Bal’am Bin Ba’ura, Saat Ulama Menjual Agama Demi Dunia
Bangsa Kafir Butuh Tokoh Keagamaan Tandingan
Di gurun pasir yang kering dan panas, Bani Israil gemetar ketakutan saat mendapat perintah jihad fi sabilillah. Mereka memilih untuk duduk-duduk manis, tanpa mau meneteskan keringat dan darah mereka di jalan Allah demi meraih bumi Palestina. Mereka kalah sebelum berperang. Sebab, mereka memang sama sekali tidak memiliki niat dan minat untuk berperang. Mereka enggan berjihad, bahkan mereka menyuruh Nabi Musa dan Harun untuk maju perang sendirian melawan bangsa Kan’an.
Sebenarnya kondisi yang tak jauh berbeda dialami oleh bangsa Kan’an, yang saat itu telah mendiami negeri Palestina. Bangsa Kan’an sendiri merasakan ketakutan yang sama. Mereka khawatir kalah perang, sehingga negeri mereka diduduki oleh Bani Israil. Mereka takut jika terusir dari kampung halaman mereka.
Kekhawatiran bangsa Kan’an tersebut adalah hal yang wajar. Sebab, bangsa Kan’an telah mendiami negeri Palestina dalam rentang waktu yang lama. Kehidupan mereka di Palestina telah aman, makmur, dan stabil. Padahal kemapanan dan kenyamanan hidup adalah impian setiap manusia normal. Apalagi bangsa Kan’an adalah bangsa kafir yang tidak terbimbing oleh dakwah nabi dan rasul. Mereka hidup untuk mengejar kesenangan duniawi. Mereka bukanlah orang-orang yang meyakini kehidupan akhirat. Jika kemapanan hidup duniawi mereka terusik, bahkan lenyap, maka hal itu sama artinya bagi mereka dengan kematian. Bahkan lebih buruk dari kematian.
Bangsa Kan’an mengetahui jumlah personal Bani Israil sangat besar. Boleh jadi jumlah penduduk Bani Israil tersebut lebih besar dari penduduk bangsa Kan’an. Selain itu, bangsa Kan’an juga mengetahui bahwa Bani Israil dipimpin oleh seorang tokoh agama bernama Musa bin Imran. Entah mereka sebenarnya dalam hati mengetahui dan mengakui Musa adalah seorang nabi dan rasul, ataukah mereka sebenarnya sama sekali tidak mengakuinya sebagai seorang nabi dan rasul. Boleh jadi kemungkinan kedua inilah yang lebih kuat.
Hal yang pasti, nampaknya bangsa Kan’an menyadari bahwa Bani Israil dipimpin oleh seorang tokoh agama, seorang ulama, atau seorang shalih yang memiliki pengaruh spiritual yang menonjol. Sosok tersebut bernama Musa bin Imran. Ia didampingi dan diperkuat oleh saudaranya, Harun bin Imran. Bangsa Kan’an tidak memiliki sandaran yang kuat dalam masalah keagamaan. Untuk menandingi “tokoh spiritual” Bani Israil tersebut, mereka mencari-cari tokoh keagamaan yang kurang lebih sepadan.
Para ulama tafsir dari generasi sahabat, tabi’in, dan tabiin yaitu Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Mujahid bin Jabr, Ikrimah Maula Ibnu Abbas, dan As-Suddi meriwayatkan bahwa bangsa Kan’an menemukan sosok tokoh keagamaan tandingan tersebut pada diri Bal’am. Bal’am sebenarnya bukan berasal dari bangsa Kan’an, melainkan dari Bani Israil.
Menurut Abdullah bin Mas’ud, nama lengkap tokoh keagamaan Bani Israil tersebut adalah Bal’am bin Abar. Menurut Ibnu Abbas, namanya adalah Bal’am bin Ba’ar. Dalam riwayat lainnya, Ibnu Abbas dan sebagian ulama menyatakan namanya adalah Bal’am bin Ba’ura.
Dalam riwayat lainnya lagi, Ibnu Abbas berpendapat Bal’am bukan berasal dari kalangan Bani Israil, melainkan dari bangsa Kan’an sendiri. (Ath-Thabari, Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayyil Qur’an, Juz X hlm. 566-569. Al-Qurthubi, Al-Jami’ li-Ahkam Al-Qur’an, Juz IX hlm. 382-384. Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, Juz III hlm. 209-210)
Kejahatan Tokoh Agama Tandingan
Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari dan Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi meriwayatkan dari Ibnu Abbas kisah kebusukan sang tokoh agama, Bal’am bin Ba’ura, dalam membela kepentingan bangsa musyrik Kan’an. Bal’am memberikan loyalitasnya kepada bangsa Kan’an, karena ia mendapatkan imbalan kenikmatan hidup duniawi dari mereka. Padahal Bal’am mengetahui bahwa Musa bin Imran dan Harun bin Imran adalah dua orang rasul utusan Allah SWT.
Ibnu Abbas menceritakan bahwa Bal’am bin Ba’ura tinggal bersama bangsa Kan’an, kaum yang postur fisiknya gagah dan kuat. Mereka menetap di negeri Palestina. Nabi Musa dan Nabi Harun Bersama Bani Israil pada saat itu tiba di padang pasir di luar negeri Palestina. Bani Israil mendapat perintah Allah untuk melancarkan operasi jihad melawan bangsa Kan’an. Jika Bani Israil melaksanakan perintah Allah tersebut, niscaya Bani Israil akan mampu memasuki dan mendiami negeri Palestina.
Di satu sisi, Bani Israil adalah bangsa yang pengecut lagi selalu berbuat dosa. Mereka tidak mau melaksanakan perintah jihad fi sabilillah tersebut. Di sisi lain penduduk bangsa Kan’an dalam negeri Palestina mendatangi tokoh agama di tengah mereka, yaitu Bal’am bin Ba’ura. Mereka mengadukan situasi gawat yang mereka sedang hadapi.
Bal’am sendiri adalah seorang tokoh agama yang shalih dan ilmunya mendalam. Ia pemimpin keagamaan yang kharismatik. Konon ia memiliki pengetahuan tentang nama-nama Allah yang paling agung. Dengan pengetahuan tersebut, setiap kali ia berdoa, niscaya doanya akan dikabulkan Allah SWT.
Penduduk bangsa Kan’an berkata kepada Bal’am, “Musa adalah orang yang sangat kuat. Ia memimpin pasukan yang jumlah personalnya sangat banyak. Jika ia mengalahkan kami, maka ia akan membinasakan kami. Oleh karena itu, berdoalah kepada Allah agar Allah menolak Musa dan pasukannya dari negeri kami.”
Mendapat pengaduan dan harapan seperti itu, Bal’am bin Ba’ura berada dalam kondisi dilematis. Sebagai penduduk negeri Palestina, tentu saja ia cinta tanah airnya dan bangsa yang ia hidup bersama mereka. Ia harus menunjukkan patriotisme dan nasionalismenya kepada mereka. Pada sisi yang lain, Bal’am juga tidak berani secara terang-terangan memusuhi Nabi Musa dan Harun. Sebab, ia mengerti betul bahwa keduanya adalah utusan Allah yang membawa kebenaran.
Maka Bal’am menolak secara halus keinginan penduduk bangsa Kan’an tersebut. Ia mengatakan, “Jika aku berdoa kepada Allah supaya menolak Musa dan para pengikutnya, niscaya lenyaplah dunia dan akhiratku.”
Tentu saja, jika Bal’am menuruti keinginan bangsa Kan’am, niscaya Bal’am akan mengalami kerugian di dunia dan akhirat. Di dunia ia akan dicap sebagai musuh Nabi dan Rasul, pengkhianat agama, penjual agama demi secuil kenikmatan dunia, dan ulama penjilat. Di akhirat ia akan mendapatkan murka Allah dan siksaan yang kekal di neraka. Sungguh taruhan yang harus dipersembahkan oleh Bal’am terlalu besar jika harus menuruti keinginan bangsa Kan’an.
Bangsa Kan’an tidak berputus asa dengan penolakan halus Bal’am tersebut. Maklum, mereka sangat memerlukan dukungan doa mustajab sang tokoh agama tersebut. Tokoh spiritual Bani Israil hanya bisa dilawan dengan tokoh spiritual juga. Bangsa Kan’an tidak mengandalkan kepada postur fisik mereka yang besar dan gagah perkasa. Bangsa Kan’an tidak bersandar kepada banyaknya jumlah personal dan persenjataan mereka semata. Mereka memerlukan dukungan spiritual, untuk dipadukan dengan keunggulan material mereka.
Sekali dua kali bujuk rayuan itu ditolak dengan halus oleh Bal’am. Bujuk-rayu terus saja dilancarkan oleh bangsa Kan’an, dengan beragam alasan dan logika. Rasa kemanusiaan dan kesetia kawanan Bal’am diketuk. Ancaman kematian membayangi anak-anak, ibu-ibu, orang-orang tua renta dan “orang-orang tak berdosa” jika Bani Israil sampai mengalahkan bangsa Kan’an. Rumah-rumah, pasar-pasar, tempat-tempat pengobatan, dan tempat-tempat ibadah akan mengalami kehancuran jika negeri Palestina sampai jatuh ke tangan Bani Israil. Kemungkinan penduduk bangsa Kan’an akan menjadi tawanan, budak yang diperjual belikan, atau bahkan terlunta-lunta karena terusir dari kampung halaman, saat Musa dan pasukannya menduduki negeri Palestina.
Semua kemungkinan buruk yang akan melanda negeri Palestina dan bangsa Kan’an tersebut, dipaparkan secara berulang-ulang kepada Bal’am. Sekali, dua kali, lima kali, sepuluh kali, belasan kali, dan puluhan kali. Beragam gaya, metode, dan teknik ditempuh untuk melunakkan hati Bal’am, mengetuk perasaannya dan mengendalikan pikirannya.
Hati Bal’am akhirnya luluh juga. Sebagai warga negeri Palestina, ia akhirnya tunduk kepada keinginan bersama bangsa Kan’an. Bal’am akhirnya mendoakan kekalahan dan kehancuran bagi Nabi Musa dan pasukannya. (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, Juz III hlm. 209-210)
Motip Duniawi Di Balik Pengkhianatan
Dengan doa tersebut, Bal’am telah memenuhi harapan seluruh bangsa Kan’an. Dengan sikap tersebut, ia telah membuktikan loyalitas butanya terhadap tanah air dan bangsanya. Dengan perilakunya tersebut, ia secara tidak langsung mempraktekan prinsip busuk “memusuhi Allah dan Rasul-Nya adalah bagian dari keimanan”.
Ya, keimanan versi Bal’am. Iman versi Bal’am menempatkan Konstitusi bangsa Kan’an di atas ayat-ayat suci Allah SWT Sang Pengatur alam. Iman versi Bal’am tidak mempersoalkan sikap melawan Rasul Allah, selama ia didasarkan kepada konstitusi legal kebangsaan. Iman versi Bal’am menuntut ketaatan mutlak kepada suara mayoritas bangsanya, sekalipun mereka adalah orang-orang kafir yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya.
Inilah bantuan spiritual yang diberikan Bal’am kepada pemerintah bangsa Kan’an. Inilah tikaman khianat orang berilmu terhadap saudara-saudara seimannya, Nabi Musa dan pengikutnya. Inilah kejahatan ulama bejat, yang memperalat agama demi mengokohkan kekuasaan penguasa yang zalim lagi kafir.
Bal’am memang tidak memberikan bantuan dalam bentuk dana, senjata, amunisi, logistis, dan personal bagi pasukan perang bangsa Kan’an. Namun doa yang dilantunkan Bal’am sungguh lebih berbahaya daripada tikaman tombak, sabetan pedang, tembakan senapan dan meriam sekalipun.
Ia campakkan ajaran agama yang lurus, demi menuruti kepentingan bersama bangsa Kan’an. Ia tempatkan suara bangsa Kan’an di atas suara Allah dan Rasul-Nya. Ia posisikan cinta buta kepada tanah air dan bangsanya di atas segala-galanya. Walaupun untuk itu, ia harus berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum beriman. Benar-salah adalah bangsaku. Benar-salah adalah tanah airku.
Tetapi sebenarnya, nasionalisme buta, fanatisme buta, dan patriotisme buta yang ditampilkan oleh Bal’am bukan murni suara hatinya. Hati nurani yang bersih tentu mengingkari pengkhianatan busuk seperti itu. Fitrah yang lurus tentu enggan menerima kejahatan keji seperti itu. Nasionalisme dan patriotism Bal’am pada hakekatnya adalah sebuah kepalsuan. Adalah sebuah kemunafikan. Adalah sebuah topeng.
Kenapa demikian? Sebab, ia melakukan hal itu didasari oleh motif tersembunyi. Itulah motif duniawi. Itulah keinginan untuk mendapatkan kursi jabatan, pujian, penghargaan, harta kekayaan, dan kenikmatan hidup duniawi. Itulah hal-hal yang siap diberikan bangsa Kan’an kepada Bal’am, jika Bal’am mau mendoakan kekalahan atas Nabi Musa dan Bani Israil. Dengan modal sedikit doa, Bal’am dijanjikan seluruh kenikmatan hidup dunia tersebut.
Allah SWT berfirman,
وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ
“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami akan meninggikan derajatnya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah…” (QS. Al-A’raf [7]: 176)
Jiwa yang busuk dan cita-cita yang rendah sekali lagi menjerat ulama. Cinta dunia sekali lagi menjadi racun yang mematikan para tokoh agama. Ambisi kepada harta, tahta, dan wanita sekali lagi membelenggu leher ulama. Ulama terpenjara oleh nafsu dunia. Tokoh agama terpasung oleh cinta dunia. Ulama-ulama busuk seperti itu akhirnya menjadi keledai yang dikendarai oleh para penguasa dan pengusaha. Ulama-ulama jahat seperti itu akhirnya menjual kenikmatan akhirat kelak, bukan untuk kepentingan dirinya, melainkan untuk kepentingan dunia para penguasa dan pengusaha.
Sejak 14 abad silam Rasulullah SAW telah memperingatkan umatnya terhadap bahaya para ulama yang jahat. Mereka adalah para ulama yang menjual agamanya, demi meraih secuil dunia dari para penguasa dan pengusaha. Mereka adalah para ulama pemburu dunia. Mereka memperjual-belikan fatwa sesuai keinginan nafsu penguasa dan pengusaha. Mereka adalah para ulama yang menyesatkan umat.
Dari Abu Dzar Al-Ghifari RA, ia berkata, “Saya berjalan bergandengan tangan dengan Rasulullah SAW. Maka saya mendengar beliau bersabda,
“لَغَيْرُ الدَّجَّالِ أَخْوَفُنِي عَلَى أُمَّتِي ” قَالَهَا ثَلَاثًا
“Ada makhluk jahat selain Dajjal yang bahayanya lebih aku khawatirkan menimpa umatku daripada bahaya Dajjal.” Beliau mengulang sabda tersebut sebanyak tiga kali.
Maka saya bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah makhluk yang lebih Anda khawatirkan bahayanya atas umatmu daripada bahaya Dajjal tersebut?”
Rasulullah SAW menjawab,
أَئِمَّةً مُضِلِّينَ
“Yaitu para ulama (atau para pemimpin) yang menyesatkan umat.” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad dan Ibnu Abdil Hakam dalam Futuh Mishra. Syaikh Syuaib Al-Arnauth berkata: Hadits ini shahih li-ghairih)
Dari Tsauban RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda,
إِنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الْأَئِمَّةَ الْمُضِلِّينَ
“Hal yang aku khawatirkan atas diri umatku hanyalah keberadaan para ulama (atau para pemimpin) yang menyesatkan.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, Abu ‘Awanah, Ad-Darimi, dan Al-Qudha’i. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata: Hadits ini shahih)
Hadits yang semakna juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Al-Bazzar, Ath-Thabari dari Syaddad bin Aus RA dari Nabi SAW. Sanadnya shahih.
Jika Rasulullah SAW memiliki kekhawatiran yang sangat tinggi terhadap kebusukan para ulama yang menyesatkan dan para pemimpin yang menyesatkan sejak 14 abad silam; lantas bagaimana kita yang hidup pada zaman sekarang tidak khawatir? Wallahu a’lam bish-shawab []
Referensi
Ismail bin Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, Beirut: Darul Kitab Al-Arabi, cet. 1, 1432 H, juz III hlm. 209-213.
Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jami’ li-Ahkam Al-Qur’an, Beirut: Muassasah Ar-Risalah, cet. 1, 1427 H, juz IX hlm. 382-385.
Muhammad bin Jarir At-Thabari, Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayyil Qur’an, Kairo: Dar Hajar, cet. 1, 1422 H, Juz X hlm. 566 -582.