Berangkat Membawa Dendam Pulang Membawa Islam, Umair Bin Wahab

Berangkat Membawa Dendam Pulang Membawa Islam, Umair Bin Wahab

Selamat pagi wahai tuannya orang Quraisy!” sapaan akrab dari Umair bin Wahab di sambut hangat oleh yang dituju, Shafwan bin Umayah,”Selamat pagi, wahai putra Wahab. Kemarilah, kita berbincang di sini.”

Di pinggir Hijr, keduanya pun tenggelam dalam perbincangan seru. Saat itu tidak ada lagi isu yang lebih seru untuk diobrolkan melebihi kekalahan di perang badar. Lebih-lebih, ayah Umair menjadi tawanan kaum muslimin. Perbincangan semakin memanas hingga akhirnya, Shafwan bin Umayah berkata, “Tidak! Demi Allah…! Kita harus mampu membalas!”

“Demi Allah, itu benar.” Ucap Umair. “Demi Tuhan  Ka’bah! Seandainya saya banyak keluarga yang saya khawatirkan akan tersia-sia, sungguh aku akan membunuh Muhammad. Aku basmi agamanya dan aku hentikan segala kejahatannya. “Dengan adanya bapakku dalam tawanan mereka, kepergianku ke yastrib tidak akan mencurigakan.”

Shafwan menangkap inti pembicararaan Umair, lalu berkata, “Hai Umair! Biarlah hutang-hutangmu menjadi tanggunganku seluruhnya. Aku akan melunasinya bila engkau berhasil membunuh Muhammad. Keluargamu akan kugabung dengan keluargaku, selama aku masih hidup. Hartaku cukup banyak untuk hidup senang bersama mereka semuanya!”

“Kalau begitu rahasiakanlah pembicaraan kita ini. Jangan sampai ada seorang jua pun yang mengetahuinya! “Ucap Umair. “Tentu! Percayalah padaku!” kata Shafwan

Umair pun menyiapkan perbekalan. Dan salah satunya, tentulah pedang kebanggaanya. Ia asah pedangnya dan ia lumuri racun. Kalau nanti pedang tersebut tak tepat melukai organ vital, racun akan tetap merenggut nyawa korbannya. Lalu, ia pun berangkat.

Derap kudanya dipayungi awan dendam yang menghitam, debu-debu kebencian berterbangan menggelapkan pandangan. Ia akan membunuh, menuntaskan kesumat dan mengobati sakit hatinya, dan sakit hati seluruh penduduk Makkah.

Madinah cerah, secerah wajah-wajah penduduknya yang diliputi kegembiraan usai kemenangan dari badar. Sama dengan Makkah, tema obrolan yang paling menarik saat itu adalah badar. Bedanya, obrolan badar di Makkah di penuhi kebencian, sedang di Madinah penuh kegembiraan dan kesyukuran.

Umair menapaki kota yang bakal menjadi mercusuar sejarah itu dengan yakin. Ia pun langsung menuju target sasaran, rumah Muhammad, dengan menghunus pedang. Tapi kedatangannya di ketahui Umar bin Khattab. Umar pun segera menyusul dan menemui Rasulullah.

“Ya Rasulullah! Ada Umair bin Wahab, musuh Allah, datang. Dia menghunus pedang. Aku yakin dia pasti bermaksud jahat,” kata Umar “Bawalah dia kemari,Umar!”perintah Rasulallah.

Dengan mencengkram kerah leher bagian belakang Umair, Umar membawa Umair menghadap Rasulullah.

“Umar, lepaskanlah dia!” kata Rasulullah Umar melepaskan cengkramannya. “Mundurlah engkau, Hai Umar!” Umar mundur ke belakang Umair bin Wahab. “Mendekatlah ke sini, hai Umair!”

Umair pun mendekat dan mengucapkan, “Selamat pagi (an’im shobahan).” Mendengar ucapan itu Rasulallah bersabda, “Kami telah dimuliakan Allah dengan penghormatan yang lebih baik dari pada penghormatamu. Kami di muliakan Allah dengan “salam”, begitulah cara penghormatan ahli jannah.”

“Demi Allah! Kami sudah lama menggunakan cara kami, sedangkan caramu datang belakangan.” Kata Umair.

“Apa maksud kedatanganmu, Umair?” Tanya Rasulallah.

“Saya datang untuk membebaskan tawanan yang anda tawan. Karena itu saya harap anda bisa bersikap baik,”jawab Umair.

“Tetapi kenapa harus menghunus pedang?” Tanya Rasulallah. “Tidak baik membawa pedang –terhunus. Apakah engkau dendam kepada kami karena kekalahanmu dalam di perang badar? Jujurlah! Apa sebenarnya maksud kedatanganmu kemari!” kata Rasulallah mendesak.

“Sungguh saya tidak bermaksud lain selain membebaskan tawanan.” Jawab Umair bersikeras.

“Tidak.” Tukas Rasulullah. “Engkau telah berbincang dengan shafwan di al Hijr tentang korban perang badar dari Quraisy, lau engkau berkata, “Kalau saja tidak karena tanggungan hutang dan keluarga, tentu aku akan keluar dan membunuh Muhammad” lalu Shafwan bersedia menanggung hutang dan keluargamu, agar kamu bisa membunuhku. Allahlah yang ada di antara kita berdua. “Kaget setengah mati, mungkin itulah ungkapan tepat untuk menggambarkan perasaan Umair saat itu. Jelas-jelas pembicaraan itu tak terdengar oleh siapapun dan tak di sampaikan pada siapapun.

Kekagetan itu menimbulkan keanehan dalam dirinya, dan saat itulah Allah berkehendak menyinari kalbunya dengan hidayah. Kalbu yang sejak berangkat diliputi kabut hitam dan kebencian dan dendam, kini tersibak oleh sinar hidayah. Serta merta ia pun berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah. Dulu kami mendustakan anda dan kabar langit yang adan bawa, tapi soal perbincanganku dan Shafwan, benar-benar hanya kami berdua yang tahu.” Setelah itu Rasulallah memerintahkan agar para sahabat mengajari Umair membaca al-Quran dan syariat Islam.

Dan, 498 km dari Madinah, di sebuah kota kecil nan bersejarah di mana keluarga Umair tinggal, mendung kesedihan masih menggelayut. Shafwan, kolega Umair masih mengira bahwa shahabatnya akan pulang dengan bibir tersenyum sembari menenteng kepala Muhammad. Saat melewati serombongan pembesar Quraisy, ia sesumbar, “Nantikanlah kabar gembira yang mampu membuat kalian lupa dengan badar.”

Tapi, kabar yang ditunggu tak jua muncul. Umair tak kunjung datang hingga Shafwan  pun mencoba bertanya pada kafilah yang lewat, adakah yang tahu kabar Umair bin Wahab? Seorang anggota kafilah berkata, “Umair sudah masuk Islam.”

Ucapan itu singkat, tapi gelegarnya seperti petir yang menyambar. Padahal, melihat tarck record seorang Umair, Shafwan yakin, andaipun seluruh penduduk bumi masuk Islam, Umair tidak akan ikut masuk Islam. Tapi anggapan itu runtuh. Runtuh dan lebur menjadi pasir lalu terbang terbawa angin hingga tak sejumputpun tertinggal dalam hati Shafwan. Lebih menyakitkan lagi, beberapa waktu kemudian, Umair masih ‘berani’ pulang bahkan mengajak Shafwan untuk masuk Islam, mengikuti orang yang dulu mereka rencanakan untuk dihabisi. Subhaanallah.!

Begitulah, barangsiapa yang diberi hidayah oleh Allah, tak aka nada sesuatupun yang mampu menghalangi bersitan sinar itu. Allahuakbar !

(ar risalah: 109)

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *