dengannya.”[2]

Maka bergembira dengan hadirnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam adalah wajib, dengan kegembiraan yang melebihi dari kegembiraan lainnya. Banyak cara yang dapat dilakukan sebagai wujud kegembiraan, selama hal itu tidak mengandung dosa dan maksiat.  Perhatikanlah !! kisah arab badui yang begitu senang dan gembira setelah ia mengenal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, dia bertanya perihal kapan terjadi hari kiamat, sebagaimana yang diceritakan oleh Anas bin Malik radhyallahu ‘anhu

عن أنس بن مالك رضي الله عنه أن أعربيا قال لرسول الله صلي الله عليه وسلم : متي الساعة ؟ قال رسول الله صلي الله عليه وسلم ما أعددت لها ؟ قال : ما أعددت لها من كثير صلاة ولا صوم ولا صدقة ولكنى أحب الله ورسوله, قال : أنت مع من أحببت .

            Dari Anas bin Malik radhyallahu ‘anhu sesungguhnya seorang arab badui telah datang dan bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam : kapan hari kiamat ? Rasululllah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab : apa yang sudah kamu persiapkan untuk menghadapinya ?. lalu ia menjawab : aku tidak mempersiapkan apa2 dengan banyak shalat, puasa dan shadaqah kan tetapi aku mencintai Allah dan rasulNya. Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : Engkau akan bersama orang yang kamu cintai “ (HR. al-Bukhari no. 6171)

            Hadis ini tidak hanya berlaku bagi arab badui ini saja, melainkan berlaku bagi siapa saja yang telah beriman kepada Allah ta’ala dan rasulNya. Bukankah ini adalah bisyarah (kabar gembira), tidakkah kita seharusnya bergembira dengan kedatangan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ?, karena dengan mencintainya akan  memasukkan kita kedalam syurga, bahkan akan dapat membersamainya didalamnya syurga. Allahhu Akbar..!

            Apabila para sahabat saja mampu bersatu dengan ikatan cinta yang sama kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka  sudah sepantasnya pula, kaum muslimin hari ini untuk bersatu apabila mereka mengaku mencintai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Iftiraq (perpecahan) dan ikhtilaf (perselisihan) secara perlahan dan pasti hanya akan mengaburkan kecintaan dan keimanan kepada Allah dan rasulNya. Bagaimana mungkin seseorang yang mengaku mencintai rasulNya dan beriman kepada Allah Ta’ala yang telah mengutusnya dengan haq, dapat membenci dan memusuhi saudara seiman yang juga mencintai Allah dan Rasul.

  Tidak diragukan lagi, sikap ta’asub (fanatisme buta) telah mengaburkan dan menenggalamkan rasa cinta kepada sesama. Saling hujat dan menuduh dengan tuduhan sesat, ahli bid’ah, wahabi, dan hujatan lainnya, hanya  akan semakin memperkeruh dan mempertajam  permusuhan diantara kaum muslimin. Rasululllah shalallahu alaihi wasallam menyebutkan sikap fanatisme ini dengan sesuatu yang berbau busuk yang harus dijauhi.  Masing-masing kelompok akan merasa lebih baik dari yang lainnya.  Ibarat penyakit kronis yang   sulit untuk dicari obat penawarnya, kecuali bila keduanya mampu untuk berlapang dada dan saling memaafkan.

Sikap seperti ini pernah menimpa para sahabat dari kalangan anshar dan muhajirin, pada saat terjadi perselisihan diantara mereka. Sebagaimana dicceritakan oleh sahabat Jabir bin Abdillah radhyallahu ‘anhu

غَزَوْنَا مع النَّبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، وقدْ ثَابَ معهُ نَاسٌ مِنَ المُهَاجِرِينَ حتَّى كَثُرُوا، وكانَ مِنَ المُهَاجِرِينَ رَجُلٌ لَعَّابٌ، فَكَسَعَ أنْصَارِيًّا، فَغَضِبَ الأنْصَارِيُّ غَضَبًا شَدِيدًا حتَّى تَدَاعَوْا، وقالَ الأنْصَارِيُّ: يا لَلْأَنْصَارِ، وقالَ المُهَاجِرِيُّ: يا لَلْمُهَاجِرِينَ، فَخَرَجَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَقالَ: ما بَالُ دَعْوَى أهْلِ الجَاهِلِيَّةِ؟! ثُمَّ قالَ: ما شَأْنُهُمْ؟ فَأُخْبِرَ بكَسْعَةِ المُهَاجِرِيِّ الأنْصَارِيَّ، قالَ: فَقالَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: دَعُوهَا؛ فإنَّهَا خَبِيثَةٌ. وقالَ عبدُ اللَّهِ بنُ أُبَيٍّ ابنُ سَلُولَ: أقَدْ تَدَاعَوْا عَلَيْنَا؟ لَئِنْ رَجَعْنَا إلى المَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ الأعَزُّ منها الأذَلَّ، فَقالَ عُمَرُ: ألَا نَقْتُلُ يا رَسولَ اللَّهِ هذا الخَبِيثَ؟ لِعَبْدِ اللَّهِ، فَقالَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: لا يَتَحَدَّثُ النَّاسُ أنَّه كانَ يَقْتُلُ أصْحَابَهُ.

“Kami pernah berperang bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika itu orang-orang Kaum Muhajirin sudah bergabung dan jumlah mereka semakin banyak. Di antara Kaum Muhajirin itu ada seorang laki- laki yang pandai memainkan senjata lalu dia memukul pantat seorang shahabat Anshar sehingga menjadikan orang Anshar ini sangat marah, lalu dia berseru seraya berkata; “Wahai Kaum Anshar”. Laki-laki Muhajirin tadi menimpali dan berseru pula; “Wahai Kaum Muhajirin”. Akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang dan bersabda: “Mengapa seruan-seruan kaum jahiliyah masih saja terus dipertahankan? ‘. Kemudian beliau bertanya; “Apa yang terjadi dengan mereka?”. Lalu beliau diberitahu bahwa ada seorang shahabat Muhajirin yang memukul pantat seorang shahabat Anshar. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tinggalkanlah seruan itu karena hal semacam itu tercela (buruk) “. Setelah itu ‘Abdullah bin Ubbay bin Salul berkata; “Apakah mereka (Kaum Muhajirin) tengah mengumpulkan kekuatan untuk melawan kami?. Seandainya kita kembali ke Madinah maka orang yang kuat pasti akan mengusir orang yang hina” (Allah Subhaanahu wa Ta’ala mengabadikan perkataannya ini dalam QS al-Munafiqun ayat 8). Spontan’Umar berkata; “Tidak sebaiknyakah kita bunuh saja orang tercela ini, wahai Rasulullah!” Yang dimaksudnya adalah ‘Abdullah bin Ubay bin Salul. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak, agar orang-orang tidak berdalih bahwa dia (Muhammad) membunuh sahabatnya’.” (HR. al-Bukhari no. 3518)

Allah Ta’ala juga telah memperingatkan, boleh jadi pihak yang dituduh, dihina, dicela dianggap sesat dan menyimpang ternyata mereka lebih baik daripada pihak yang menuduh, lebih bertaqwa dan lebih dicintai Allah Ta’ala. Bukankah ketaqwaan itu ada didalam hati  sebagaimana disebutkan didalam hadits yang diterima dari  Abu Hurairah radhyallahu ‘anhu

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: (لاَ تَحَاسَدُوْا، وَلاَتَنَاجَشُوْا، وَلاَ تَبَاغَضُوْا، وَلاَ تَدَابَرُوْا، وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخوَانَاً، الْمُسْلِمُ أَخُوْ الْمُسْلِمِ، لاَ يَظلِمُهُ، وَلاَ يَخْذُلُهُ، وَلاَ يَكْذِبُهُ، وَلايَحْقِرُهُ، التَّقْوَى هَاهُنَا – وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ – بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ). رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Janganlah kalian saling dengki, melakukan najasy, saling membenci, saling membelakangi dan sebagian dari kalian menjual apa yang dijual saudaranya. Jadilah kalian semua hamba–hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, sehingga dia tidak boleh menzhaliminya, menghinanya, mendustakannya dan merendahkannya. Takwa itu letaknya di sini –sambil menunjuk ke dadanya sebanyak tiga kali– cukuplah seseorang itu dalam kejelekan selama dia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim terhadap muslim lainnya haram dan terjaga darah, harta dan kehormatannya.” (HR. Muslim no. 35)

Saudaraku…! bila kita dapat bersatu dalam ikatan cinta yang sama kepada Allah dan RasulNya mengapa harus berseteru. Cukuplah, perbedaan itu  menjadi khazanah ilmiah yang akan tertulis indah dalam literatur islam dan menjadi ilmu yang bermanfaat di masa yang akan datang. Bila ilmu dapat diwariskan, maka permusuhan juga akan dapat terwariskan. Semoga warisan berharga diantara kita adalah ilmu dan indahnya ikatan cinta.

Oleh Ustad Abu Muhammad


[1] Dalam kamus kbbi, katalisator adalah seseorang atau sesuatu yang menyebabkan terjadinya perubahan dan menimbulkan kejadian baru atau mempercepat suatu peristiwa.

               [2] Abul Fida Ismail bin Umar bin Kasir al- Qursy ad-Dimasyq (Ibnu Kasir), Tafsir al-Quranul al-‘Adzhim, Qatar : Wizarah al-Auqaf wa Syuunul islamiyah, 2008, jilid 2 hal. 1131.       

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *