Bersama Dalam Taat

Nikmat Kebersamaan

Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern seperti hari ini kebersamaan adalah nikmat luar biasa. Dalam konteks keluarga kebersamaan adalah pondasinya. Kebersamaan itulah salah satu alasan pernikahan; menyatukan dua insan dan keluarga yang berbea saling melengkapi, dan menguatkan dan istiqamah di jalan Allah. Kebersamaan adalah pengikat dan perekat keharmonisan keluarga. Kebersamaan itu menentramkan, karena ia menjadi bagian dari kebahagiaan. Sebaliknya keterpisahan itu menyedihkan dan menyakitkan. Apalagi keterpisahan rohani, renggangnya hubungan bisa menimbulkan keretakan dan bahkan membalik kasih sayang menjadi permusuhan.

Kini kebersamaan keluarga seolah menjadi nikmat yang sangat mahal. Orientasi dan gaya hidup manusia modern seolah memaksa keluarga kehilangan kebersamaan. Tidak sedikit para suami yang luar biasa sibuk dengan pekerjaannya, meninggalkan rumah mendahului matahari terbit, dan pulang ketika hari sudah larut malam. Tidak jarang  pula istri mengalami situasi yang sama. Sementara itu anak-anak tumbh dalam kesendirian.

Belum lagi  kemajuan teknologi  yang seharusnya dimanfaatkan untuk menjadikan keluarga semakin dekat dan harmonis, justru menjadi penyebab renggangnya hubungan, bahkan bisa menjadi ancaman yang bisa menyebabkan keretakan. Smartphone misalnya. Ponsel cerdas dengan bebagai fitur media sosial yang tertanam di dalamnya menjadikan sebagai orang menjadi pecandu, sehingga hampir setiap saat iak pernah lepas dair dirinya. Termasuk ketika seharunsya membersamai keluarga, ia justru sibuk denga gadget tabg terus dibanjiri berbagai pesan. Maka, menyadari bahwa kebersamaan seagai nikmat yang harus disyukuri adalah sebauah keniscayaan sebelum keluarga benar-benar kehilangan kebersamaan.

Kebersamaan Semu

Kebersamaan jenis ini adalah kebersamaan dalam kesesatan, besama dalam maksiat, atau bahkan kekufuran. Kebersamaan jenis ini meski pelakunya nampak kompak, harmonis, seiya sekata, akan tetapi kebersamaan itu adalah kebersamaan yang semu dan sementara. Kompak dalam maksiat, misalnya sama-sama berprofesi sebagai penyeru maksiat, atau menjadi penjaja produk pemuas syahwat. Ada lagi pasangan suami-istri yang begitu kompak menjadi penyeru ajaran sesat.

Dalam Al-Qur`an Allah menyebutkan tipe keluarga semacam ini. Abu Lahab bersama istrinya Ummu Jamil menjadi pelopor penentang dakwah Rasulullah. Abu Lahab adalah seorang tokoh Quraisy, ia gencar melakukan kampanye menyesatkan, menebar opini negatif dengan tujuan  memperburuk citra Nabi Muhammad, memprovokasi bahkan merencanakan makar jahat terhadap dakwah Islam. Demikian pula istrinya tidak kalah gencar berkeliling menebar isu miring tentang ajaran risalah yang dibawa Nabi Muhammad. Duet gembong kekafiran ini kemudian Allah abadikan di dalam Al-Qur`an Surat Al-Lahab. Surat yang kemudian dibaca berulang-ulang oleh kaum beriman hingga akhir zaman sebagai peringatan dan pelajaran.

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan gegitu pula istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut.” (QS. Al Lahab: 1-5)

Tipe keluarga Lahabiyah seperti ini hanya akan saling mendukung dan bersatu di dunia. Atau bahkan akan berpisah dan menjadi musuh sejak di dunia. Sedangkan di akhirat kelak sudah pasti akan menjadi musuh satu sama lain. Allah berfirman,

الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ

“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang  yang bertakwa.” (QS. Az Zukhruf: 67)

Dalam kadar yang lebih rendah, tidak jarang dalam satu keluarga muslim terjadi ketidaksingkronan; perbedaan orientasi hidup, visi dan misi yang berpusat ada tujuan-tujuan duniawi yang sementara, berakibat terjadinya ketimpangan. Suami aktif menghadiri majelis-majelis kajian keislaman misalnya, akan tetapi istri dan anggota keluarganya jauh dari mengenal Islam. Atau sebaliknya, istri memiliki kesadaran berpegang pada ajaran agama, menjadikan syariat sebagai tuntutan kehidupan, tetapi tidak mendapat dukungan  dari suami.

Ada pula anak-anak  yang sudah tersentuh dakwah, memiliki kesadaran untuk berislam secara baik, tetapi justru mendapatkan hambatan dan rintangan  dari keluarga terdekatnya sendiri. Terjadilah gangguan komunikasi, hubungan  menjadi renggang, menimbulkan konflik, bahkan bisa menyebabkan terjadinya perpecahan.

Bersama dalam taat.

Alangkah bahagianya sebuah keluarga yang menjalani kebersamaan dalam ketaatan. Suami-istri dan orangtua  yang menjadi pelopor kebaikan, anak-anak yang patuh dan taat kepada syariat, menjadi penyemangat dan inspirasi bagi lingkungan sekitarnya, berlomba dalam menggapai prestasi ukhrawi, keluarga yang senantiasa sinergi dalam kebaikan akan menjadi rumah yang diliputi rahmat Allah. Rasulullah bersabda,

Allah merahmati seorang suami yang bangun malam, lalu mengerjakan shalat. Kemudian ia membangunkan istrinya, jika istrinya enggan maka ia memercikkan air ke mukanya. Allah merahmati seorang istri yang bangun malam, lalu mengerjakan shalat. Kemudian ia membangunkan suaminya, jika suaminya enggan maka ia memercikkan air ke mukanya.” (HR. Abu Daud)

Demikianlah seharusnya, jika keluarga ibarat bahtera, maka nahkoda awak kapal, dan semua penumpangnya harus kompak, berlayar ke arah yang sama dan menghindari  berbagai hal yang bisa menyimpangkan kapal dari jalur pelayaran  atau melakukan perbautan yang bisa membahayakan keselamatan. Suami sebagai pemimpin, istri sebagai pendamping dan anak-anak seagai anggota harus bisa bersinergi, sehingga keluarga menuju pada arah yang diharapkan, kompak sebagai sebuah team, menjadi baiti jannati.

Dalam Al-Qur`an Allah mengisahkan tentang keluarga Ibrahim, keluarga yang menjadi teladan keluarga sepanjang zaman; tentang kepatuhan kepada Allah, tentang kesungguhan berdakwah kepada keluarga, sehingga menjadi keluarga yang bahagia dalam berbuat kebajikan, menjaga dan mewariskan nilai-nilai kemuliaan kepada anak keturunan. Allah berfirman,

أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

“Adakah kamu hadir ketika Ya’kub kedatangan tanda-tanda maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” mereka menjawab: “Kami akan menyembah Rabbmu dan Rabb nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail, dan Ishaq, (yaitu) Rabb yang Maha Esa dan kami hanya tunduk dan patuh kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 133)

Nabi kita Rasulullah Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam, di tengah kesibukannya berdakwah, berjihad, dan memimpin umat, beliau memberikan keteladanan luar biasa dalam mengajak keluarganya untuk menjadi hamba-hamba Allah yang taat. Ketika perintah untuk berdakwah pertama kali diturunkan, maka yang pertama-tama beliau lakukan adalah mengajak anggota keluarga beliau, kemudian kerabat dan keluarga besarnya. Demikian pula dengan upaya beliau agar para istri, anak-anak dan cucunya membersamai beliau dalam ketaatan. Ketika Allah menurunkan firman-Nya,

وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ

Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy Syu’araa: 214) Rasulullah bersabda ekpada keluarga dan kerabat beliau,

“Wahai Fatimah binti Muhammad, wahai Shafiyyah binti Abdul Muthallib, wahai Bani Abdul Muthallib, aku tidak memiliki kekuatan sedikit pun untuk menolak siksa Allah dari kalian, maka kalian mintalah dari hartaku sekehendak kalian.

“Wahai Bani Hasyim, selamatkanlah diri kamu dari Neraka. Wahai bani Abdul Muthallib, selamatkanlah diri kamu dari Neraka. Wahai Fatimah, selamatkanlah diri kamu dari Neraka. Sesungguhnya aku tidak memiliki (kekuatan sedikitpun untuk) menolak siksaan Allah kepadamu, selain kalian adalah kerabatku, maka  aku akan menyambung tali kerabat tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Apabila Rasulullah selesai mengerjakan shalat malam, maka beliau membangunkan istrinya untuk mengerjakan shalat malam pula. Aisyah menceritakan bahwa Rasulullah bangun untuk mengerjakan shalat malam sementara aku tidur di arah sujud beliau. Apabila beliau hendak bersujud belaiu menggamit kakiku sehingga kau menarik kakiku. Apabila sudah mendekati subuh maka Rasulullah membangunkanku kemudian aku mengerjakan shalat witir.”

Adalah Umar bin Khattab apabila beliau bangun untuk melaksanakan shalat malam maka beliau membangunkan keluarganya agar mengerjakan shalat sembari membaca firman Allah,

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى

“Dan perintahkanlah kepada keluarga-mu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezaki kepadamu, kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat )yang baik( itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaha: 132)

Mudah-mudahan Allah selalu membimbing kita untuk selalu bersama dalam ketaatan kepada-Nya.

Sumber: majalah Kalam Dakwah

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *