Belajar Di Usia Yang Telah Terlanjur Dewasa

Belajar Di Usia Yang Telah Terlanjur Dewasa

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah

Suatu saat saya bekunjung ke sebuah toko buku Islam. Selam menjual buku-buku terjemah, ada puIa kitab-kitab berbahasa Arab di sana. Saat itu. saya melihat seorang teman yang usianya 35 tahunan tampak membeli kitab berbahasa Arab. Saya sempat tertegun sekaligus bersyukur. “Alhamdulillah, ada kemajuan.” Ketika melihat kedatangan saya, ia berkata, “lni untuk persiapan anak saya. Mudah-mudahan anak saya bisa berbahasa Arab, meskipun ayahnya tidak bisa!”

Rasa takjub pun berubah menjadi kecewa. Bukan soal harapannya terhadap si anak, yang ini jelas baik. Akan tetapi, seakan ia telah memvonis diri tidak bisa berbahasa Arab. Mungkin mengingat usianya yang sudah kepala tiga. Padahal jika mau, ia masih memiliki banyak waktu untuk belajar.

Ternyata, mental seperti ini banyak menghinggapi kalangan dewasa dan orang tua, termasuk para aktivis. Ketika beberapa kali saya mencoba membuka semacam pelatihan Bahasa Arab. mayoritas yang menyambutnya hanya dari kalangan remaja. Sedikit sekali di antara peserta yang sudah ‘berumur’. Bahkan sering terlontar kalimat, “Silakan yang muda-muda ikut, mumpung masih mudah untuk menghafal dan belajar, kalau seusia kami lni sudah terlanjur sulit.‘ Bisakah alasan ini diterima?

 

Belajar Di Waktu Kecil

Ada pepatah yang sangat tenar,

“Belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, belajar di usia dewasa bagai melukis di atas air. ”

Itulah gambaran mudahnya belajar di waktu kecil dan bahwa belajar di usia kanak-kanak itu lebih membekas, lebih awet hafalannya. Sebaliknya, belajar di usia dewasa, begitu cepat lupanya, seperti melukis di atas air.

Sumber nasihat tersebut ada yang mengalamatkan kepada Hasan al-Bashri, ada pula yang mengatakan dari Abu Darda’, bahkan menurut al-Mawardi, nasihat itu bersumber dari Nabi, sebagaimana yang beliau sebutkan dalam kitabnya “Adabud Dunya wa ad-Dien”. Akan tetapi, tentang keshahihannya perlu diteliti.

Yang jelas, itu merupakan nasihat yang luhur, asal dipakai di tempat yang benar dan ditujukan kepada sasaran yang tepat. Nasihat itu ditujukan untuk anak-anak dan remaja, agar memanfaatkan kesempatan emasnya untuk belajar. Agar tidak menyesal di hari tuanya. Seperti yang dikatakan orang bijak, “Jika engkau tidak turut menebar benih, niscaya engkau akan menyesal saat melihat mereka menuai hasil dari benih yang telah mereka tanam.”

Kalimat itu bukan untuk membunuh potensi mereka yang sudah terlanjur dewasa atau tua. Bukan untuk memupus harapan dan citacita yang baru dipancang saat usia telah terlanjur senja. Maka jangan sampai salah memilih senjata, jangan pula salah menggunakannya.

 

Peluang Masih Sangat Terbuka

Sebenamya, nasihat agar belajar di waktu kecil tersebut tidaklah menghapus keutamaan memulai belajar di usia tua. Yang dicela adalah ketika seseorang yang melewatkan usia kanak-kanaknya tanpa belajar, begitupun di waktu tuanya. Al-Mawardi menjelaskan maksud ungkapan tersebut, “Yang menyebabkan kelemahan adalah tatkala seseorang melewatkan masa kecilnya tanpa belajar, lalu di saat dewasa beralasan sibuk atau malu untuk memulai belajar yang semestinya sudah ia mulai sejak kecil.”

Maknanya, jika ia menyempatkan diri untuk belajar, dan tidak malu belajar meskipun harus memulai dari nol, maka kesuksesan berada di hadapannya. Dengan mudah ilmu akan diserapnya.

Meskipun usia anak lebih kuat bekasnya, lebih awet hafalannya, tapi usia dewasa juga memiliki kelebihan yang belum dimiliki saat usia anak, yakni kreativitas, kemandirian, dan juga pemikiran. Syaratnya ia mau meluangkan waktu, hati, dan pikirannya untuk ilmu. Karena itulah, ketika ulama tabi’in, murid dari Umar bin Khathab yang bernama Ahnaf bin Qais mendengar seseorang berkata,

التَعْلِيْمُ فِي الصِّغَرِ كَالنَّقْشِ عَلَى الحَجَرِ

“Belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu… ” serta merta beliau menyahut

الكَبِيْرُ أَكْثَرُ عَقْلاً وَلَكِنَّهُ أَشْغَلُ قَلْباً

Orang dewasa lebih banyak akalnya, akan tetapi lebih banyak kesibukan hatinya.”

Andai saja orang dewasa mengembangkan potensi akalnya, menyediakan wadah di hatinya untuk diisi dengan ilmu syar’i, niscaya percepatannya melebihi anak-anak dalam belajar. la pun bisa mendapatkan kembali, apa yang telah hilang di waktu kecilnya, pun dia bisa mendapatkan apa yang semestinya didapatkan di usia dewasa.

Lagi pula, selagi nyawa masih bersama raga, selagi kita masih menyandang gelar muslim, belajar menjadi kewajiban kita,

طَلَبُ العِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Mencari ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR lbnu Majah)

 

Banyak Contoh Mengukir Sejarah

Jika menginginkan bukti bahwa memulai belajar di usia dewasa benar-benar menjanjikan kesuksesan, lihatlah lembaran sejarah para pendahulu kita.

Ada Umar bin Khathab yang menjalani masa kebodohan hingga usia 27 tahun. la pernah menyembah berhala yang terbuat dari roti, yang ketika lapar ia memakannya. Ada pula riwayat yang menyebutkan bahwa ia pernah mengubur putrinya hidup-hidup, bahkan putrinya turut membersihkan baju dan jenggot ayahnya saat menggali lubang untuknya. Tapi begitu masuk Islam, sirnalah kebodohannya, meskipun ia baru memulai belajar saat dewasa. Bahkan sepeninggal Abu Bakar. beliau dipercaya memimpin kaum muslimin sedunia.

Di kalangan tabi’in, kita mengenal Malik bin Dinar. Hingga memiliki seorang putri, hidupnya hanya dipergunakan untuk hura-hura dan hobi menenggak khamr. Ketika puterinya wafat, Allah membukakan baginya pintu taubat. la pun mulai belajar Islam dari nol. Tapi, subhanallah!

Dalam waktu yang tidak berapa lama, ia mampu mengungguli mereka yang bergelimang dengan ilmu sejak kecil. Sehingga beliau menjadi tokoh ulama terpandang yang tidak jauh levelnya dari Hasan al-Bashri, maupun Muhamad bin Sirin.

Siapa pula yang tidak kenal Fudhail bin lyadh. Nama dan pendapatnya memadati kitab-kitab karya para ulama. Beliau juga menghabiskan masa mudanya tanpa belajar, bahkan menjadi perampok kelas kakap. Hingga akhimya beIiau bertaubat dan mulai belajar dan beramal. Pada gilirannya, beliau menjadi ulama yang terpercaya dan menjadi rujukan di zamannya, maupun zaman sesudahnya.

Oleh karena itu, jika kita ‘terlanjur’ dewasa, jangan putus asa, masih banyak peluang untuk meninggikan cita-cita, Ialu meraihnya. Wallahu a’Iam.

(Sumber: Muslim Hebat, Abu Umar Abdillah: 83)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *