Berqurban Untuk Allah Ta’ala
Oleh: Abu Athif, Lc –غفر الله له ولواديه-
Ibadah qurban merupakan amalan agung sarat dengan makna dan hikmah. Sebuah upaya pendekatan diri seorang hamba kepada Rabb semesta alam demi menggapai cinta-Nya. Dalam merealisasikan hajatnya, seorang hamba berupaya memilih hewan qurban terbaik. Tak pelak, dirinya harus merogoh sakunya dalam-dalam dan memilih hartanya yang terbersih dan halal. Meskipun terasa berat, namun bagi seorang hamba bertaqwa perkara tersebut menjadi hal yang paling murah dibanding dengan apa yang dijanjikan oleh Allah dari balasan berupa surga seluas langit dan bumi.
Keikhlasan dan kerelaan seorang hamba ketika mempersembahan hewan qurban menjadi point mendasar dalam penilaian diterima atau ditolaknya amalan tersebut. Karena hanya keikhlasan yang akan bisa mempersembahkan hewan qurban berkualitas disertai upaya keras sesuai kemampuan maksimal yang dimiliki seorang hamba. Begitu pentingnya perkara ini hingga Allah ta’ala memerintahkan kepada Nabi Muhammad -shollallohu ‘alaihi wa sallam- untuk membacakan kepada umatnya kisah dua anak Adam saat mempersembahkan qurban untuk Allah seperti yang diabadikan dalam QS. Al Maidah: ayat 27 – 31.
Ujung dari kisah upaya kedua anak Adam dalam persembahan qurban adalah diterimanya sebagian dan ditolaklah sebagain yang lain. Habil, dalam hal ini adalah pihak yang diterima qurbannya karena mempersembahkan hewan ternak terbaik yang dimilikinya. Sementara Qobil adalah pihak yang tertolak qurbannya, karena mempersembahkan hasil pertanian yang buruk. Tentunya hanya terbaik dan ikhlas yang diterima. Allah berfirman: “… Sesungguhnya Allah hanya menerima (qurban) dari orang-orang yang bertaqwa”(QS. Al Maidah: 27).
Dari keikhlasan menuju ketaqwaan, itulah aspek terpenting dalam penyelenggaran ibadah qurban. Allah tidak menginginkan daging dan darah dari hewan qurban, melainkan ketaqwaan dari hamba-Nya. Sebagaimana firman Allah –‘Azza wa Jalla-:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhoan) Allah, tetapi ketaqwaan dari kalian lah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kalian agar kalian mengagungkan Allah atas hidayah-Nya kepada kalian. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al Hajj: 37)
Sisi inilah yang menjadi perbedaan antara qurbannya orang mukmin dengan orang kafir. Abdullah bin ‘Abbas –rodliyallohu ‘anhu– pernah menjelaskan bahwa dahulu orang-orang jahiliyah menyembelih hewan qurban mereka dan melumurkan darahnya ke sisi-sisi ka’bah dengan anggapan bahwa Allah menginginkan darah-daging sembelihan mereka. Orang-orang jahiliyah menjadikan qurban sebagai sesaji yang dikeramatkan sehingga daging dan darahnya tidaklah dimakan dan diambil manfaatnya.[1]
Sementara setelah syariat Islam datang, Allah mengajarkan cara ibadah qurban yang berbeda dengan tata cara kaum musyrikin. Diperbolehkan bagi orang beriman untuk mengambil manfaat dari hewan qurban yang disembelihnya dengan memakannya, menyedekahkannya ataupun menyimpannya sebagai bahan makanan di kemudian hari. Karena aspek terpenting darinya adalah ketaqwaan dan kecintaan kepada Allah ta’ala.
Begitu agungnya ibadah qurban ini hingga Allah menjadikannya sebagai amalan yang paling dicintai oleh-Nya. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- :
عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ، إِنَّهُ لَيَأْتِي يَوْمَ القِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلاَفِهَا، وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنَ الأَرْضِ، فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا (رواه الترمذي
Dari ‘Aisyah, bahwa Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “tidak ada suatu amalan yang dikerjakan oleh seorang anak adam pada hari penyembelihan (idul adlha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi dari mengalirkan darah hewan qurban. Sesungguhnya dirinya akan datang pada hari kiamat dengan tanduk-tanduknya, bulu-bulunya dan kuku-kukunya. Dan sesungguhnya darah yang mengalir telah sampai pahalanya di sisi Allah sebelum jatuh ke bumi maka sungguh beruntunglah jiwa dengannya”. (HR. Tirmidzi)
Di balik keagungan ibadah qurban terselip banyak hikmah dan ibroh mulia bagi hamba bertaqwa. Di antaranya adalah semangat berkorban untuk Allah. Dengan qurban, seorang hamba diajarkan siap untuk berkorban dengan mendedikasikan apa yang dimiliki untuk perjuangan membela hak-hak Allah ta’ala. Seorang hamba bertaqwa siap mendahulukan hak Allah di atas hak lainnya. Inilah yang menjadi inti ajaran tauhid.
Seperti yang ditampilkan dalam Al Qurân, Nabi Ibrahim menjadi sosok tauladan dalam menunjukkan pengorbanan di jalan Allah. Beliau siap memberikan penghambaan sepenuhnya untuk Sang Kholiq Yang Maha Penyayang. Tidak mengherankan jika disematkan kepada beliau gelar yang mulia “Kholilur Rohman”. Dimulai dari meninggalkan belahan jiwanya –istri dan anaknya Ismail- di tempat tandus –Makkah al Mukarromah- hingga puncaknya menerima wahyu untuk menyembelih putranya.
Imam al Qurthubi –rohimahulloh– dalam tafsirnya menukilkan perkataan sebagian ulama ahli isyaroh (tafsir isyari) bahwa ketika Nabi Ibrahim menyatakan kecintaannya kepada Allah ta’ala, kemudian melihat putranya (Ismail) sang buah hati yang telah lama ditunggu kehadirannya maka terseliplah kecintaan yang mendalam pada dirinya. Saat itulah tiba ujian demi mengungkap manakah yang lebih dicintai oleh Nabi Ibrahim. Datanglah wahyu dari Robb Yang Maha Pengasih dan Penyayang untuk menyembelih putranya; “Wahai Ibrahim, sembelihlah putramu dalam keridhoan-Ku”. Lalu bersiaplah Ibrahim menunaikan perintah Robbnya sembari berkata: “Yaa Robbku, terimalah dia dariku dalam keridhoan-Mu”. Kemudian Allah mewahyukan kepada beliau; “Wahai Ibrahim, penyembelihan yang diinginkan bukanlah menyembelih anakmu, akan tetapi yang diinginkan adalah kembalinya hatimu kepada Kami. Maka tatkala engkau telah mengembalikan keseluruhan kecintaan hatimu kepada Kami, maka Kami pun mengembalikan putramu kepadamu”.[2]
Inilah intisari penghambaan kepada Allah ta’ala yang menggabungkan unsur cinta dan ketundukan yang melahirkan semangat rela berkorban untuk-Nya. Semangat yang didasari keinginan untuk mempersembahkan yang terbaik bagi Allah ta’ala. Sebagai upaya realisasi tauhid yang terangkum dalam ikrar suci nan mulia terabadikan dalam Al Qurân;
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah: sesungguhnya sholatku, ibadahku (penyembelihan hewan qurban), hidupku dan matiku hanya untuk Allah Robb semesta alam)”. (QS. Al An’am: 162)
Imam Abdur Rohman al Sa’di –rohimahulloh– menjelaskan bahwa ayat tersebut menjadi perintah dari Allah kepada Nabi Muhammad -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan juga kepada umatnya untuk menyatakan dan mengungkapkan loyalitas sepenuhnya bagi Allah ta’ala. Dengan menyebutkan sholat dan penyembelihan adalah sebagai symbol keagungan, karena menjadi poros kecintaan dan keikhlasan kepada Allah Robbul ‘Izzah. Sekaligus sebagai bukti kebenaran dan kejujuran iman yang terpantulkan dalam aktivitas hati, lisan dan seluruh anggota badannya. Di saat bersamaan menjadi bukti pengorbanan dengan apa yang dicintai oleh jiwa dari harta bendanya untuk Sang Pemilik ‘Arsy yang Agung.[3]
Melihat kondisi kaum muslimin hari ini dari ketertindasan yang dialami, menjadi sangat relevan untuk menggelorakan kembali semangat berkorban di jalan Allah. Mengingat kejayaan umat Islam yang menghiasai sejarah peradaban manusia selama ini terukir melalui pengorbanan para penahulunya –dari kalangan para sahabat hingga tabi’in- yang siap menjadi “bahan bakar” Islam demi tersampaikannya dakwah ini hingga lintas generasi. Semoga momentum idul qurban kali ini menjadi motivasi besar untuk lebih berani berkorban di jalan Allah demi Islam dan kejayaan kaum muslimin.
Semoga Allah ta’ala menjadikan diri kita lebih siap lagi untuk berkorban di jalan Allah.