Benarkah Palestina Bumi yang Dijanjikan Bagi Yahudi?

Benarkah Palestina Bumi yang Dijanjikan Bagi Yahudi?

Palestina, negeri Kan’an ini biasa dijuluki juga dengan negeri warisan para nabi. Julukan ini tidak lain karena banyaknya para nabi dan rasul yang dilahirkan, tumbuh, berdakwah, hingga dikuburkan di wilayah tersebut. Di antaranya ialah Nabi Ibrahim as, Nabi Luth, Nabi Ishaq, Nabi Yaqub, Nabi Yusuf, Nabi Musa, Nabi Dawud, Nabi Sulaiman dan Nabi Isa ‘alaihimus salam..

Sebelum membahas lebih jauh tentang siapa yang berhak mewarisi bumi Palestina, perlu kita sadari terlebih dahulu bahwa umat Islam adalah umat yang mengimani seluruh para nabi. Risalah yang mereka sampaikan seluruhnya sama, yaitu risalah tauhid. Sebuah risalah yang mengajak umat manusia untuk beribadah kepada Allah semata serta meninggalkan seluruh bentuk kesyirikan kepada-Nya.

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu…,” (QS. An-Nahl: 36)

Sejatinya, ketika suatu kaum mengingkari ajaran tauhid tersebut, maka sama saja ia sedang mengingkari seluruh risalah yang dibawakan para nabi. Lalu dalam hal penyebutan, Allah Ta’ala menetapkan bahwa siapa saja yang tunduk dengan risalah tersebut maka dinamakan sebagai muslim. Walaupun ras dan bangsa mereka yang berbeda-beda, tapi mereka disatukan dalam satu ikatan yang sama, yaitu ikatan iman kepada Allah semata. Maka seluruh para nabi san rasul, dari Adam sampai Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, oleh Allah Ta’ala semuanya disebut sebagai orang muslim.

مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلا نَصْرَانِيًّا وَلَكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (muslim) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS: Ali Imron: 67)

Dalam Ayat lain Allah Ta’ala berfirman:

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh (muslim) kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh (Umat Muslim) kepada Engkau,..” (QS. Al-Baqarah: 127-128)

Dan masih banyak sekali ayat-ayat lain yang menyebutkan tentang sebutan muslim bagi pengikut risalah tauhid. Selanjutnya, dalam ajaran Islam sendiri, mengimani seluruh nabi dan rasul adalah bagian dari rukun iman yang tidak boleh terpisahkan. Allah Ta’ala berfirman:

“Katakanlah (hai orang-orang mukmin), ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya’,” (QS. Al-Baqarah: 136)

Secara global, seluruh manusia yang mengimani risalah para nabi, sejatinya mereka semua adalah  umat yang satu. Para nabi dan rasul beserta seluruh pengikutnya adalah bagian dari satu kesatuan, yaitu umat manusia yang bertauhid. Karena itu, yang berhak mewariskan peninggalan para nabi adalah orang-orang yang bertauhid dan melanjutkan misi perjuangan mereka.

 

Palestina Tanah Suci Umat Islam

Allah Ta’ala telah menetapkan bumi Palestina bagi Bani Israil pada zaman Nabi Musa ‘alaihi salam. Ketetapan tersebut memang sebuah fakta yang tak terbantahkan. Bahkan dalam Al-Qur’an sendiri, Allah mengingatkan kisah Musa ketika berkata kepada kaumnya:

“Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Maidah: 21)

Namun perlu dipahami bahwa ketetapan tersebut tidak lepas dari ikatan tauhid yang ada dalam diri mereka. Tanah suci Palestina berhak menjadi wilayah mereka selama mereka bertauhid dan beriman kepada risalah para nabi. Sehingga ketika mereka kufur kepada Allah dan mengingkari para rasul lalu membunuh para nabi, melanggar ikatan janji, menolak risalah yang datang kepada rasul yang dijanjikan dalam kitab mereka (QS. Al-‘Araf: 157) maka disaat itu pula laknat Allah turun kepada mereka. Dan apa yang pernah ditetapkan Allah pun menjadi tidak layak lagi untuk dimiliki. Allah Ta’ala berfirman:

“Katakanlah: ‘Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?” Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus’.” (QS. Al-Maidah: 60)

Karena itu, ketetapan wilayah Palestina pun berpindah alih kepada umat yang meneruskan risalah tauhid yang dibawakan para nabi. Dan umat Islam adalah umat terakhir yang meneruskan misi tersebut. Sehingga mereka berhak mewariskan bumi yang diberkahi tersebut. Sebab, persoalan kepemilikan hak tidak tergantung kepada bangsa, keturunan atau kaum, tapi murni kepada siapa saja yang mengikuti manhaj para nabi. Ringkasnya, Bumi Palestina adalah warisan ideologis. Bukan warisan genetik.

Lalu kemudian di dalam Islam wilayah ini menjadi salah satu tempat yang dimuliakan. Kemulian ini ditandai dengan disebutnya berulang kali dalam Al-Quran maupun hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan di antara tanda yang cukup nyata adalah Allah Ta’ala menjadikan Masjid Al Aqsha sebagai kiblat pertama di dalam Islam. Tercatat hampir tujuh belas bulan lamanya kaum muslimin shalat menghadap ke arah masjid tersebut.

Masjid Al aqsha juga menjadi tempat singgahnya Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam perjalanan Isra’ dan Mi’raj. Sebagaimana Allah ta’ala mengabadikannya dalam Al-Quran:

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil haram ke Masjid Al-aqhsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Isra’: 1)

kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam juga menjelaskan bahwa Masjid Al-Aqsa juga merupakan masjid kedua yang mula-mula dibangun di muka bumi ini setelah Masjid Al-Haram. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Dzar Al-Ghifari, ia berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam Mengenai masjid yang mula-mula dibangun di atas bumi ini. Beliau menjawab, ‘Masjid Al-Haram,’ Saya bertanya, ‘Kemudian masjid mana?’ Beliau menjawa, ‘Masjid Al-Aqsa,’ Saya bertanya, ‘Berapa jarak waktu antara keduanya?’ Beliau menjawa, ‘Empat puluh tahun. Kemudian seluruh bumi Allah adalah tempat sujud bagimu. Maka dimanapun kamu mendapati waktu shalat, maka shalatlah’.” (HR. Muslim)

Selain itu, Masjid Al-Aqsa juga memiliki keistimewaan lain di mata Umat islam, Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda;

لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِي هَذَا وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَ

“Tidaklah diadakan perjalanan dengan sengaja, kecuali ke tida masjid; masjidku ini (di Madinah), Masjidil Haram (di Makkah), dan Masjidil Aqsha.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tersebab kemuliaan itu semua, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun mengabarkan kepada Umatnya,  “Keutamaan shalat di Masjidil Haram adalah seratus ribu kali shalat atas masjid selainnya. Shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi) adalah senilai seribu shalat. Sedangkan di masjid Baitul Maqdis adalah 500 kali lipat.” (HR. Al-Baihaqi di al-Sunan Al-Shughra, no. 1821 dan dishahihkan Al-Albani di Shahih al-Jami’, no. 4211)

 

Klaim Yahudi dengan Bumi yang Dijanjikan?

Bukanlah sesuatu yang asing di telinga kita bahwa salah satu motivasi kuat bangsa Yahudi menduduki Palestina adalah karena ideologi agama. Menurut anggapan mereka Palestina adalah bumi yang dijanjikan untuk nabi Ibrahim dan anak keturunannya selamanya. Dasarnya adalah ayat Taurat yang telah mereka rubah-rubah. Di antaranya, “Berfirmanlah Tuhan kepada Abram, ‘Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu..,” (Kejadian 12:1) Lalu dalam ayat lain yang mereka sebutkan juga, “Berfirmanlah Tuhan kepada Abram, ‘Pandanglah sekelilingmu dan lihatlah dari tempat engkau berdiri itu ke utara dan selatan, timur dan barat; karena segala tanah yang kaulihat itu akan Kuberikan kepadamu dan kepada anak cucumu sampai selama-lamanya’.” (Kejadian 13:15)

Atas dasar ayat di atas, orang-orang Yahudi mengklaim bahwa mereka adalah bangsa pilihan. Bangsa yang disebut sebagai keturunan Ibrahim dalam janji di atas. Anggapan Yahudi ini jelas bermasalah dari segi data yang jelas-jelas tidak otentik. Sebab, mereka terkenal kaum yang suka mengubah-ubah ayat suci yang ada dalam kitab Taurat. Namun demikian, jika memang periwayatan tersebut bisa diterima dan kita anggap saja Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam mewariskan tanah Palestina kepada anak cucunya, maka juga akan terdapat beberapa kejanggalan. Dr. Muhsin bin Muhammad Shalih, dalam salah satu risalahnya, At-Tariq Ila Al-Quds, menjelaskan di antara bentuk kejanggalan tersebut adalah:

Pertama: Jika memang di sana ada perjanjian, yaitu nabi Ibrahim serta keturunannya akan diberikan wilayah Palestina,  maka perlu kita pahami bahwa bani israil bukanlah satu-satunya keturuna nabi Ibrahim, kaum Arab pun termasuk anak cucu beliau dari garis keturunan nabi Ismail. Dan di antara mereka adalah nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam.

Kedua: Jika memang persoalannya berkaitan dengan keturunan, maka fakta menunjukkan bahwa bangsa Yahudi yang ada hari ini mayoritasnya bukan dari garis keturunan Nabi Ibrahim. Sebab, secara umum mayoritas orang-orang yahudi sekarang berasal dari keturunan yahud al-khazar. Yaitu mereka yang masuk dalam agama tersebut pada abad 9-10 Masehi.

Ketiga: Al-Quran menjelaskan bahwa ikatan kepemimpinan Sayidina Ibrahim serta anak keturunannya terlepas dari segala bentuk kezaliman. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang lalim,” (QS. Al-Baqarah: 124)

Ketika nabi ibrahim memohon kepada Allah agar kepemimpinan diberikan juga kepada anak keturunannya, maka Allah Ta’ala menegaskan bahwa kepemimpinan tersebut tidak diberikan kepada orang-orang yang zalim. Pertanyaanya, adakah kezaliman yang lebih keji daripada yang dilakukan oleh Yahudi hari ini? Wallahu a’lam bissowab

Penulis: Fakhruddin (kiblat.net)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *