Belajar Dari ‘Amwas
Oleh: Abu Athif, Lc . –غفر الله له ولواديه-
‘Amwas, sebuah kota yang terletak di negeri Syam, tepatnya di wilayah Palestina. Kota yang terletak antara al Quds dan Ramalah ini pernah menjadi saksi bisu tentang tragedi wabah tho’un yang menelan korban jiwa mencapai 25.000 orang[1].
Tho’un adalah salah satu wabah penyakit yang bisa menular secara cepat dan berujung pada kematian yang cepat pula. Umumnya penyakit ini ditandai dengan bisul-bisul bernanah disertai demam yang tinggi. Bintik-bintik merah dan sekitarnya berwarna kehitam-hitaman yang sakit muncul di sekitar ketiak, di bawah perut, di sela jari-jemari dan bahkan menyebar ke seluruh badan. Sering pula penderitanya mengalami muntah-muntah dan jantung yang berdebar-debar.[2]
Di tahun 18 H, wabah ini menjalar dari kota ‘Amwas ke seantero negeri Syam. Bahkan wabah ini juga melanda wilayah Bashroh hingga merenggut kematian banyak orang[3].
Tidak hanya itu, wabah penyakit ini juga menyebabkan wafatnya para sahabat senior seperti Abu Ubaidah bin Al Jarrah, Mu’adz bin Jabal, Harits bin Hisyam dan lainnya –semoga Allah meridhoi mereka semua-. Tidak mengherankan jika keaadaan ini membuat sedih hati amirul mukminin Umar bin Khattab dan juga seluruh kaum muslimin.
Di waktu yang hampir bersamaan, kota Madinah dan sekitarnya juga dilanda masa kekeringan dan kelaparan yang berkepanjangan. Dalam catatan sejarah masa kekeringan dan kelaparan ini berlangsung selama sembilan bulan. Karena kondisi kelaparan dan kekeringan ini, tahun 18 H juga dikenal sebagai tahun “ramadah”. Disebut demikian karena tanah di kota Madinah dan sekitarnya menghitam karena tidak adanya air hujan hingga warnanya menyerupai bara api yang menghitam.[4]
Beberapa literature sejarah menyebutkan bahwa masa kekeringan dan kelaparan mendahului tragedi wabah tho’un. Perihal tersebut disebutkan bahwa permulaan masa kekeringan dan paceklik berawal dari akhir tahun 17 H hingga memasuki tahun 18 H[5].
Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa masa kekeringan mendahului masa wabah tho’un adalah hadirnya bantuan logistic makanan dari Abu Ubaidah bin al Jarrah untuk penduduk Madinah dan sekitarnya. Beliau membawa tidak kurang dari 4.000 unta yang mengangkut bahan pangan[6]. Bantuan pangan ini termasuk bantuan pertama yang tiba di kota Madinah. Setelah sebelumnya kholifah Umar bin al Khattab menyurati seluruh gubernur untuk mengirimkan bantuan logistik kebutuhan pokok untuk penduduk Madinah dan sekitarnya[7].
Adapun masa wabah tho’un tidak disebutkan secara pasti kapan permulaannya dalam literature sejarah. Namun berakhirnya wabah ini ditandai dengan kunjungan amirul mukminin Umar bin Khattab ke wilayah Syam. Kunjungan tersebut diperkirakan terjadi di bulan Syawal tahun 18 H dalam rangka menyelesaikan urusan kaum muslimin di ‘Amwas dan sekitarnya khususnya dalam masalah harta warisan. Ketika memasuki bulan Dzulqo’dah beliau kembali ke Madinah[8].
Masa wabah tho’un yang berlangsung berbulan-bulan ini membuat musuh-musuh Islam melihat sebuah kesempatan untuk bergerak menyerang kaum muslimin khususnya yang berada di negeri Syam. Tidak mengherankan jika situasi dan kondisi seperti ini semakin menambah rasa takut dan khawatir di tengah kaum muslimin[9]. Namun –dengan pertolongan Allah ﷻ dan karunia-Nya- situasi dan kondisi berangsur pulih dan aman setelah kunjungan amirul mukminin Umar bin al Khattab ke negeri Syam. Para musuh Islam pun urung melancarkan serangan ke wilayah Syam.
Ada hal yang mengharukan terjadi saat kunjungan amirul mukminin Umar bin al Khattab di negeri Syam. Kejadian itu bermula saat tiba waktu sholat -tidak disebutkan secara jelas waktu sholatnya- kemudian para penduduk memohon kepada Kholifah Umar untuk meminta Bilal bin Rabah mengumandangkan adzan. Permintaan amirul mukminin tersebut akhirnya dikabulkan oleh Bilal bin Rabah. Saat adzan dikumandangkan oleh beliau maka seluruh sahabat menangis sejadi-jadinya karena tangis haru mengenang kehidupan bersama Rasulullah ﷺ. Dan ketika itu, tangisan kholifah Umar adalah yang paling keras hingga air mata beliau membasahi jenggotnya. Situasi tersebut menghanyutkan perasaan seluruh penduduk dan semuanya menangis dalam rasa haru mengenang Nabi Muhammad ﷺ.[10]
Keteguhan hati kaum muslimin dalam melewati peristiwa tho’un ‘Amwas dan tahun ramadah yang terjadi di tahun 18 H ini menghadirkan beberapa pelajaran menarik untuk dijadikan pedoman dalam menghadapi masa krisis dan pandemi. Mengingat masa tersebut masih terkategorikan sebagai masa penuh keutamaan dan keteladanan. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
وعن عِمْران بن حُصَيْن رضي الله عنهما يقول: قالَ رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((خَيْرُ أُمَّتي قَرْني، ثمَّ الذين يَلُونهم، ثمَّ الذين يَلُونهم – قال عمران: فلا أدري أذكر بعد قرنه قرنَيْن أو ثلاثة -)) –رواه البخاري ومسلم-
Artinya: Dan dari ‘Imron bin Hushoin –semoga Allah meridhoi keduanya- berkata: telah bersabda Rasulullah ; “Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya, kemudian generasi sesudahnya” –berkata ‘Imron: aku tidak ingat berapa generasi yang disebutkan setelah generasinya dua atau tiga generasi”. [HR. Bukhori dan Muslim]
Bagi kaum muslimin sejarah para pendahulu dari generasi sahabat, tabi’in dan atba’ tabi’in menjadi pelajaran penting dalam mendulang ibroh dari setiap goresannya untuk bekal menghadapi situasi dan kondisi di masa mendatang. Beberapa pelajaran penting yang bisa diambil dalam potongan sejarah ini adalah sebagai berikut:
- Kecintaan pemimpin kepada rakyatnya
Dalam menghadapi situasi dan kondisi yang mengancam nyawa orang banyak, kehadiran seorang pemimpin yang sholih dan peduli terhadap rakyatnya adalah bentuk rahmat dari Allah ﷻ. Sekaligus menjadi penenang hati untuk rakyatnya.
Adalah Abu Ubaidah bin al Jarrah, salah seorang sahabat Nabi ﷺ yang mendapatkan gelar amiinul ummah (=orang yang paling amanah untuk umat) ditunjuk oleh kholifah Umar saat itu menjadi gubernur Syam. Prestasi dan sepak terjang pejuangan Abu Ubaidah bin al Jarrah tidak diragukan lagi untuk memegang amanah mulia tersebut.
Saat wabah penyakit mulai menyebar, satu demi satu dari penduduk ‘Amwas berjatuhan sakit dan meninggal dunia secara cepat. Maka kholifah Umar bergegas menulis surat kepada Abu Ubaidah bin al Jarrah dalam rangka untuk menyelamatkan beliau dari kepungan wabah.
Surat tersebut mengatakan: “Semoga keselamatan terlimpah kepadamu, amma ba’du, sesungguhnya aku membutuhkan engkau untuk diajak bicara tentang suatu permasalahan penting. Maka aku perintahkan kepadamu untuk bergegas menghadapku setelah menerima surat ini”.
Abu Ubaidah pun memahami maksud dari surat amirul mukminin. Kemudian beliau berkata: “semoga Allah mengampuni amirul mukminin”. Kemudian beliau menulis surat: “Wahai amirul mukminin, sesungguhnya aku telah mengetahui maksud anda. Sesungguhnya aku berada di tengah-tengah pasukan kaum muslimin dan aku tidak mendapati dalam diriku kebencian terhadap mereka. Maka aku putuskan untuk tidak berpisah dari mereka hingga Allah menentukan takdir untuk diriku dan rakyatku. Maka biarkanlah aku bersama mereka dan tangguhkanlah diriku dari perintahmu wahai amirul mukminin”.
Ketika kholifah Umar menerima surat balasan dari Abu Ubaidah maka menangislah beliau. Orang-orang yang ada di sekitar beliau bertanya: “Apakah Abu Ubaidah telah wafat? Umar menjawab: “Sepertinya dia akan wafat”.[11]
Demikianlah keteladanan seorang pemimpin yang selalu memiliki sensitivitas dalam situasi krisis. Abu Ubaidah tidak memikirkan keselamatan dirinya sendiri, melainkan beliau lebih mengutamakan keselamatan rakyatnya.
Di samping itu, Nampak sekali rasa empati dan simpati yang begitu mendalam pada diri beliau terhadap seluruh pasukan kaum muslimin dan rakyatnya. Hingga akhirnya Allah menentukan yang terbaik untuk beliau yaitu dijadikan sebagai salah satu dari barisan syuhada umat Nabi Muhammad ﷺ, dengan wabah tho’un beliau wafat. Semoga Allah senantiasa meridhoi Abu Ubaidah bin al Jarrah.
- Kesabaran dalam menghadapi takdir Allah ﷻ
Wabah tho’un semakin meluas penularannya. Sudah barang tentu situasi mencekam menggelayuti benak setiap penduduk kota ‘Amwas dan penjuru negeri Syam. Abu Ubaidah sebagai gubernur Syam saat itu langsung bertindak secara sigap.
Langkah pertama yang dilakukan oleh beliau adalah menanamkan kekuatan ruhiyah di hati seluruh penduduk agar bersabar menghadapi ujian berupa wabah penyakit. Karena sisi ruhiyah inilah yang paling urgent untuk diberikan nutrisi berupa nasihat.
Beliau menyampaikan khutbah di hadapan seluruh manusia: “Wahai seluruh manusia, sesungguhnya penyakit ini menjadi bentuk rahmat bagi kalian semua dari Allah, dan juga bukti kebenaran dari doa Nabi kalian, sekaligus menjadi penyebab kematian bagi orang-orang sholih sebelum kalian. Sesungguhnya Abu Ubaidah memohon kepada Allah apa yang menjadi bagian kebaikan dari takdirnya”.[12]
Tidak berselang lama dari penyampaian khutbah beliau, akhirnya Allah mewafatkannya dengan tho’un. Tampuk kepemimpinan pun berpindah ke Mu’adz bin Jabal, salah seorang sahabat Nabi yang mulia. Beliau pun juga melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Abu Ubaidah bin al Jarrah yaitu dengan memperkuat keimanan dan kesabaran para rakyatnya. Hingga akhirnya beliau pun juga wafat terkena tho’un.
Demikianlah yang dilakukan dua sahabat Nabi ketika memimpin rakyat untuk menghadapi wabah tho’un. Point penting yang ditekankan adalah beriman kepada takdir Allah dan tetap berhusnu dzon (berprasangka baik) kepada Allah ﷻ. Karena setiap ketetapan Allah pasti ada kebaikan di dalamnya. Dengan landasan berfikir seperti inilah seorang mukmin mampu bersabar menghadapi segala situasi dan kondisi. Di saat yang bersamaan, seorang mukmin mampu merubah pandangan buruk tentang wabah menjadi rahmat dan berkah. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Nabi ﷺ :
أتاني جبريلُ علَيهِ السَّلامُ بالحُمَّى والطَّاعونِ ، فأمسَكْتُ الحُمَّى بالمدينةِ وأرسلتُ الطَّاعونَ إلى الشَّامِ ، فالطَّاعونُ شَهادةٌ لأمَّتي ورحمةٌ لَهُم ورِجسٌ علَى الكافرينَ –رواه أحمد والطبراني-
Artinya: “Jibril –‘alaihis salam- mendatangiku dengan membawa demam dan tho’un, lalu menahan demam di Madinah sementara tho’un dikirimkan ke Syam. Tho’un adalah sebab kematian syahid bagi umatku dan rahmat bagi mereka, sementara bagi orang kafir adalah adzab. [HR Ahmad dan Thobroni]
- Solidaritas dan rasa kemanusiaan
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa krisis pangan dan wabah mendera negeri-negeri kaum muslimin di tahun 18 H. Maka kholifah Umar bin al Khattab segera mengingatkan dan memerintahkan kepada seluruh gubernur untuk saling bantu membantu meringankan beban saudaranya dan rakyatnya.
Dikisahkan bahwa Umar bin al Khattab saat itu memerintahkan kepada seluruh petugas baitul mal untuk mencukupi kebutuhan dasar seluruh rakyat. Tidak hanya itu, semua elemen masyarakat juga turut serta dalam meringankan beban kehidupan. Semua kaum muslimin membuktikan kejujuran imannya dengan mencoba memenuhi hak-hak saudara sesama muslim dan juga kepada warga ahlu dzimmah (orang-orang kafir yang berada dalam perlindungan Negara Islam).
- Melokalisir wabah dan memutus mata rantai penularan
Sebelum wabah tho’un menyebar secara luas, amirul mukminin Umar bin alKhattab berencana untuk mengunjungi negeri Syam. Namun ketika sampai di kota Sarg (perbatasan antara Hijaz dan Sayam), beliau ditemui oleh gubernur Syam Abu Ubaidah bin Jarrah guna mengabarkan tentang kondisi terkini bahwa negeri Syam sedang dilanda wabah penyakit tho’un.
Mendengar kabar ini, amirul mukminin langsung bermusyawarah dengan para pembesar sahabat dari kalangan muhajirin dan anshor. Semuanya bersepakat untuk membatalkan kunjungan ke negeri Syam dan bergegas kembali ke Madinah. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi ﷺ yang diriwayatkan oleh Abdur Rohman bin ‘Auf:
“إذا سمعتم به بأرض فلا تقدموا عليه وإذا وقع بأرض وأنتم بها فلا تخرجوا فرارا منه”-رواه البخاري-
Artinya: “Jika kalian mendengar di suatu negeri di dalamnya ada wabah maka janganlah kalian mendatanginya. Dan jika kalian berada di negeri yang terngkit wabah maka janganlah kalian keluar darinya”. [HR. Bukhori]
Ketika dua pemimpin umat telah wafat yaitu Abu Ubaidah bin Al Jarrah dan Mu’adz bin Jabal. Maka kepemimpinan wilayah Syam berpindah ke ‘Amru bin ‘Ash. Beliau adalah salah seorang sahabat Nabi yang memiliki talenta kepemimpinan tinggi. Hampir setiap situasi dan kondisi sulit yang dihadapi kaum muslimin maka beliau diberikan taufiq oleh Allah ﷻ untuk selalu memiliki jalan keluarnya.
Setelah belaiau mengamati kasus demi kasus penularan wabah tho’un ini, maka beliau memutuskan untuk memerintahkan kepada seluruh rakyatnya untuk menjaga jarak dan pergi ke tempat-tempat yang tinggi. Dengan ungkapan lain beliau mencoba untuk mengevakuasi rakyatnya ke gunung-gunung dan bukit-bukit.
Akhirnya apa yang dipikirkan oleh Amru bin ‘Ash ini mendapatkan apresiasi dari Umar bin al Khattab sebagai amirul mukminin. Dengan izin dan karunia dari Allah ﷻ akhirnya wabah tho’un pun hilang dan kondisi normal kembali.
- Menjaga kesholihan masyarakat di tengah wabah
Perkara yang juga tidak kalah pentingnya dalam menghadapi wabah dan kondisi krisis adalah tetap menegakkan amar ma’ruf nahi munkar demi menjaga kesholihah masyarakat. Sebagaimana yang difahami oleh generasi terbaik umat ini bahwa tidaklah terjadinya suatu musibah melainkan disebabkan karena maksiat yang dilakukan. Karenanya bentuk penanggulangan bencana tidak hanya berfikir soal materi dan infrastruktur saja melainkan ada yang perkara yang mendasar yang harus segera diperbaiki yaitu masalah kesholihan pribadi dari masing-masing warga.
Di saat menyebarnya wabah dan krisis pangan melanda beberapa wilayah negeri kaum muslimin yang terjadi di tahun 18 H, didapatkan ada beberapa orang yang tertangkap sedang meminum khomer. Maka amirul mukminin Umar bin al Khattab segera memerintahkan kepada para hakim untuk menegakkan hadd (=hukum pidana) bagi para pelaku maksiat. Kemudian beliau pun juga menuliskan surat secara khusus ditujukan kepada pelaku maksiat untuk jangan berputus asa dari taubat kepada Allah.[13]
Demikianlah beberapa pelajaran penting yang bisa diambil dari penggalan sejarah kaum muslimin ketika menghadapi wabah tho’un ‘Amwas. Semoga tulisan sederhana ini bisa memberikan manfaat bagi umat. Wallohu ‘alam bis showab.
[1] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al Thobari, Tarikh al Thobari-Tarikh al Rusul wa al Muluk- (Kairo: Daarul Ma’arif, tahqiq: Muhammad Abu al Fadhl Ibrohim, tt,tc) juz 4 hal 101
[2] Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al ‘Asqolani, Badzlu al Ma’un fi Fadhli al Tho’un (Riyadh: Daar al ‘Ashimah, tahqiq: Ahmad ‘Ishom Abdul Qodir al Kaatib, tt, tc) hal 95
[3] Ibnu Katsir, Al Bidayah wa al Nihayah (Kairo: Daar al Hadits, tahqiq: Ahmad Jaad, 1427 H/ 2006 M, tc) juz 7 hal 77
[4] Ibnu Katsir, Al Bidayah wa al Nihayah, juz 7 hal 87
[5] Ibnu Katsir, Al Bidayah wa al Nihayah, juz 7 hal 88
[6] Abu Al Faroj Abdul Rohman bin Ali bin Muhammad ibnul Jauzi (wafat 597 H), Al Muntadzom fii Tariikh al Muluk wa al Umam (Beirut: Daar al Kutub al ‘Ilmiyah, tahqiq: Muhammad Abdul Qodir ‘Atho dan Musthofa Abdul Qodir ‘Atho, tt, tc) juz 4 hal 251
[7] Ibnu al Atsiir, al Kamil fi al Taarikh (Beirut: Daarul Kitab al ‘Arobi, tahqiq: DR. Abdus Salam Tadmuri, cetakan tahun 2012, tc) juz 2 hal 375
[8] Ibnu al Atsiir, al Kamil fi al Taarikh, juz 2 hal 380
[9] Ibnu al Atsiir, al Kamil fi al Taarikh, juz 2 hal 379
[10] Ibnu al Atsiir, al Kamil fi al Taarikh, juz 2 hal 380
[11] Ibnu Katsir, Al Bidayah wa al Nihayah, juz 7 hal 76
[12] Ibnu Katsir, Al Bidayah wa al Nihayah, juz 7 hal 76
[13] Ibnu al Atsiir, al Kamil fi al Taarikh, juz 2 hal 374